Seperti Apa Suasana Bandung pada Tahun 1852?
Sebagian besar wilayah Bandung saat itu dikelilingi perkebunan kopi. Setiap kebun dibatasi pagar hidup tanaman hibiscus yang mekar kemerahan. Toko aneka kain dan deretan kedai makanan juga menghiasai pusat kota Bandung.
Pada pertengahan abad ke-19 atau pada tahun 1850-an, Kota Bandung mulai berkembang sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan di Preanger pada zaman kekuasaan Hindia Belanda. Semasa itu, beragam perkebunan, seperti kopi dan teh, serta industri gula, berkembang pesat yang hasil ekspornya menjadikan Kerajaan Belanda sebagai pusat keuangan Eropa Barat pada abad ke-19.
Melihat perkembangan tersebut, pada 25 September 1810 Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels kemudian mengeluarkan besluit atau surat keputusan untuk membangun Kota Bandung.
Pertumbuhan Kota Bandung dimulai dari titik persimpangan Jalan Raya Pos dan Sungai Cikapundung yang saat itu berada di bawah pimpinan Bupati Wiranata Koesoema II. Lokasi tersebut kini berada di Jalan Asia Afrika yang menjadi kilometer nol Kota Bandung.
Seorang pegawai Kompeni Inggris (East India Company–EIC), Charles Walter Kinloch, menuturkan kesaksiannya tentang Kota Bandung yang ia kunjungi dalam bukunya, Rambles in Java and The Straits in 1852. Kinloch, yang saat itu bermukim di British India (saat ini India dan Pakistan), bepergian keliling Jawa pada 1852 dengan kereta kuda melewati Jalan Raya Pos dari Batavia lalu melewati Buitenzorg (Bogor) dan Cianjur sebelum tiba di Bandung.
Sekitar 15 mil (27,78 km) dari Cianjur, kereta kuda yang ditumpangi Kinloch tiba di tebing curam di lembah Sungai Citarum. Kereta harus diturunkan dengan diikat tali dari kulit kerbau yang diulurkan oleh 30 kuli dan dibantu beberapa ekor kerbau. Pemandangan saat menuruni dan menaiki tebing tersebut ialah di kawasan Rajamandala sangat indah. Kereta kuda mereka dinaikkan ke sebuah rakit besar yang menyeberangi Sungai Citarum tanpa hambatan. Setiba di seberang Citarum, kereta ditarik empat ekor kerbau untuk mendaki tebing terjal.
Sejarawan Nina Herlina Lubis dalam buku Ekspedisi Anjer-Panaroekan Laporan Jurnalistik Kompas menulis, para pemilik ternak kuda atau kerbau di sekitar lokasi tersebut diminta pemerintah untuk menyediakan hewan guna membantu menarik kereta saat turun ataupun naik di lintasan tebing Sungai Citarum.
Selepas menyeberangi Sungai Citarum, sisa perjalanan Kinloch sejauh 16 mil (29,6 km) dari Rajamandala ke Kota Bandung berjalan lancar dalam hitungan 1 jam lebih sedikit. Menurut Kinloch, meski tidak seluas Cianjur, Kota Bandung memiliki wilayah yang besar dengan jumlah penduduk yang juga banyak dalam suasana pedesaan yang sejuk.
Pada masa itu belum banyak bangunan gedung permanen di Kota Bandung. Rumah warga saat itu lebih banyak yang berdinding bambu atau gedek dengan atap rumbia atau ilalang.
Dataran tinggi Priangan dari Bogo-Cianjur-Sukabumi-Bandung ialah daerah awal sistem tanam paksa atau cultuur stelsel, yang mewajibkan rakyat menanam komoditas tertentu, terutama kopi dan teh. Kedua komoditas ini menjadi sumber ekspor dan pemasukan Belanda.
Baca juga : Perempuan Penjelajah yang Memborong Buah di Pasar Bogor Tahun 1896
Sebanyak 20 persen hasil panen menjadi hak Pemerintah Kolonial, 20 persen menjadi hak petani, lalu sisanya dibagi di antara penguasa lokal di Jawa. Di tengah praktik tanam paksa, Kota Bandung berkembang pesat sebagai pusat wilayah Preanger atau Parahyangan yang berarti tempat bersemayamnya Dewata.
Kota Bandung sejak awal 1800-an dibangun dengan blok-blok bangunan dengan jalanan yang saling silang dengan rapi. Bangunan permanen umumnya sudah menggunakan ubin untuk melapisi lantai bangunan dan terawat baik. Jalan yang ada dibangun lebar dan terawat.
Pertokoan yang ada juga menarik perhatian dengan aneka dagangan seperti beragam topi khas Jawa yang berbentuk kerucut terbalik dengan diameter 45 sentimeter hingga 1 meter (yang dimaksud adalah caping). Orang yang memakai caping lebar, menurut Walter Kinloch, tidak perlu memakai payung saat kehujanan karena topi itu cukup lebar sehingga mampu melindungi kepala dari air hujan.
Toko kain di Kota Bandung juga menarik perhatiannya. Terlihat aneka kain celup yang didominasi warna biru dan merah terang atau warna scarlet. Para pengunjung hilir mudik mendatangi deretan toko kain yang ada.
Hal lain yang paling menarik perhatian Walter Kinloch ialah deretan kedai makanan di Kota Bandung. Dengan sedikit uang, menurut dia, seseorang bisa membeli daging panggang dan kari kacang (yang dimaksud adalah sate), jagung bakar, dan risol nasi dengan sayur-mayur, buah-buahan, acar, dan daging manis. Aneka jenis ikan dijual, tetapi dalam kondisi sudah diasinkan terlebih dahulu.
Kota perkebunan
Ketika Charles Walter Kinloch berkeliling Bandung, sebagian besar wilayah saat itu dikelilingi perkebunan kopi. Setiap kebun dibatasi pagar hidup tanaman hibiscus yang mekar kemerahan. Pada ketinggian 100 meter lebih di atas Kota Bandung, jika cuaca cerah, terlihat bangunan-bangunan yang di sekelilingnya dibatasi kebun-kebun kopi yang tumbuh subur.
Walter Kinloch berkelana dengan Tuan ”L”, mantan Residen di wilayah timur Hindia Belanda yang pensiun dan membuka kebun teh di Priangan. Dia sudah tiga tahun memegang kontrak memasok teh untuk Pemerintah Hindia Belanda. Luasan kebunnya lebih dari 350 bau atau sekitar 245 hektar yang menghasilkan 200.000 pon daun teh atau 100 ton daun teh kering tiap tahun.
Perkebunan lain yang dikunjungi ialah kebun teh milik Tuan Brumsteede di Ciumbuleuit seluas 300 bau atau sekitar 210 hektar yang pada tahun 1851 menghasilkan 152.000 pon daun teh atau setara 76 ton daun teh kering. Dia mempekerjakan 1.000 orang di kebun teh Ciumbuleuit yang sebagian wilayahnya kini mencakup kompleks kampus Universitas Katolik Parahyangan.
Biaya produksi satu pon atau setengah kilogram daun teh di perkebunan tersebut adalah 45 sen gulden. Adapun harga yang dibayarkan Pemerintah Kolonial kepada Brumsteede selaku kontraktor adalah 75 sen gulden setiap pon daun teh. Dengan begitu, dia untung 30 sen atau lima pence/penny Inggris.
Meski demikian, pada zaman itu, teh Jawa belum dianggap minuman berkelas di Jawa. Kalangan berada masih memilih teh China. Walter Kinloch sendiri menilai teh Jawa tidak sebagus teh dari kaki Pegunungan Himalaya di wilayah British India.
Sejatinya teh yang dibudidayakan di Jawa memang diboyong dari China, Assam di India, dan persilangan teh China dan teh Assam. Informasi tersebut ditorehkan penjelajah Eliza R Scidmore yang pada tahun 1890-an berkunjung ke perkebunan teh Parakan Salak dan Sinagar di dekat Sukabumi, Jawa Barat.
Dari kebun Tuan Brumsteede, Walter Kinloch dan rombongan mengunjungi perkebunan kopi milik Tuan Philippean di Lembang. Perkebunan kopi tersebut berada di ketinggian 4.000 kaki atau 1.200 meter di atas permukaan laut dan merupakan salah satu kebun kopi terluas di Jawa pada masa itu.
Baca juga : Pesona Jakarta Pertengahan Abad ke-19
Harga kopi per pikul seberat 60 kilogram senilai 3 gulden, atau 1,5 penny Inggris per pon biji kopi. Sementara harga pasaran di Amsterdam mencapai 30 gulden per pikul atau 10 kali lipat dari harga yang diterima petani di Jawa!
Ketimpangan pendapatan dan derita yang dialami petani Jawa akibat sistem tanam paksa itulah yang menjadi inspirasi novel Max Havelaar karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker yang kemudian menghebohkan Eropa pada tahun 1860. Dampak novel Max Havelaar, kekayaan yang didapat dari hasil pengisapan Eropa dan elite Bumi Putera terhadap rakyat negeri jajahan di Pulau Jawa tersebut menimbulkan kecaman di Eropa yang mencoreng wajah Kerajaan Belanda.
Dengan tekanan itu, akhirnya tanam paksa diakhiri dengan dibukanya Hindia Belanda bagi investor non-Belanda pada zaman liberal (1870-1900) yang berlanjut ke masa penerapan politik etis yang berusaha membawa emansipasi bagi rakyat jelata di Hindia Belanda.
Pada zaman liberal, mulai berdatangan investor perkebunan dari Inggris, Jerman, dan sejumlah bangsa lain, mengadu nasib berbisnis di sektor perkebunan dan industri gula di Hindia Belanda. Naturalis terkenal Alfred Russel Wallace memuji budidaya di Jawa sebagai koloni teladan.
Walter Kinloch lebih jauh mencatat, para petani Jawa di Priangan yang tidak tinggal di perkebunan milik pekebun Eropa diwajibkan menanam dan menyetorkan kopi dengan jumlah yang ditentukan pemerintah.
Mereka menerima bayaran 3 gulden untuk setiap pikul atau setara 60 kilogram biji kopi atau 133 poundsterling atau sekitar 1,5 penny per pon atau 3 penny per kilogram biji kopi. Harga eceran kopi tersebut di Amsterdam mencapai 30 gulden.
Baca juga : Perjalanan Jakarta-Bogor pada Pertengahan Abad ke-19
Tiap keluarga diwajibkan menanam 500 sampai 1.000 pokok kopi di tanahnya. Untuk setiap pikul atau 60 kilogram biji kopi yang belum dibersihkan, petani menerima 10 gulden.
Walter Kinloch juga mencatat, Thomas Stamford Raffles selama kurun 1811-1816 telah keliru menghitung produktivitas tanaman kopi. Raffles memperkirakan tiap pokok kopi dapat menghasilkan 1 ¼ pon biji kopi tiap tahun atau 625 gram. Padahal, menurut Tuan Philippean dan pekebun Eropa lainnya, satu pokok kopi rata-rata menghasilkan ¼ pon biji kopi saja atau hanya 125 gram.
Dalam sistem tanam paksa tahun 1850-an, tanah ukuran satu bau dapat ditanami 250 pokok kopi. Tuan Philppean memiliki 1.100.000 pokok kopi di kebunnya. Tiap tahun dihasilkan biji kopi seberat 275.000 pon atau 137,5 ton.
Semula, para petani di Jawa menyerahkan biji kopi yang sudah dibersihkan. Namun, kini proses pembersihkan dan pengeringan biji kopi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Eropa yang dikontrak Pemerintah Kolonial. Para kontraktor Eropa diwajibkan menyerahkan satu pikul biji kopi yang sudah diproses dari enam pikul biji kopi mentah yang diterima.
Kontraktor menerima bayaran 2 gulden untuk tiap pikul biji kopi yang sudah dibersihkan dan diproses. Kalau kontraktor mampu menghasilkan lebih dari satu pikul untuk enam pikul biji kopi yang dibersihkan, dia mendapat insentif 6 gulden 75 Sen untuk tiap pikul kelebihan yang dihasilkan.
Baca juga : Kunjungan Raja Chulalongkorn ke Batavia, Inspirasi Modernisasi Thailand
Dalam pengamatan Walter Kinloch, cara budidaya kopi di Jawa yang cocok untuk menanam kopi Bourbon dan Moka, sesudah deretan pokok kopi ditanam, tanaman ditinggalkan begitu saja dengan jarak antartanaman 1,8 meter-2,4 meter. Karena kesuburan tanah Pulau Jawa, kopi pun tumbuh alami.
Suasana kebun kopi seperti hutan karena tanaman tidak secara rutin dibersihkan dan tumbuh seperti belukar. Sebagai pelindung pokok kopi, pohon dadap ditanam di sekitar kebun hingga tingginya mencapai 6-7,5 meter. Kerindangan pohon ini menaungi tanaman kopi yang tumbuh subur.
Mengunjungi Tangkubanparahu
Sekitar 170 tahun silam, kawah Tangkubanparahu sudah menjadi salah satu obyek wisata di Bandung. Pada 29 Juni 1852, Charles Walter Kinloch dan rombongan mengunjungi Tangkubanparahu pagi-pagi benar. Mereka mendaki hingga 8 kilometer mendekati puncak gunung dengan suhu udara waktu itu 69 derajat fahrenheit atau 15 derajat celsius.
Semakin mendekati puncak Tangkubanparahu, tanaman makin berkurang dan terlihat pohon-pohon meranggas di sana-sini. Suasananya perjalanan sunyi mendekati puncak dan menuju kawah Tangkubanparahu.
Cekungan mangkuk kawah Tangkubanparahu memiliki keliling hampir 5 kilometer dengan suasana zaman itu sangat sunyi sepi di tempat yang kini selalu ramai dikunjungi wisatawan. Kesunyian sesekali pecah oleh bunyi letupan gas di kawah.
Walter Kinloch tiba kembali di Bandung pada petang hari. Malam harinya, dia bersantap malam bersama tiga tamu pria Tionghoa yang berkomunikasi dengannya mengikuti etiket Eropa. Para pria tersebut masih memiliki taucang atau ekor rambut yang diperkenalkan Dinasti Qing, yakni Bangsa Manchu, yang menguasai Tiongkok sejak 1644 Masehi.
Pada satu petang di Lembang, Walter Kinloch dan rombongan sempat berpapasan dengan seekor macan kumbang yang melintas di dekat rumah yang mereka kunjungi. Walter Kinloch berada di Bandung hingga akhir Juni 1852 kemudian melanjutkan perjalanan ke Sumedang, Cirebon, dan Tegal.