Seiring lonjakan kasus yang terus terjadi, wilayah di Sultra dinilai telah masuk dalam situasi darurat Covid-19. Pemerintah diharapkan lebih serius dalam menangani Covid-19 sebelum dampaknya semakin membahayakan warga.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Penyebaran Covid-19 di wilayah Sulawesi Tenggara dinilai memasuki tahap darurat. Hal tersebut terlihat seiring jumlah kasus yang terus bertambah, kematian yang terus terjadi, dan tes spesimen yang begitu minim. Tanpa langkah konkret pemerintah, situasi ini akan semakin membahayakan kesehatan masyarakat.
Epidemiolog Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari, La Ode Mukhammad Sety, menjelaskan, peningkatan kasus yang terjadi menunjukkan semakin meluasnya penyebaran Covid-19. Tidak hanya di perkantoran, lingkungan, atau rumah, penyebaran virus membuat layanan kesehatan juga terus terancam. Penyebaran bahkan sudah tidak ketahuan lagi kluster dan asal virusnya.
”Kalau bisa dibilang, kondisi kita sudah di tahap darurat Covid-19. Angka kasus positif terus terjadi, sementara tes masih sangat minim. Angka kematian juga terus bertambah hampir setiap hari,” kata Sety, di Kendari, Selasa (6/10/2020).
Total angka kasus positif di Sultra sebanyak 3.161 kasus. Sebanyak 888 orang masih dalam perawatan dan 63 orang meninggal. Untuk data pada Selasa, penambahan kasus sebanyak 96 orang. Total kasus ini melonjak sekitar sembilan kali lipat dari akhir Juni lalu yang hanya sejumlah 363 kasus.
Menurut data terakhir pada Minggu (4/10/2020) yang dipublikasikan di laman milik Pemprov Sultra, jumlah tes yang dilakukan baru 14.696 tes. Jumlah ini hanya 0,5 persen dari total penduduk di wilayah ini. Berdasarkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Sultra minimal harus melakukan tes sebanyak 2.700 spesimen per minggu atau 75.600 tes selama tujuh bulan terakhir. Dengan angka tes 14.696, berarti baru 19 persen dari jumlah tes ideal.
Menurut Sety, jika dibiarkan berlarut-larut, kondisi terburuk bisa mengancam mereka yang memiliki penyakit penyerta. Sebab, dari data yang ada, sebagian besar pasien meninggal adalah mereka yang memiliki penyakit penyerta.
Tidak hanya itu, tambahnya, bisa dipastikan penyebaran virus akan terus meluas dan tidak terkendali. Daerah yang sebelumnya tidak terdeteksi adanya paparan virus bisa saja menjadi daerah paparan baru. ”Pemerintah sudah memiliki sejumlah aturan, baik protokol kesehatan ketat maupun pengadaan alat. Namun, aplikasinya lemah. Hal itu membuat angka positif terus melonjak,” tambahnya.
Ramadhan Tosepu, epidemiolog dari UHO, menjabarkan, kondisi darurat seperti saat ini membahayakan masyarakat. Sebab, masyarakat tetapi keluar rumah untuk beraktivitas sehari-hari saat penularan virus di lingkungan terus terjadi tanpa bisa dikendalikan.
Selama ini, menurut Ramadhan, sejumlah upaya yang dilakukan pemerintah belum cukup untuk mengatasi penyebaran virus. Sebab, upaya penanganan tidak hanya sekadar sosialisasi atau aturan baru, tetapi juga harus konkret di lapangan.
”Sekarang Sultra dalam kondisi yang tidak baik-baik, atau buruk sekali. Ini sudah darurat Covid-19. Sebab, pemeriksaan yang dilakukan sangat terbatas dan data yang tidak real time. Data empat atau seminggu lalu baru keluar hari ini. Seharusnya pengadaan mesin uji terus dilakukan agar pengujian spesimen semakin banyak dan hasilnya bisa keluar semakin cepat,” kata Ramadhan.
Kondisi ini, terang Ramadhan, bahkan masih bagian dari gelombang pertama peningkatan kasus. Jika tidak ada langkah nyata yang dilakukan, penyebaran virus dipastikan akan terus meluas. Semua kabupaten/kota bahkan seharusnya menjadi zona merah karena semakin meluasnya penyebaran virus.
Lonjakan kasus positif Covid-19 di Sultra terus terjadi. Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sultra, angka positivity rate di Sultra mencapai 20 persen meski tes masih sangat minim. Kasus positif paling banyak terjadi di Kendari yang merupakan ibu kota provinsi dengan total kasus 1.521. Angka positivity rate di Kendari 21,59 persen. Daerah ini adalah satu-satunya yang ditetapkan sebagai zona merah di Sultra berdasarkan jumlah kasus.
Bisa saja memang kuning atau oranye palsu atau pseudo. Ini karena tes spesimen di daerah tergolong sangat rendah.
Meski demikian, Kendari bukan daerah dengan angka positivity rate paling tinggi. Di Buton, angka positivity rate bahkan 55 persen. Dari total 258 tes, ditemukan 142 kasus positif. Daerah lain dengan angka positivity rate tinggi adalah Baubau dengan 36,77 persen dan Buton Tengah 28,75 persen.
Juru bicara Gugus Tugas Covid-19 Sultra, dr La Ode Rabiul Awal, menyampaikan, penyebaran virus terus meluas seiring waktu. Tidak menutup kemungkinan daerah yang saat ini adalah zona kuning atau oranye sebenarnya telah menjadi zona merah.
”Bisa saja memang kuning atau oranye palsu atau pseudo. Ini karena tes spesimen di daerah tergolong sangat rendah. Tidak mengherankan ada kasus orang kecelakaan atau sakit, misalnya, tetapi ketika diuji spesimen hasilnya positif Covid-19,” ucap Rabiul.
Sejauh ini, kata Rabiul, alat pengujian spesimen ada di RS Bahteramas Kendari yang merupakan rujukan semua daerah. Meski demikian, beberapa hari terakhir alat uji PCR utama ini mengalami hambatan dan tidak bisa melakukan tes. Semua spesimen yang telah diambil dikirim ke Makassar, Sulawesi Selatan, untuk sementara waktu.
Selain di Kendari, alat uji spesimen juga ada di RSUD Kolaka Utara dan di Kolaka. Konawe telah memiliki mobil uji spesimen, tetapi belum efektif. Menurut Rabiul, uji spesimen harus terus diperbanyak di semua wilayah.
Pemprov Sultra telah mengarahkan daerah untuk membeli alat sendiri sehingga bisa melakukan uji mandiri. Seiring dengan itu, protokol kesehatan ketat juga harus terus dilakukan. Penegakan sanksi dan implementasi di lapangan terus dilakukan.
Sejak awal, akademisi, masyarakat sipil, dan elemen masyarakat lainnya berharap agar pemerintah memperbanyak alat pengujian di Sultra. Terlebih, dengan anggaran realokasi penanganan Covid-19 sebesar Rp 400 miliar, pengadaan alat tidaklah sulit. Akan tetapi, Pemprov Sultra lebih banyak mengalokasikan anggaran untuk program fisik, sosialisasi, dan hal yang dianggap tidak efektif dalam penanganan pandemi.