Aksi GMNI Palangkaraya Tolak Omnibus Law Dihadang Aparat
RUU Cipta Kerja sudah disetujui DPR RI. Hal itu menimbulkan beragam respons. Seperti di Palangkaraya, aksi GMNI Cabang Palangkaraya melakukan penolakan pengesahan kebijakan itu dihadang aparat keamanan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Aksi mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Cabang Palangkaraya untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja dibubarkan aparat keamanan. Dengan alasan pandemi, aksi itu kemudian dibatalkan meski mahasiswa sempat melakukan orasi.
Keputusan DPR yang menyetujui RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang memicu banyak respons hingga ke daerah.
Di Palangkaraya, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Palangkaraya hendak melakukan aksi diam di depan Kantor DPRD Provinsi Kalteng pada Selasa (6/10/2020).
Aksi yang seharusnya dilaksanakan pada Selasa pukul 14.00 WIB itu batal lantaran aparat keamanan langsung mendatangi lokasi tempat mereka berkumpul di dekat Kantor KNPI Provinsi Kalteng. Peserta aksi yang sudah bersiap dan membawa segala atribut demo sempat beradu argumen dengan aparat keamanan.
Dari pantauan Kompas, para peserta meminta agar tetap diizinkan melakukan aksi dengan tetap menjalankan protokol kesehatan, tetapi polisi menolak. Mereka tetap menginginkan aksi itu tidak dilakukan lantaran digelar di tengah pandemi.
Setelah lama berdebat, tiga perwakilan diminta untuk menemui langsung Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kota Palangkaraya untuk mendapatkan rekomendasi. Namun, mereka pulang dengan tangan hampa.
”Kami sudah berusaha memenuhi keinginan mereka, tetapi tidak direspons. Tidak ada rekomendasi yang keluar, padahal ini harusnya bisa jadi agenda yang urgen karena penolakan juga terjadi di mana-mana,” tutur Maulana, juru bicara aksi saat itu.
Setelah kembali dari Satgas Penanganan Covid-19 Kota Palangkaraya, peserta aksi sempat berorasi bahwa Undang-Undang Cipta Kerja merugikan pekerja khususnya buruh-buruh kebun dan tambang.
”Kebijakan ini hanya menguntungkan investor dan membuat buruh kian sengsara dan miskin. Konflik juga akan bertambah,” ucap Maulana.
Senada dengan hal itu, Sekretaris Serikat Pekerja Sawit Indonesia (Sepasi) Provinsi Kalteng Dianto Arifin mengungkapkan, ratusan ribu buruh kebun sawit di Kalteng saat ini diupah dengan sistem kerja borongan. Sistem itu juga dilakukan dengan target yang tidak logis.
”Sistem itu, kan, menggunakan target, misalnya kalau hari ini memupuk targetnya 40 karung per hari, tetapi normalnya kami hanya bisa 25 karung, jadi upahnya dibayar setengah saja,” kata Dianto.
Dianto mengungkapkan, per hari, jika bisa memenuhi target borongan, buruh mendapatkan Rp 119.000 per hari. Namun, situasi di lapangan berbeda. ”Paling upah hanya setengahnya, padahal kami kerja kadang tak pakai pelindung diri, bahkan kami beli sendiri peralatan,” katanya.
Ketua Palangkaraya Ecological and Human Rights Studies atau lembaga penelitian dan pelatihan terkait lingkungan dan HAM (Progress) Kartika Sari mengungkapkan, pihaknya masih menemukan buruh harian lepas yang diupah Rp 84.000 per hari seperti yang terjadi di Kabupaten Seruyan. Padahal, mereka sudah bekerja bertahun-tahun.
”Ada yang di-PHK sepihak, buruh tanpa jaminan kesehatan, belum lagi persoalan jaminan keselamatan, dan fasilitas kerja. Kondisi yang sudah buruk ini akan jauh lebih buruk lagi karena kebijakan tersebut,” kata Kartika.
Ada yang di-PHK sepihak, buruh tanpa jaminan kesehatan, belum lagi persoalan jaminan keselamatan, dan fasilitas kerja. Kondisi yang sudah buruk ini akan jauh lebih buruk lagi karena kebijakan tersebut.
Kartika mengungkapkan, Undang Undang Cipta Kerja atau omnibus law akan semakin menguatkan perusahaan dalam perlakuan buruk terhadap buruh. “Apalagi buruh harian lepas. Kebijakan yang ada sebelumnya pun belum jadi solusi apalagi yang sekarang,” katanya.
Maklumat Kapolri
Kepala Kepolisian Resor Kota Palangkaraya Komisaris Besar Dwi Tungga Jaladri mengungkapkan, pihaknya melakukan pendekatan preventif dengan meminta mahasiswa membatalkan aksinya. Ia bahkan memfasilitasi mahasiswa untuk bertemu langsung Tim Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kota Palangkaraya.
”Ini salah satu tindakan kami sesuai maklumat Kapolri, yaitu dilarang ada pengumpulan massa karena pandemi. Pertemuan dan kegiatan lebih baik melalui daring,” kata Jaladri.
Jaladri membenarkan bahwa pihaknya melakukan penghalangan, tetapi tetap dikondisikan agar tidak terjadi keributan. ”Masalahnya, teman-teman mahasiswa izin ke tim satgas mendadak, harusnya tiga hari sebelum aksi agar bisa diteliti lagi,” katanya.