Ketahanan Keluarga Berperan Ciptakan Lingkungan Aman bagi Anak
Anak-anak belum terlepaskan dari ancaman kekerasan. Di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, seorang anak balita meninggal akibat dianiaya teman dekat ibu kandungnya.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Anak-anak di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, belum terlepas dari ancaman kekerasan. Bahkan, laporan kekerasan terbilang tinggi. Ketahanan keluarga menjadi faktor penting agar anak dapat tumbuh dengan baik dan tinggal dalam lingkungan yang aman.
Menurut data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Sleman, sepanjang 2020, tercatat ada 96 anak yang mengalami tindakan kekerasan. Tempat terjadinya kekerasan beragam, mulai dari rumah, ruang publik, hingga sekolah. Adapun pelakunya terdiri dari orangtua, sesama anak, keluarga, guru, dan tetangga sendiri.
Kepala Dinas P3AP2KB Sleman Mafilindati Nuraini menyampaikan, dengan angka yang cukup tinggi tersebut, langkah preventif dan promotif harus diprioritaskan dalam memberikan perlindungan terhadap anak dari berbagai ancaman kekerasan. Kesadaran orangtua dan orang dewasa lain mengenai perlindungan anak juga harus ditingkatkan.
”Kami berharap semua orangtua bisa memberikan perlindungan kepada anak-anak. Semua anak itu anak kita. Semua orang dewasa punya kewajiban memberi perlindungan kepada anak,” kata Mafilindati saat dihubungi, Senin (28/9/2020).
Ironisnya, kekerasan terhadap anak masih terus terjadi di tengah upaya menekan bertambahnya tindak kekerasan tersebut. Terkini, seorang anak balita berinisial AF (4,5) tewas dengan luka di sekujur tubuhnya di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (8/8/2020). Penyebab kematian anak balita tersebut diduga akibat penganiayaan yang dilakukan oleh JT (26), teman dekat pria dari ibu anak balita tersebut.
Kepala Bagian Operasi Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor (Polres) Sleman Inspektur Satu Sri Pujo menjelaskan, dalam reka ulang adegan penganiayaan, tersangka memukuli korban dengan tangan dan balok kayu.
Selain itu, ada pula temuan bekas luka sundutan rokok di tubuh korban. Korban sempat dibawa ke puskesmas terdekat saat tak sadarkan diri setelah dipukuli pelaku. Namun, nyawa korban sudah tak tertolong.
Sri mengungkapkan, tersangka dan ibu korban sudah tinggal bersama selama lebih kurang dua tahun. Keduanya tinggal bersama meski tidak menikah. Menurut pengakuan tersangka, selama dua tahun itu pula tindak kekerasan selalu dilakukannya terhadap korban.
”Tetapi, ibu korban tidak pernah tahu tindak kekerasan itu. Penganiayaan diduga dilakukan setiap kali ibu korban sedang bekerja,” kata Sri.
Menurut pengakuan tersangka, selama dua tahun itu pula tindak kekerasan selalu dilakukannya terhadap korban.
Sri menyampaikan, dari hasil pemeriksaan sementara, tersangka menganiaya korban karena merasa jengkel. Rasa jengkel itu dipicu wajah korban yang mirip dengan ayah kandung korban.
Akibat perbuatannya, tersangka dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tersangka juga dianggap melanggar Pasal 351 juncto Pasal 338 KUHP. Ancaman hukumannya lebih dari 12 tahun penjara.
Terkait kasus itu, Mafilindati menyatakan, pihaknya merasa prihatin mengingat ada anak balita yang meninggal akibat perbuatan tak terpuji. Ia meminta proses hukum ditegakkan dan pelaku diberikan hukuman setimpal. Ia menilai, kurangnya ketahanan keluarga menjadi persoalan mendasar masih ditemukannya kasus semacam itu.
”Tinggal di rumah tanpa ketahanan keluarga menjadi ancaman bagi anak. Untuk itu, upaya menurunkan kekerasan pada anak harus diimbangi dengan pembangunan keluarga yang berketahanan,” kata Mafilindati.
Lebih dari itu, Mafilindati mengatakan, menjadi orangtua berarti harus memahami tentang perlindungan dan pemenuhan hak anak. Pemahaman mengenai dua hal tersebut sudah harus dipegang sebelum pasangan suami istri memutuskan untuk menikah.