Calon Pelaut Terombang-ambing di Tengah Arus Pandemi
Calon pekerja migran Indonesia yang ingin menjadi pelaut kini dihantam arus pandemi Covid-19. Impian mengarungi lautan dunia terancam buyar.
Calon pekerja migran Indonesia yang ingin menjadi pelaut kini dihantam arus pandemi Covid-19. Impian mengarungi lautan dunia terancam buyar. Sayangnya, regulasi pemerintah dinilai belum sepenuhnya menyelamatkan mereka.
Ari Nasution (21) sibuk menggulung yongka, senar pancing khas Taiwan, di kantor PT Samuel Jaya Maritim di Jalan Gunung Kelud 2, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (19/9/2020). Dalam sekejap, senar sepanjang lebih dari 3 meter itu dibuat lingkaran.
”Kalau orang baru pegang yongka, pasti susah gulungnya,” ucap Ridho Purba (27) sambil rebahan. Polin Wahyu (19), yang sedang asyik bermain gim, sontak mengangguk mengamini ucapan Ridho. Hasil gulungan senar pancing oleh keduanya sudah teronggok di lantai.
Baca juga : Solidaritas Pelaut Indonesia Minta Bantuan Perlindungan Pelaut kepada BP2MI
Mereka tidak menyombongkan diri. Berbulan-bulan di kantor perusahaan penyalur pekerja migran Indonesia (PMI) khusus pelaut itu, ketiganya belajar bahasa hingga teknis berlayar di Taiwan. Mereka tidur di salah satu dari tiga kamar di kantor.
Terbang dari Medan, Sumatera Utara, ketiganya datang ke PT Samuel Jaya Maritim pada Januari 2020 sesuai rekomendasi teman-temannya. Anak rantau ini ingin meraih mimpinya sebagai pelaut di kapal luar negeri. Namun, pandemi Covid-19 membuyarkan semuanya.
Pemerintah sempat menghentikan penempatan PMI Maret lalu melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 151 Tahun 2020. Sebaliknya, sejumlah negara tujuan kini melarang PMI masuk ke wilayahnya demi mengantisipasi penyebaran virus korona baru.
Polin sempat memilih pulang ke rumah keluarganya di Banten, sedangkan Ridho harus ke Muara Angke, Jakarta, untuk bekerja pada Mei lalu. Padahal, Ibu Kota merupakan episentrum penyebaran Covid-19. ”Saya enggak khawatir,” ucap Ridho yang naik bus ke Jakarta.
Ridho menjadi anak buah kapal dan melaut ke Kalimantan sekitar empat bulan. Di kapal kayu berukuran 60 gros ton, delapan ABK menangkap cumi. Angin laut, ombak, dan badai menjadi pengalaman perdananya melaut.
Saya kerja dari jam 6 sore sampai 6 pagi. Gaji pokoknya Rp 900.000 per bulan.
”Saya kerja dari jam 6 sore sampai 6 pagi. Gaji pokoknya Rp 900.000 per bulan,” ucapnya. Upah tersebut jauh dibandingkan upah minimum provinsi DKI Jakarta yang lebih dari Rp 4,2 juta per bulan. Jika saja jadi ke Taiwan, upahnya bisa mencapai Rp 7 juta per bulan jika berpengalaman.
Bagi Ridho yang masih lajang, upah melaut di kapal lokal paling tidak bisa menyambung hidupnya di perantauan. Beruntung, orang kantor kerap menyediakan makanan untuknya. Namun, anak petani ini sangat ingin ke Taiwan.
Saat Ridho dan teman-temannya pusing memikirkan hari esok, Agustinus Sihotang (26), kakak Polin, bosan dengan aktivitasnya di kapal Taiwan yang kebanyakan tidur dan makan. ”Hampir tujuh bulan kami tidak melaut, tetapi gaji jalan terus. Kalau dipotong 1 persen, saya pulang,” katanya dari sambungan video telepon.
Sesuai kontrak dua tahun, pemilik kapal wajib membayar gajinya meskipun tak melaut. Ini berbeda dengan perusahaan di Indonesia yang mengurangi gaji, bahkan memecat karyawan karena pandemi.
Menurut Agustinus, kapalnya tidak melaut karena kekurangan ABK akibat dampak pandemi. Seharusnya, kapal tersebut membutuhkan 26 ABK. Namun, saat ini, baru ada 14 ABK. ”Kemarin, baru masuk dua orang. Di sini, ada enam orang kita (Indonesia), termasuk saya,” katanya.
Sebenarnya, sejak akhir Juli, melalui Kepmenaker No 294/2020 tentang Pelaksanaan Penempatan PMI pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru, pemerintah mengizinkan PMI terbang ke negara tujuan. Taiwan juga termasuk negara yang membuka kesempatan bagi PMI.
”Namun, syaratnya sangat ketat. Misalnya, pelaut dari Indonesia harus karantina dulu dua minggu saat ke sana. Namun, pemilik kapal tidak mau menanggung biayanya,” ujar Yoso Sumingrat, Managing Crewing PT Samuel Jaya Maritim.
Di sisi lain, keputusan pemerintah membebaskan biaya penempatan PMI di sektor tertentu, termasuk ABK, dinilai bukan solusi tepat. Melalui Peraturan Badan Perlindungan PMI No 9/2020 itu, PMI tidak dibebani biaya penempatan berupa tiket pergi dan pulang, visa kerja, legalisasi perjanjian kerja, pelatihan kerja, hingga paspor.
”Perusahaan (penyalur PMI) akhirnya tidak bisa membantu pengurusan dokumen. Majikan juga tidak bisa bantu,” katanya. Menurut dia, selama ini, setiap calon ABK membayar 500 dollar Amerika Serikat untuk biaya pelatihan, pengurusan paspor, sertifikat basic safety training (BST), hingga pemeriksaan kesehatan. Pembayaran dilakukan bertahap dengan pemotongan gaji jika bekerja di luar negeri.
Baca juga : Bareskrim Mulai Periksa ABK Kapal Long Xin 629
Kini, akibat pandemi dan aturan pemerintah, pihaknya tidak lagi memberangkatkan PMI. ”Sebelum pandemi, kami menerima pendaftar sampai 15 orang per hari. Dari Februari sampai sekarang, belum ada lagi yang daftar,” ucapnya.
Padahal, katanya, menjadi pelaut di luar negeri lebih baik dibandingkan dengan di negeri sendiri. Salah satu alasannya, upah dan asuransi jiwa di luar jauh lebih tinggi. ”Dan, gajinya utuh. Makan dan tempat tinggal ditanggung. Enggak ada penjual bakso atau minimarket di laut jadi bisa nabung,” kata mantan ABK di Taiwan dan Jepang ini.
Menurut dia, PMI yang bekerja di kapal asing selama dua tahun sudah bisa membangun rumah di kampung. Yoso, misalnya, membuka usaha bengkel motor di Cirebon setelah menjadi ABK di luar negeri pada 2007-2013.
Dari 389 aduan ABK Indonesia yang diterima BP2MI pada periode 2018 hingga semester I-2020, ada 120 aduan berasal dari kapal Taiwan, 42 dari kapal Korsel, dan 23 dari kapal China.
Ia mengakui, pekerjaan sebagai ABK di kapal asing berisiko karena berada di laut. Apalagi, belakangan ini, terungkap kasus ABK asal Indonesia yang meninggal dan jenazahnya dilarung ke laut.
Dari 389 aduan ABK Indonesia yang diterima Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada periode 2018 hingga semester I-2020, ada 120 aduan berasal dari kapal Taiwan, 42 dari kapal Korsel, dan 23 dari kapal China. (Kompas, 24/8/2020). ”Namun, itu hanya satu dua kasus. Banyak ABK yang pulang dan sukses,” ucapnya.
General Manager PT Samuel Jaya Maritim Andi Susanto mengakui, salah satu hambatan memberangkatkan calon ABK kini adalah surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK) dari Kementerian Perhubungan. ”Kami sudah mengurusnya tahun lalu, tetapi ditolak. Orang (dari pemerintah) yang mengeceknya sudah dimutasi. Kami urus lagi. Seharusnya kami diaudit awal tahun, tetapi ada Covid-19,” katanya.
Susanto memastikan, perusahaan tempatnya bekerja yang berdiri sejak 2017 sudah legal. Pihaknya, misalnya, telah memiliki surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SIP3MI) sebagai syarat memberangkatkan PMI.
Lagi pula, alamat dan kontak telepon PT Samuel Jaya Maritim bisa diakses di internet dan media sosial. Namun, menurut dia, alamat kantornya telah berubah dari Jalan Pangeran Drajat ke Jalan Gunung Kelud. Di lokasi baru itu, belum terpasang plang perusahaan.
Baca juga : Pekerja Migran Indonesia di Sektor Kelautan Tidak Terlindungi
”SIUPPAK itu prosesnya ribetnya minta ampun. Saya saja ngetik proposal 98 halaman belum beres. SIUPPAK bisa diurus setelah dua tahun (perusahaan) agen berjalan,” ungkapnya. Pihaknya berharap regulasi terkait pemberangkatan calon pelaut ke luar negeri dipermudah. Apalagi, kehadiran mereka turut mengurangi pengangguran.