Polisi Hutan Sulawesi Utara Didesak Jauhi Praktik Pembalakan Liar
Polisi hutan di Sulawesi Utara didesak untuk menjauhi praktik-praktik perusakan hutan setelah seorang polisi hutan ditetapkan tersangka karena kepemilikan kayu tanpa izin. Dinas Kehutanan Sulut berjanji mengawasi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Polisi hutan di Sulawesi Utara didesak untuk menjauhi praktik-praktik perusakan hutan setelah HFP (47), seorang polisi hutan, ditetapkan tersangka karena kepemilikan kayu cempaka tanpa izin. Tersangka masih dalam pelarian setelah permohonan praperadilannya dinyatakan tidak dapat diterima.
Desakan datang dari Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK) Sulawesi Seksi III Manado William Tengker. Ia berharap Dinas Kehutanan Sulut dapat mengawasi dan membina para polisi hutan secara lebih intensif.
”Kami berharap, ke depan, ada pembinaan dari pimpinan dinas. HFP ini adalah salah satu contoh ASN (aparatur sipil negara) di lingkungan Dinas Kehutanan Sulut yang seharusnya mengawasi illegal logging, tetapi malah terlibat di dalamnya. Jadi, pembinaan kepada polisi hutan itu harus diintensifkan,” kata William.
HFP adalah polisi hutan yang bertugas di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) V Tomohon yang wilayah kerjanya mencakup Tomohon, Minahasa, sebagian Minahasa Tenggara, dan sebagian Minahasa Selatan. Balai Gakkum LHK Seksi III Manado menetapkannya tersangka pada Juli 2020 karena dugaan memiliki 10,33 meter kubik kayu cempaka tanpa izin.
Ia juga ditetapkan tersangka karena memerintahkan BJE (30) mengangkut kayu-kayu yang telah diolah menjadi 253 bilah itu dari Bintauna, Bolaang Mongondow Utara, menuju Tomohon dengan sebuah truk. Saat truk itu terjaring operasi di Tumpaan, Minahasa Selatan, kayu-kayu itu tidak dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH).
Sebelumnya, Mei 2020, HFP dijadikan saksi dalam penetapan BJE sebagai tersangka pengangkutan kayu tanpa izin. Namun, statusnya dinaikkan sebagai tersangka setelah ia terindikasi sebagai pemilik kayu itu, menurut keterangan sembilan saksi. Kayu itu diduga akan dibawa ke sentra industri rumah kayu knock-down di Woloan, Tomohon.
Statusnya dinaikkan sebagai tersangka setelah ia terindikasi sebagai pemilik kayu itu, menurut keterangan sembilan saksi.
”Tersangka tidak bisa membuktikan bahwa kayu yang dia ambil berasal dari area hutan milik pribadi. Di saat yang sama, tidak ada izin yang diterbitkan Dinas Kehutanan Sulut untuk memindahkan kayu dari KPH I di Bolaang Mongondow Utara ke Tomohon. Ditambah lagi, kayu cempaka tidak masuk dalam 32 jenis kayu yang bisa ditransaksikan dengan bukti kuitansi saja,” kata William.
HFP melanggar pasal pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ia diancam hukuman minimal 5 tahun penjara.
Setelah ditetapkan tersangka, HFP mangkir dari dua kali dari panggilan untuk pemeriksaan. Polisi berupaya mencarinya di kediamannya di Desa Kolongan Atas, Sonder, Minahasa, tetapi tidak menemukannya sehingga ia dimasukkan dalam daftar pencarian orang.
Belakangan, ia mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Amurang, Minahasa Selatan, terkait penetapannya sebagai tersangka. Permohonan itu tidak diterima karena PN Amurang tidak berhak mengadili HFP yang secara administratif berdomisili di Manado.
”Kami sudah berusaha mencarinya meski belum membuahkan hasil. Tetapi, berkas tersangka akan kami serahkan kepada jaksa penuntut umum untuk masuk ke tahap persidangan. Kami akan bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Sulut dan Polda Sulut. Kedua instansi juga mendukung agar proses hukum dapat berjalan,” kata William.
Lebih intensif
Sementara itu, Dennie Alou, Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Dinas Kehutanan Sulut, menyatakan akan lebih aktif merangkul sekitar 100 polisi hutan yang dinaunginya di enam KPH di Sulut. Kegiatan pembinaan akan lebih diintensifkan.
”Kami akan lebih intensif turun ke lapangan untuk mengingatkan polisi hutan akan tugas-tugas mereka. Jangan sampai polisi hutan, terutama yang berstatus ASN, bekerja di luar tugas yang telah ditetapkan,” kata Dennie.
Menurut dia, Dinas Kehutanan Sulut menghormati proses hukum yang sedang berjalan saat ini. Sebab, pihaknya tidak pernah memerintahkan pengangkutan kayu dari wilayah KPH I ke wilayah KPH V. Ia pun mengatakan, kemungkinan besar HFP bertindak sendiri untuk kepentingan pribadi.
”Memang tidak ada perintah untuk itu (pengangkutan kayu). Jadi, prosesnya kami serahkan pada Balai Gakkum dan pengadilan. Biarkan saja proses hukum berjalan. Jika memang dia bersalah, biar pengadilan yang menetapkan,” kata Dennie.
Sementara itu, Decky Palilingan (70), orangtua HFP, mengatakan, penetapan anaknya sebagai tersangka sangat melukai rasa keadilannya. Ia bersikeras, kayu itu dibeli dari Desa Padang di Bintauna, Bolaang Mongondow Utara, bukan dari wilayah konservasi. Menurut dia, Balai Gakkum mencari-cari kesalahan dengan menarget pelaku usaha kecil.
Ia pun mengaku mendorong HFP untuk mangkir dari panggilan pemeriksaan. Ia juga merasa anaknya diperlakukan seperti teroris ketika polisi datang mencarinya di kampungnya di Sonder, Minahasa.
Saat ini, Decky tak punya pilihan selain mengikuti proses peradilan terhadap BJE dan kelanjutan kasus anaknya. ”Anak saya tidak lari, dia di kampung (Sonder),” kata dia.
Kasus HFP adalah kasus pembalakan liar keempat yang ditangani Balai Gakkum LHK Seksi III Manado di wilayah Sulawesi dan Gorontalo sepanjang 2020. Semua pelaku adalah perseorangan yang menebang hutan dengan alat gergaji mesin. Terdapat pula dua kasus perambahan hutan yang melibatkan alat berat seperti ekskavator, tetapi masih dalam penyelidikan.
Sulut memiliki hutan seluas 764.739 hektar. Terdapat kawasan pelestarian alam seluas 244.583 hektar, hutan lindung 160.809 hektar, hutan produksi terbatas 201.529 hektar, hutan produksi 64.367 hektar, dan hutan produksi konservasi 14.696 hektar. Ancaman perusakan hutan tidak hanya berupa penebangan liar, tetapi juga penangkapan satwa liar, tambang emas ilegal, hingga pembuangan limbah tanpa izin.