Salah satu kepedulian Jakob Oetama, pendiri Kompas-Gramedia yang wafat pada Rabu (9/9/2020), adalah pemberitaan dari Papua dan Flores di Nusa Tenggara Timur selalu diketahui masyarakat Indonesia.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
”Tolong jaga Papua, Bung. Papua itu mesti dirawat dengan berita-berita yang sejuk, membangun, dan mengingatkan. Kompas adalah bagian dari Papua, kita sama-sama menjaga. Timor Timur sudah lepas,” demikian antara lain pesan Pak Jakob Oetama ditemui di lantai V Gedung Kompas-Gramedia, Senin (4/8/2003).
Suatu siang hari pada Mei 2003 dalam perjalanan dari Sentani ke Kota Jayapura, sekitar 45 km, tiba-tiba ponsel berdering. Saat itu posisi saya sedang berada di depan Danau Sentani. Saya menepi lalu mengangkat ponsel dari dalam tas, tanpa melihat nomor telepon itu karena deringan telepon sudah lebih dari dua kali.
”Halo Bung, saya Jakob, Jakob Oetama, Jakarta.” Saya kaget bukan main. Dalam hati kecil sontak bertanya, kok bisa, Pak Jakob telepon saya. Kenapa mesti Pak Jakob, bukan kepala Desk Nusantara atau Kepala Biro Kompas Makassar.
Begini, saya minta tolong, anggota keluarga saya ada yang tugas di Sarmi sebagai anggota TNI AD. Kira-kira berapa kilo dari Jayapura, Bung? (Jakob Oetama)
Pak Jakob melanjutkan pembicaraan, ”Bung lagi di Jayapura, ya?” ”Betul Bapak,” saya jawab Ppak Jakob. Ia melanjutkan pembicaraan.
”Begini, saya minta tolong, anggota keluarga saya ada yang tugas di Sarmi sebagai anggota TNI AD. Kira-kira berapa kilo dari Jayapura bung?” Saya menjawab Pak Jakob, ”Belum ada jalan darat yang bisa dilalui kendaraan ke sana Bapak, hanya bisa jalan setapak atau dengan pesawat dari Jayapura ke Sarmi sekitar 45 menit.”
Pak Jakob melanjutkan, ”Itu daerah agak rawan, ya, Bung. Tolong dibantu, ya, Bung.” Saya menjawab Pak Jakob, ”Baik Bapak.” Pak Jakob berujar lagi, ”Kalau Bung ke redaksi di Jakarta, ketemu saya, ya.”
Tidak lama, sekretaris pribadi Pak Jakob, Ibu Dewanti (almarhum), menghubungi saya, memastikan kapan ke Jakarta.
Akhir Juli 2003 saya ditelepon Ibu Dewanti lagi. Ia menanyakan, ”Kapan ke Jakarta. Informasinya Pak mau ke Jakarta.” Ternyata, tanggal 5 Agustus 2003 saya mendapat undangan pelatihan penyegaran jurnalistik di Hotel Santika Petamburan dari Desk Nusantara Redaksi Kompas.
Pertemuan dengan Pak Jakob pun terjadi, 4 Agustus 2003 sekitar pukul 11.00, berlangsung di lantai V Gedung Kompas-Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta. Saat itu Ibu Dewanti ingin hadir dalam pertemuan itu, tetapi Pak Jakob meminta Ibu Dewanti di luar ruangan saja.
Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 15 menit itu, Pak Jakob menjelaskan pandangan beliau tentang situasi dan kondisi Indonesia saat itu. Ia mengatakan, bangsa ini terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya. Kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin pun begitu melebar. ”Saya khawatirkan Papua,” kata Pak Jakob.
Tolong jaga Papua, Bung. Papua itu mesti dirawat dengan berita-berita yang sifatnya membangun dan mengingatkan. Kita semua menjaga. Kompas adalah bagian dari Papua. Timor Timur sudah lepas. (Jakob Oetama)
Kekhawatiran Pak Jakob beralasan. Saat itu, Timor Timur baru saja lepas dari NKRI dalam jajak pendapat 30 Agustus 1999. Bagi Pak Jakob, Papua mesti dijaga dan dirawat dengan baik. Berita-berita yang disajikan Kompas mestinya bernas dan mendorong masyarakat Papua jauh lebih maju dari kondisi yang ada.
”Tolong jaga Papua, Bung. Papua itu mesti dirawat dengan berita-berita yang sifatnya membangun dan mengingatkan. Kita semua menjaga. Kompas adalah bagian dari Papua. Timor Timur sudah lepas,” begitu Pak Jakob berpesan.
Menjelang akhir pertemuan Pak Jakob menyinggung soal keinginan mengunjungi Papua. ”Dulu, ada rencana ke Jayapura saat koran Tifa Irian ada,” katanya.
Pertemuan itu berawal dari permintaan Pak Jakob sendiri. Saat itu saya bertugas di Jayapura, Papua (1999-2006), setelah ditempatkan di Dili, Timor Timur (1974-1999).
Masyarakat Flores
Kepala Biro Humas Setda Nusa Tenggara Timur Marius Jelamu mengatakan, masyarakat NTT, khususnya masyarakat Flores, memiliki hubungan emosional dengan Bapak Jakob Oetama dan harian Kompas. Jakob Oetama sebagai teman dekat almarhum Frans Seda, salah satu tokoh masyarakat Flores yang sama-sama berjuang mendirikan harian Kompas, 1965.
Ia mengatakan, kedekatan masyarakat Flores dengan Jakob Oetama terjalin sejak harian Kompas didirikan, 28 Juni 1965. Frans Seda dan harian Kompas sebagai jembatan yang membangun kedekatan Jakob Oetama dengan orang Flores.
”Kedekatan itu diawali dengan kesediaan 5.000 masyarakat Sikka, Flores, memberikan tanda tangan sebagai syarat berdirinya harian Kompas saat itu. Pembubuhan tanda tangan itu dilakukan saat doa Rosario yang digelar masyarakat Sikka pada malam hari di sejumlah desa. Tanda tangan yang diberikan masyarakat Flores diiringi dengan doa-doa agar Kompas berkembang sesuai harapan semua pihak saat itu,” kata Jelamu.
Jakob Oetama berkunjung ke Flores, 26-30 Oktober 2005 bersama Frans Seda dan sejumlah karyawan Kompas-Gramedia. Dalam kesempatan itu Jakob dan Frans Seda sempat bertemu beberapa tokoh masyarakat Flores, tokoh agama, dan mengunjungi Seminar Tinggi Ledalero, Maumere.
Kini, Frans Seda dan Jakob Oetama telah tiada. Seda wafat 31 Desember 2009 dan Jakob Oetama 9 September 2020. Meski Seda dan Jakob telah tiada, sejarah dan ikatan emosional masyarakat Flores dengan harian Kompas tetap hadir sebagai sebuah sejarah yang tidak akan pernah pupus.