Bapaslon Tunggal dan Anak Bupati Warnai Pendaftaran Pilkada di Sumbar
Bakal pasangan calon kepala daerah tunggal dan anak bupati mewarnai proses pendaftaran pilkada serentak di Sumatera Barat. Pengamat politik menilai kondisi tersebut tidak elok untuk proses demokrasi di Sumbar.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS -- Bakal pasangan calon kepala daerah tunggal dan anak bupati mewarnai proses pendaftaran pilkada serentak di Sumatera Barat. Pengamat politik menilai kondisi tersebut tidak elok untuk proses demokrasi di Sumbar meskipun tidak ada aturan yang dilanggar.
Pada pilkada serentak, 9 Desember 2020, Sumbar menggelar pemilihan gubernur dan pemilihan 13 bupati/wali kota di Kota Bukittinggi, Kabupaten Sijunjung, Agam, Limapuluh Kota, dan Padang Pariaman. Selain itu Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok, Kota Solok, Solok Selatan, Tanah Datar, Pesisir Selatan, Pasaman, dan Pasaman Barat.
Data KPU Sumbar menyebutkan, setelah jadwal pendaftaran 4-6 September ditutup, ada 49 bakal pasangan calon (bapaslon) kepala daerah yang mendaftar. Rinciannya, 4 bapaslon untuk pemilihan gubernur, 6 bapaslon untuk pemilihan walikota, dan 39 bapaslon untuk pemilihan bupati.
Dari 49 bapaslon itu, 4 di antaranya maju dari jalur perseorangan, yaitu Ramlan Nurmatias (petahana)-Syahrizal di Bukittinggi, Ferizal Ridwan-Nurkhalis di Limapuluh Kota, Endre Saifoel-Nasrul Cun di Sijunjung, dan Agus Susanto-Rommy Candra di Pasaman Barat.
Di antara 13 kabupaten/kota yang menggelar pilkada, Pilkada Pasaman berpotensi hanya diikuti satu bapaslon atau bapaslon tunggal. Hanya bapaslon Benny Utama-Sabar AS yang diusung Golkar, Demokrat, PKB, PAN, PPP, PDIP, PKS, dan Nasdem yang mendaftar ke KPU Pasaman. Benny, Bupati Pasaman 2010-2015, bersama pasangannya memborong 29 kursi dari total 35 kursi di DPRD Pasaman.
Adapun syarat pencalonan yang mesti dipenuhi untuk Pilkada Pasaman minimal 7 kursi. Dengan 6 kursi yang tersisa (Gerindra 5, Hanura 1), bapaslon yang disebut-sebut hendak maju Atos Pratama, yang juga petahana wakil bupati, dengan pasangannya M Saleh, mantan Sekda Pasaman, tidak memenuhi syarat pencalonan untuk mendaftar.
Ketua KPU Pasaman Rodi Andermi mengatakan, karena hanya ada satu bapaslon yang mendaftar, KPU Pasaman kembali membuka pendaftaran pada 11-12 September 2020 sesuai Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017. Mekanisme perpanjangan masa pendaftaran itu mengacu pada Surat Edaran KPU RI Nomor 742 Tahun 2020 tanggal 6 September 2020.
Menurut Rodi, berdasarkan Peraturan KPU itu, ada tiga kemungkinan yang terjadi selama masa perpanjangan pendaftaran. Pertama, bapaslon yang telah mendaftar bisa mengeluarkan partai pengusul (bukan partai yang menarik dukungan) agar partai itu bisa mendukung bapaslon lain supaya bisa mendaftar. Kedua, partai yang belum mengusul bapaslon bisa diajak bergabung mendukung bapaslon yang sudah mendaftar.
Akan tetapi, jika kedua langkah itu diambil, kata Rodi, bapaslon yang sudah mendaftar harus mendaftar kembali. Sebab, dengan adanya perubahan komposisi partai pengusul, syarat pencalonan bapaslon berubah. Adapun kemungkinan ketiga, bapaslon tidak mengeluarkan partai pengusul ataupun tidak menarik partai yang belum mendukung.
“Kalau hingga berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, tidak ada bapaslon lain yang mendaftar, tahapan pilkada dilanjutkan dengan bapaslon tunggal. Lawannya kolom kosong,” kata Rodi.
Selain potensi bapaslon tunggal di Pasaman, pilkada di Sumbar juga diwarnai dengan calon kepala daerah yang merupakan keluarga kepala daerah petahana. Di Sijunjung, misalnya, anak Bupati Yuswir Arifin (periode 2016-2021), Benny Dwifa Yuswir, ikut mendaftar dalam pilbub Sijunjung bersama pasangannya Iraddatillah.
Benny, yang juga mantan Kepala Bappeda Sijunjung, dan Iraddatilah didukung oleh Nasdem, PPP, Golkar, dan PBB dengan total 10 kursi di DPRD Sijunjung. Mereka akan bersaing dengan empat bapaslon lainnya, yaitu Endre Saifoel-Nasrul Cun (jalur perseorangan), Arrival Boy-Mendro Suarman, Hendri Susanto-Indra Gunalan, dan Ashelfine-Sarikal.
Ketua KPU Sumbar Amnasmen, Senin (7/9/2020), mengatakan, pihaknya belum mendata keluarga kepala daerah petahana yang mengikuti pilkada di Sumbar. Namun, dari informasi yang ia terima, memang ada keluarga petahana yang ikut kontestasi, salah satunya dalam Pilkada Sijunjung.
“Kami tidak mendata secara rinci hal itu. Di Sijunjung, ada kami dengar. Iya (tidak ada aturan yang dilanggar). Bagi KPU, ini sebetulnya terkait persyaratan seseorang untuk maju sebagai bapaslon. Kalau memenuhi syarat pencalonan dan syarat calon, sudah menjadi kewajiban kami menerima proses pencalonan tersebut,” kata Amnasmen.
Disayangkan
Pengamat politik Universitas Andalas, Asrinaldi, berpendapat, adanya potensi calon tunggal pada Pilkada Pasaman tidak bagus untuk proses demokrasi. Namun, perlu didalami apa yang menjadi dasar terjadinya fenomena ini. Apakah partai-partai itu hanya cenderung ke satu bapaslon karena potensi menangnya besar atau justru bapaslon memang sengaja memborong partai agar bapaslon lain tidak bisa ikut kontestasi.
“Secara umum, adanya potensi calon tunggal sangat disayangkan. Ini bertentangan dengan hakikat demokrasi prosedural, yang mengharapkan adanya kontestasi terbuka dan memberikan peluang pilihan yang banyak kepada masyarakat,” kata Asrinaldi.
Menurut Asrinaldi, fenomena bapaslon tunggal merupakan yang pertama kali terjadi di Sumbar. Ada kecenderungan Sumbar mulai mengikuti tren bapaslon tunggal yang terus tumbuh di daerah lain. Adanya fenomena ini menandakan hakikat demokrasi di Sumbar mulai bergeser karena sebelumnya tidak pernah ada dominasi seperti itu dan selalu memberi ruang terbuka bagi siapapun untuk ikut kontestasi.
Adanya fenomena ini menandakan hakikat demokrasi di Sumbar mulai bergeser karena sebelumnya tidak pernah ada dominasi seperti itu. (Asrinaldi).
Asrinaldi berpendapat, fenomena calon kepala daerah bertarung melawan kolom kosong di Indonesia terus meningkat. Kompas mencatat, bapaslon tunggal pada Pilkada 2015 hanya terdapat di 3 daerah. Sementara itu, pada Pilkada 2020, bapaslon tunggal menjadi 28 daerah (Kompas, 8/9/2020).
Kondisi ini, kata Asrinaldi, mestinya menjadi perhatian penyelenggara ke depannya. Bisa jadi hal itu terjadi karena syarat pencalonan minimal 20 persen kursi di DPRD sangat memberatkan bapaslon dan bertentangan dengan hakikat pemilihan kepada daerah secara langsung.
Terkait adanya anak bupati yang ikut pilkada, Asrinaldi mengatakan, hal itu memang dilematis. Secara hukum, memang tidak ada yang dilanggar oleh Benny. Sebab, Benny punya hak politik untuk memilih dan dipilih.
“Masalahnya, ini persoalan etika. Ketika anak maju ketika orangtuanya masih menjabat, tentu tidak elok secara etika dan norma politik. Namun, orang mengabaikan itu juga. Menurut saya, bisa dikatakan itu menjadi dinasti politik,” ujar Asrinaldi.
Asrinaldi melanjutkan, meskipun ada pengawas penyelenggara pemilu, tidak ada yang bisa menjamin anak bupati tidak menggunakan sumber daya orangtuanya untuk memobilisasi dukungan. Apalagi selama anggota keluarganya ikut pilkada, bupati tersebut tidak cuti.
Sebenarnya dulu, kata Asrinaldi, orang yang punya korelasi vertikal, horizontal, serta menantu dan ipar dengan pejabat tidak diperkenankan untuk ikut kontestasi politik dan pemerintahan. Kebijakan itu antara lain termuat dalam UU Nomor 1 Tahun 1957 dan UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Namun, aturan itu sudah tidak ada lagi.
“Kasus di daerah ini sama halnya dengan yang di Solo (anak Presiden Joko Widodo). Memang contohnya yang di atas. Yang di bawah (daerah) jadi ikut-ikutan. Itu semestinya perlu perbaiki,” kata Asrinaldi.