Saat Kaum Milenial Menafsir Ulang Novel Lawas Indonesia
Bentara Budaya Yogyakarta menggelar pameran ilustrasi sampul novel-novel lawas Indonesia yang dikerjakan para ilustrator dan desainer muda. Ilustrasi sampul karya generasi milenial itu menyajikan desain yang kekinian.
Bagaimana jika para ilustrator dan desainer muda merancang ulang sampul muka novel-novel lawas Indonesia? Dua kutub paradoksal itu yang coba diangkat dalam pameran ”Milenial Membaca Sastra Lama” di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY). Pameran ini sekaligus menjadi pintu masuk diskursus relasi antara buku dan ilustrasi sampul.
Lelaki itu terbaring di tanah sambil memegang selembar surat. Di sekelilingnya, terdapat beberapa orang yang berdiri mengerubungi. Sebuah bayangan berbentuk segitiga menutupi sebagian tubuh lelaki malang itu.
Dalam bayangan Eka Arief Setyawan (23), begitulah adegan meninggalnya tokoh Hamid dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. Dalam novel yang terbit tahun 1938 itu, Hamid dikisahkan meninggal saat menunaikan ibadah haji. Dia meninggal dunia di dekat Ka’bah setelah tahu bahwa Zainab, perempuan yang dicintainya, telah meninggal lebih dulu.
Adegan meninggalnya Hamid di depan Ka’bah itulah yang dipilih Eka saat ingin membuat gambar ilustrasi sampul untuk Di Bawah Lindungan Ka’bah. Ilustrasi karya Eka itu memang tidak menjadi sampul resmi buku Di Bawah Lindungan Ka’bah, tetapi merupakan salah satu karya yang ditampilkan dalam pameran ”Milenial Membaca Sastra Lama” di BBY.
Baca juga: Tirakatan Kemerdekaan Indonesia ala Nasirun di Bentara Budaya Yogyakarta
Dalam pameran yang digelar pada 1-10 September 2020 itu, ditampilkan sekitar 30 gambar ilustrasi sampul sejumlah novel lama karya para pengarang Indonesia. Gambar-gambar itu merupakan kreasi 22 ilustrator dan desainer muda dari sejumlah kota di Indonesia. Seperti sudah disebut, gambar-gambar itu bukanlah sampul dari edisi resmi novel yang sudah diterbitkan.
”Melalui pameran ini, kami ingin mengajak teman-teman ilustrator menafsir ulang novel atau roman Indonesia yang terbit tahun 1920-1960 dengan membuat kover atau sampul muka buku-buku tersebut,” kata pengelola BBY, Yunanto Sutyastomo, Selasa (1/9/2020), di Yogyakarta.
Baca juga: Pameran Tunggal Agus Leonardus di Bentara Budaya Yogyakarta
Yunanto menuturkan, pada awal 2020, BBY membuat undangan terbuka yang mengajak perupa dan desainer muda untuk merancang ulang ilustrasi sampul novel-novel lawas Indonesia. Undangan terbuka itu ditujukan bagi perupa dan desainer dengan usia maksimal 29 tahun karena BBY memang ingin mengenalkan kembali novel-novel lama Indonesia itu kepada kalangan milenial.
Menurut Yunanto, BBY tidak menentukan judul novel yang harus dibuat ilustrasi sampulnya. Artinya, para perupa dan desainer bebas untuk memilih novel yang ingin mereka rancang ulang sampulnya. Namun, kebanyakan partisipan memang memilih membuat ilustrasi dari novel-novel terbitan Balai Pustaka yang sudah dikenal luas dalam sejarah sastra Indonesia.
Selain Di Bawah Lindungan Ka’bah, beberapa novel yang dipilih para partisipan itu antara lain Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati, Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, Kalau Tak Untung karya Selasih, Layar Terkembang dan Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisjahbana, Salah Asuhan dan Pertemuan Jodoh karya Abdoel Moeis, serta Salah Pilih dan Hulubalang Raja karya Nur Sutan Iskandar.
Menyoal relasi
Pada pameran ”Milenial Membaca Sastra Lama”, buku-buku tersebut juga dihadirkan secara langsung sehingga pengunjung pameran bisa membandingkan kover lama dan kover kreasi baru yang dibuat para ilustrator dan desainer muda. Secara umum, ilustrasi sampul karya anak-anak muda itu hadir dengan corak kekinian, jauh dari kesan kuno atau klasik yang tampak dari sampul novel-novel lama terbitan 1920-1960-an.
Gambar ilustrasi sampul memiliki sejumlah fungsi, misalnya memberi gambaran sekilas mengenai isi buku sekaligus menarik minat pembaca.
Namun, yang menarik dari pameran ini tentu bukan hanya tampilan kover yang lebih segar, melainkan juga bagaimana relasi antara ilustrasi sampul dan novel. Bagi sebuah buku, gambar ilustrasi sampul memiliki sejumlah fungsi, misalnya memberi gambaran sekilas mengenai isi buku sekaligus menarik minat pembaca.
Oleh karena itu, kebanyakan ilustrasi sampul memang memiliki keterkaitan dengan isi buku. Meski begitu, keterkaitan antara ilustrasi sampul dan isi buku tak selalu tampak secara jelas.
Salah satu karya yang secara jelas mengacu pada isi buku adalah ilustrasi sampul Di Bawah Lindungan Ka’bah buatan Eka Arief Setyawan. ”Dalam ilustrasi itu, saya mengambil salah satu adegan dalam novel tersebut, yakni saat sang tokoh utama sekarat di depan Ka’bah,” kata Eka yang merupakan mahasiswa program studi Film dan Televisi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.
Dalam ilustrasi tersebut, Eka memang tidak menampilkan gambar Ka’bah secara jelas. Wujud Ka’bah hanya terlihat samar-samar dari bayangan segitiga yang menutupi sebagian tubuh sang lelaki yang terbaring di tanah. Namun, dari pakaian yang dikenakan sang lelaki, audiens bisa memahami bahwa peristiwa itu terjadi di tempat pelaksanaan ibadah haji.
Baca juga: Sketsa-sketsa Malioboro Hendro Purwoko di Bentara Budaya Yogyakarta
Sementara itu, dalam ilustrasi novel Hulubalang Raja, Eka menampilkan sebuah tafsir menarik. Novel yang terbit tahun 1934 itu mengisahkan konflik di antara sejumlah raja di wilayah Minangkabau pada abad ke-17. Ilustrasi karya Eka untuk novel ini berupa kartu remi bergambar raja.
Seperti diketahui, dalam kartu remi, gambar sosok raja pastilah memiliki dua kepala dengan tubuh yang terhubung satu sama lain. Ilustrasi yang dibuat Eka juga menampilkan sosok raja dengan dua kepala itu. Melalui gambar tersebut, Eka ingin menyatakan bahwa para raja yang berperang dalam novel Hulubalang Raja sebenarnya masih memiliki keterkaitan satu sama lain.
Eksplisit dan implisit
Relasi yang jelas antara ilustrasi sampul dan cerita novel juga tampak dari kover Layar Terkembang yang dibuat Silvia Anggraini (26). Dalam kover itu, Silvia menampilkan gambar seorang lelaki dan perempuan yang naik perahu kecil di tengah laut yang bergejolak.
Silvia menuturkan, gambar itu diambil dari salah satu bagian di Layar Terkembang yang mengisahkan sepasang kekasih, yakni Maria dan Yusuf, naik perahu bersama. Silvia berpendapat, cerita Maria dan Yusuf naik perahu itu sangat penting dalam struktur alur Layar Terkembang. Sebab, setelah cerita naik perahu itu, muncul plot twist (puntiran alur) yang mengejutkan.
”Saat naik perahu itulah Maria terakhir kalinya mengalami momen bahagia bersama kekasihnya karena setelah itu kan dia jatuh sakit,” ujar Silvia yang bekerja sebagai ilustrator dan penata letak buku di Solo, Jawa Tengah.
Ilustrasi sampul memang harus memiliki relasi atau kedekatan dengan isi buku. Namun, kedekatan itu tidak harus bersifat eksplisit, tetapi bisa juga bersifat implisit.
Menurut Silvia, ilustrasi sampul memang harus memiliki relasi atau kedekatan dengan isi buku. Namun, kedekatan itu tidak harus bersifat eksplisit, tetapi bisa juga bersifat implisit. Saat relasi kover dan isi buku bersifat implisit, pembaca baru akan menemukan keterkaitan keduanya saat menjelajahi isi buku tersebut.
”Seorang pembuat kover bisa membangun kedekatan yang bersifat implisit. Jadi, saat menjelajahi isi sebuah buku, pembaca bisa menemukan kaitan kover dengan cerita buku itu,” tutur Silvia.
Relasi yang implisit itu pula yang tampak dari ilustrasi sampul buatan Lejar Daniartana Hukubun (28) untuk novel Kalau Tak Untung. Selama ini, Lejar dikenal sebagai seniman yang mengembangkan wayang Papua, yakni kesenian wayang yang memakai figur dan cerita yang berasal dari Papua.
Dalam ilustrasi sampul Kalau Tak Untung, Lejar menampilkan sosok empat Punakawan, yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang tengah berjalan bersama-sama dengan latar pemandangan gunung. Dilihat sekilas, ilustrasi buatan Lejar itu memang tak berkaitan langsung dengan isi novel yang terbit tahun 1933 tersebut.
Sebab, novel Kalau Tak Untung berkisah tentang kisah cinta seorang perempuan dan laki-laki di Sumatera Barat yang terhalang sejumlah hal, termasuk adat-istiadat setempat. Namun, bagi Lejar, novel itu juga memiliki nilai-nilai yang mirip dengan cerita Punakawan, misalnya kejujuran dan kebersamaan. Itulah kenapa Lejar memilih menggambar figur Punakawan untuk kover Kalau Tak Untung.
Namun, figur Punakawan yang digambar Lejar itu ternyata memiliki perbedaan signifikan dengan figur Punakawan yang dikenal dalam cerita wayang di Jawa. Sebab, dalam ilustrasi itu, Lejar juga menambahkan unsur-unsur wayang Papua dalam figur Punakawan yang dibuatnya.
”Unsur-unsur ornamen yang biasa aku buat di wayang Papua secara tidak langsung tertular di Punakawan itu, misal mata, hidung, dan lainnya,” ujar Lejar yang merupakan lulusan pascasarjana Penciptaan Seni ISI Yogyakarta itu.
Dengan kondisi itu, ilustrasi karya Lejar menjadi sangat khas. Bahkan ilustrasi itu bisa saja dianggap sebagai karya mandiri yang tak berkait dengan novel Kalau Tak Untung. Dalam konteks ini, karya Lejar itu mungkin saja telah menawarkan cara pandang baru dalam melihat ilustrasi sampul buku.