Mendagri Larang Arak-arakan Massa pada Pilkada 2020
Mendagri Tito Karnavian ingatkan calon kepala/wakil kepala daerah di Pilkada 2020 tidak mengerahkan massa selama pilkada guna mencegah penularan Covid-19. Ia meminta Bawaslu menjatuhkan sanksi bagi yang melanggar.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pasangan bakal calon pada Pemilihan Kepala Daerah 2020 diingatkan agar tidak mengajak massa dalam jumlah besar atau konvoi di tengah pandemi Covid-19. Peringatan ini untuk mencegah penularan Covid-19 yang berpotensi menjadi kluster baru di setiap tahapan pilkada.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dalam rapat kordinasi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional, Kamis (3/9/2020), mengatakan, semua bakal paslon harus mematuhi protokol kesehatan Covid-19 di setiap tahapan pilkada. Secara khusus, ia melarang adanya kerumunan massa, arak-arakan, dan konvoi agar tidak memperluas penyebaran virus.
Peringatan ini disampaikan karena masa pendaftaran calon kepala daerah akan dimulai pada Jumat hingga Minggu (4-6/9/2020).
”Saya tegaskan, tidak ada arak-arakan, konvoi-konvoi pada saat pendaftaran, yang tidak mengindahkan protokol kesehatan. Jika tidak, akan berpotensi menjadi kluster baru, akibat terjadinya kerumunan massa,” ujar Tito.
Menurut Tito, paslon cukup didampingi tim kecil yang menyiapkan dokumen administrasi pendaftaran. Lalu, proses hingga hasil dari pendaftaran bisa diamplifikasi melalui media massa atau virtual.
”Jadi, tidak ada massa dalam jumlah besar yang mendampingi paslon, seperti tahun-tahun sebelumnya,” ujar Tito.
Selain pada tahap pendaftaran calon kepala daerah, tahapan lain pun dilarang muncul kerumunan massa, terutama saat masa kampanye (26 September-5 Desember 2020), dan pemungutan suara (9 Desember 2020).
Sebelumnya, Mendagri pernah mengingatkan agar Badan Pengawas Pemilu sebagai wasit dalam menegakkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tak segan-segan memberikan sanksi yang tegas hingga diskualifikasi terhadap para paslon yang melanggar imbauan tersebut.
”Yang tegas-tegas saja, tidak ada arak-arakan, konvoi-konvoian, sehingga Bawaslu bisa nyemprit (memberikan sanksi), kalau sampai terjadi berkali-kali kesalahan yang sama, diskualifikasi kalau diperlukan, dan kita juga bisa memberikan sanksi sosial, media juga bisa memberikan sanksi sosial,” ucap Tito.
Menurut Tito, paslon seharusnya bisa menjadi panutan (role model) bagi masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan yang telah diatur dalam pilkada.
”Bagaimana mau menjadi pemimpin kalau mengurus tim sukses, pendukung yang jumlahnya 200-300-an saja tidak bisa diatur. Bagaimana mau menjadi pemimpin yang bisa mengatasi Covid, yang jumlah masyarakatnya ratusan, puluhan ribu bahkan jutaan rakyatnya,” ujar Tito.
Bagaimana mau menjadi pemimpin kalau mengurus tim sukses, pendukung yang jumlahnya 200-300-an saja tidak bisa.
Teguran
Sebelumnya, pada 14 Agustus lalu, Mendagri menegur dua bupati yang tidak mematuhi protokol Covid-19 di daerahnya. Kedua bupati tersebut adalah Bupati Muna Barat Laode Muhammad Rajiun Tumada dan Bupati Muna Rusman Emba. Surat teguran disampaikan melalui Gubernur Sulawesi Tenggara.
Insiden itu terjadi pada 9 Agustus 2020 ketika ribuan warga memadati Pelabuhan Nusantara Raha Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Tanpa memperhatikan protokol kesehatan, mereka berduyun-duyun menyambut Rajiun Tumada, yang akan maju dalam Pilkada Kabupaten Muna Barat 2020.
Empat hari berselang, persisnya 13 Agustus, massa membeludak lagi di pelabuhan itu. Kali ini, massa menyambut Rusman Emba yang akan maju di Pilkada Muna 2020. Ironisnya, tak cukup berkumpul di pelabuhan, mereka berbondong-bondong berjalan kaki sampai Tugu Jati, dengan diiringi konvoi kendaraan yang membawa bendera partai politik pengusung Rusman.
”Tentu, kegiatan yang melibatkan orang banyak, apalagi banyak yang tidak memakai masker, bertentangan dengan upaya pemerintah dalam menanggulangi dan memutus rantai penularan wabah Covid-19,” ujar Tito.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Akmal Malik menyampaikan, teguran itu didasari atas Pasal 67 Ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di sana ditegaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah wajib mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, di dalam Pasal 4 Ayat 1 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, ditegaskan bahwa PSBB setidaknya meliputi pembatasan kegiatan, antara lain di tempat umum dan fasilitas umum.
”Mengacu dua aturan tersebut, kami meminta Gubernur Sulawesi Tenggara sebagai wakil pemerintah pusat untuk dapat menyampaikan sanksi teguran tertulis kepada Bupati Muna dan Bupati Muna Barat dan melaporkan hasilnya kepada Mendagri,” ucap Akmal.