Tanda Bahaya Lonjakan Kematian Pasien Covid-19 di Sulawesi Tenggara
Enam bulan sejak kasus pertama ditemukan, transmisi virus Covid-19 di Sultra semakin tak terkendali dengan angka kematian melonjak hingga 300 persen. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Alih-alih teratasi, enam bulan sejak pertama kali ditemukan kasus Covid-19 di Sulawesi Tenggara justru semakin menggaungkan tanda bahaya. Angka kematian bahkan melonjak hingga 300 persen dalam dua bulan terakhir. Jumlah kematian yang terus bertambah bertolak belakang dengan pengujian spesimen yang hanya 0,2 persen dari total penduduk.
Jumat (21/8/2020) pagi, kondisi kesehatan seorang pasien yang dirawat di RS Bahteramas Kendari memburuk. Pasien yang juga anggota DPRD Buton yang sedang kunjungan kerja ke Kendari tersebut mengalami sesak dan keluhan sakit di dada. Beberapa waktu setelahnya, pasien tidak tertolong.
Setelah meninggal, tim dokter mengambil spesimen pasien berusia 66 tahun tersebut. Dari hasil laboratorium yang keluar beberapa jam setelahnya, pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Padahal, saat masuk dua hari sebelumnya, pasien diuji cepat dengan hasil non-reaktif.
”Tim dokter sebelumnya telah memberikan pemahaman kepada pasien untuk diambil spesimen karena sejak awal keluhannya itu sesak napas. Kondisi pasien terus memburuk dan meninggal setelah dua hari dirawat,” kata La Ode Rabiul Awal, Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 Sultra.
Sehari setelahnya, seorang pasien perempuan di Kendari juga tidak tertolong. Pasien disebut memiliki penyakit penyerta dengan kondisi yang terus memburuk. Minggu sore, seorang pasien positif Covid-19 di Kabupaten Muna juga meninggal.
Hingga Rabu (26/8/2020), jumlah pasien Covid-19 yang meninggal mencapai 24 orang. Padahal, pada akhir Juni, angka pasien meninggal ”hanya” enam orang. Medio Juli hingga akhir Agustus, angka pasien meninggal melonjak tiga kali lipat, yaitu 16 orang.
Baca juga: Anggota DPRD Buton Meninggal Positif Covid-19 Saat Dinas ke Kendari
Data GTPP Covid-19 Sultra, pasien positif yang meninggal berumur mulai dari 26 tahun hingga di atas 65 tahun. Pasien meninggal di atas 65 tahun mendominasi dengan delapan orang, disusul 55-65 tahun sebanyak enam orang, dan 46-55 tahun sebanyak lima orang. Pasien meninggal diketahui memiliki penyakit penyerta.
”Artinya, kondisi pasien usia renta dan mereka yang punya penyakit penyerta semakin mudah terpapar virus. Dengan peningkatan kasus yang semakin tidak terkendali, kelompok ini menjadi kelompok yang paling tinggi risiko meninggalnya,” kata Rabiul.
Angka Case Fatality Rate (CFR) di Sultra mencapai 1,8 persen untuk jumlah total pasien 1.365 orang. Jumlah pasien yang masih dirawat sebanyak 420 orang dan 921 orang sembuh.
Kasus pasien meninggal yang melonjak ini, menurut epidemiolog Universitas Halu Oleo, Ramadhan Tosepu, patut diwaspadai dan menjadi peringatan keras bagi pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Sebab, hal ini menunjukkan kasus yang semakin buruk di wilayah Bumi Anoa ini.
Baca juga: Angka Kematian Pasien Covid-19 di Sultra Melonjak Tiga Kali Lipat
Terus bertambahnya pasien yang meninggal belakangan ini, tutur Ramadhan, bisa saja karena telah lama terpapar virus. Penyakit penyerta membuat kondisi kesehatan pasien terus menurun hingga akhirnya tidak bisa tertolong.
”Kemungkinan besar, kan, pasien tersebut sudah lama terpapar virus, hanya baru terdeteksi ketika kondisi kesehatannya sudah buruk. Jadi, ketika datang ke layanan kesehatan, sudah sulit tertolong,” jelas Ramadhan.
Kita tentu berharap tidak ada lagi kasus kematian pada kemudian hari. Kuncinya, pengujian dan penegakan protokol.
Oleh sebab itu, penelusuran kasus dengan pengujian secara luas sudah sangat mendesak dilakukan. Pengujian dengan tes usap secara massal akan memudahkan untuk menghentikan penyebaran virus di masyarakat.
”Kita sudah tidak tahu siapa saja yang terjangkit di kantor, di jalan, atau bahkan di rumah. Kalau pemerintah beralasan kurang alat atau anggaran, ini sudah enam bulan berjalan. Seharusnya itu tidak jadi kendala lagi sekarang. Perlu diingat, nyawa satu orang itu sangat berharga. Kita tentu berharap tidak ada lagi kasus kematian di kemudian hari. Kuncinya, pengujian dan penegakan protokol,” ujarnya.
Tes usap minim
Hingga akhir Agustus, jumlah tes usap yang dilakukan di Sultra sebanyak 7.958 spesimen, di mana sebanyak 1.365 orang dinyatakan positif. Rasio positif di wilayah ini sebanyak 17 persen, jauh di atas angka nasional yang hanya 14 persen, terlebih standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 4,2 persen.
Di satu sisi, pengujian baru menyentuh 0,2 persen dari total 2,7 juta penduduk. Sementara itu, merujuk standar WHO, tes usap dilakukan sebanyak 1.000 orang per 1 juta penduduk dalam setiap minggu. Dengan 24 minggu selama ini, tes usap di Sultra seharusnya mencapai kisaran 65.000. Nyatanya, dengan 7.958 tes usap, angka ini hanya 12 persen dari angka ideal.
Baca juga: Prioritaskan Tes Massal dan Pelacakan Kontak
Jumlah tes spesimen terbanyak berada di Kendari dengan 3.398 spesimen atau sekitar 42 persen, disusul Kolaka dengan 1.007 spesimen. Daerah lain berjumlah ratusan, puluhan, bahkan di Konawe Kepulauan hanya ada empat spesimen yang diuji selama enam bulan ini.
Tes usap sejak awal memang menjadi kendala di wilayah ini. Tiga bulan pertama sejak kasus ditemukan, semua spesimen dikirim ke Makassar, Sulawesi Selatan, untuk diuji di laboratorium karena tidak adanya alat di Sultra. Alat reaksi berantai polimerase (PCR) milik BPOM Kendari baru difungsikan pada Juni. Satu alat lain, yaitu alat tes cepat molekuler (TCM), difungsikan tidak lama setelahnya.
Kedua alat ini berada di RS Bahteramas Kendari. Semua spesimen dari 17 kabupaten/kota dikirim ke rumah sakit ini untuk diperiksa. Sementara itu, satu alat PCR hanya bisa menguji maksimal 120 spesimen setiap hari, sementara alat TCM hanya 20 spesimen.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Sultra dr Ridwan menyampaikan, tes usap massal belum bisa dilakukan dalam waktu dekat karena keterbatasan alat dan anggaran. Laboratorium pengujian hanya ada di RS Bahteramas Kendari dengan kemampuan maksimal hanya 120 spesimen dalam sehari.
Baca juga: Ribuan Spesimen Covid-19 di Sultra Menumpuk
”Belum lagi bicara dokter spesialis yang harus ada dan anggaran yang akan memakan banyak biaya. Satu orang minimal memerlukan Rp 1,2 juta untuk satu kali tes usap. Tapi kalau (kasus) semakin bertambah, mau tidak mau nanti kita akan lakukan uji usap massal,” ujar Ridwan.
Sejauh ini, tutur Ridwan, pelacakan virus mengandalkan tes uji cepat. Jika hasil menunjukkan reaktif, akan dilakukan pengambilan spesimen untuk diuji di laboratorium. Total alat uji cepat yang telah digunakan sebanyak 77.728 buah dengan 1.398 hasil reaktif.
Padahal, berdasarkan panduan WHO, minimal 80 persen orang yang memiliki kontak dengan pasien positif Covid-19 harus sudah ditemukan dalam waktu kurang dari 72 jam. Penelusuran dengan uji cepat tidak bisa menemukan secara tepat kontak erat dari pasien positif Covid-19.
Selain di RS Bahteramas, alat PCR kini telah dimiliki RSUD Djafar Harun Kolaka Utara. Alat yang pengadaan lengkapnya sebanyak Rp 2 miliar ini diklaim bisa melakukan pengujian sebanyak 300 spesimen setiap hari. Meski demikian, alat ini baru menguji spesimen dari daerah setempat.
Baca juga: Dari ”Pagar Covid-19” hingga Penyuluhan Wabah Belasan Miliar di Sulawesi Tenggara
Jubir GTPP Covid-19 Kolaka Utara dr Syarif Nur menyampaikan, alat PCR ini resmi difungsikan sejak Agustus lalu. Pengadaan alat memakan waktu cukup panjang, tetapi tidak begitu sulit. Terlebih lagi, kemauan daerah, tempat, dan sumber daya, juga telah disiapkan sejak dini. ”Hanya, untuk dokter patologinya, itu dari provinsi karena kami belum punya dokter spesialis di sini. Yang lain kami semua yang operasikan,” tuturnya.
Dengan tersedianya alat tersebut, tutur Syarif, spesimen dari beberapa daerah sekitar sebenarnya bisa dibawa ke daerah ini untuk diuji. Tes usap massal juga bisa dilakukan jika memang situasi mendesak. Sejauh ini, di Kolaka Utara terdata nol pasien yang masih dirawat dan dua orang meninggal dari total 89 kasus selama ini.
Pengadaan PCR hingga tes usap massal seharusnya bukan menjadi kendala bagi Pemprov Sultra.
Kisran Makati, Ketua Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Sultra, menjelaskan, pengadaan PCR hingga tes usap massal seharusnya bukan menjadi kendala bagi Pemprov Sultra. Sebab, pemerintah telah mengalokasikan Rp 400 miliar untuk penanganan Covid-19 di wilayah ini.
Anggaran sebesar itu, lanjut Kisran, bisa digunakan untuk pengadaan alat di sejumlah daerah untuk memudahkan pengujian. Dengan begitu, spesimen dari daerah tidak harus dikirim ke Kendari dan menumpuk di rumah sakit.
”Kalau tes usap massal tidak dilakukan karena kurangnya anggaran itu mengada-ada. Anggarannya ada, hanya selama ini dialokasikan untuk hal yang tidak penting. Hal ini menunjukkan kurangnya keberpihakan pemerintah dalam penanganan pandemi ini,” ujarnya.
Salah satu contoh tidak fokusnya anggaran, tutur Kisran, adalah penyuluhan di Dinas Pendidikan yang menghabiskan Rp 17 miliar. Anggaran sebesar itu bisa menyediakan delapan alat PCR yang bisa lebih mudah memutus penyebaran virus, dengan asumsi satu buah alat membutuhkan Rp 2 miliar.
Baca juga: ”Anomali” Anggaran Penanganan Covid-19 di Sulawesi Tenggara
Alokasi anggaran refocusing sebesar ratusan miliar rupiah tersebut, Kisran menilai, tidak sesuai prioritas dan patut diduga rawan penyelewangan. Sebab, anggaran lebih banyak untuk hal yang tidak substansial, seperti pembangunan pagar, rehabilitasi gedung, penyuluhan, hingga perjalanan dinas.
Deretan kematian pasien Covid-19 di Sultra terus bertambah. Hal ini seharusnya menjadi sinyal bahaya yang menyadarkan pemerintah untuk lebih subtansial menangani pandemi. Pilihan untuk membiarkan deret kematian bertambah atau mengambil langkah segera, tergantung keseriusan dan keperpihakan pemerintah pada warganya.