Angka Kematian Pasien Covid-19 di Sultra Melonjak Tiga Kali Lipat
Angka kematian akibat Covid-19 di Sulawesi Tenggara melonjak drastis dalam dua bulan terakhir. Hal ini menjadi salah satu penanda bahwa langkah-langkah memutus penyebaran virus korona baru belum optimal.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Angka kematian akibat Covid-19 di Sulawesi Tenggara melonjak drastis dalam dua bulan terakhir. Sejak Juli hingga akhir Agustus, angka kematian bertambah 18 kasus atau tiga kali lipat dibandingkan empat bulan pertama masa pandemi. Kondisi ini salah satunya akibat upaya penanganan pemerintah daerah yang belum optimal.
Hingga Selasa (25/8/2020), angka pasien Covid-19 di Sultra yang meninggal mencapai 24 orang. Sebagian besar kasus meninggal adalah pasien yang memiliki penyakit penyerta dengan rentang umur bervariasi dari 26 tahun hingga di atas 65 tahun.
Jumlah pasien Covid-19 yang meninggal melonjak drastis selama dua bulan terakhir. Pada medio Maret-Juni, angka kematian tercatat enam orang. Adapun pada Juli hingga akhir Agustus, angka kematian bertambah 18 kasus atau tiga kali lipat dari empat bulan pertama.
”Akhir Juni lalu angka pasien yang meninggal tercatat enam orang. Sejak Juli hingga Agustus ini bertambah 18 kasus sehingga totalnya 24 kasus dari total pasien 1.327 orang. Jadi, angka CFR (kematian) di Sultra itu 1,8 persen,” ujar juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sultra, dr La Ode Rabiul Awal, di Kendari, Selasa.
Kasus meninggal terbanyak tercatat di Kota Kendari sebanyak 10 kasus, Baubau 5 kasus, Buton 4 kasus, Muna 2 kasus, Kolaka Utara 2 kasus, dan Kolaka 1 kasus.
Dua kasus terakhir, kata Rabiul, terjadi dua hari lalu di Kendari dan Muna. Kedua pasien ini dirawat selama tiga hari sebelum kondisinya semakin memburuk dan meninggal. Pasien terakhir yang meninggal di Muna bahkan awalnya dirawat sebagai suspek. Namun, karena kondisinya kian memburuk, spesimen pasien akhirnya diambil dan diketahui positif Covid-19 setelah meninggal.
Kasus pasien yang meninggal dan belakangan diketahui terpapar virus korona jenis baru ini sudah berulang kali terjadi. Seorang anggota DPRD Buton meninggal pada Jumat pekan lalu saat melakukan kunjungan kerja di Kendari. BA (66) meninggal positif Covid-19 dengan keluhan sesak dan sakit di dada.
Menurut Rabiul, angka kematian yang melonjak juga menunjukkan penyebaran virus semakin tidak terkontrol. Warga usia renta atau mereka yang memiliki penyakit bawaan semakin mudah terpapar sehingga membuat kondisi kesehatan mereka semakin buruk.
Ramadhan Tosepu, epidemiolog Universitas Halu Oleo, menjabarkan, hampir dipastikan semua yang meninggal akibat terpapar Covid-19 juga dipicu penyakit bawaan. Virus hanya membuat daya tahan tubuh melemah dan tersumbatnya aliran pernapasan.
Hanya saja, kata Ramadhan, meski memiliki penyakit penyerta, orang yang terpapar Covid-19 masih berpeluang besar selamat jika lebih cepat terdeteksi. Dengan begitu, penanganan bisa lebih cepat sehingga peluang hidup pasien jauh lebih besar.
”Tapi kemungkinan besar, kan pasien tersebut sudah lama terpapar virus, hanya baru terdeteksi ketika kondisi kesehatannya sudah buruk. Jadi ketika datang ke layanan kesehatan sudah sulit tertolong. Padahal, satu nyawa itu sangat berharga siapa pun dia. Pemerintah harus berupaya menyelamatkan nyawa setiap orang,” kata Ramadhan.
Peningkatan angka kematian, menurut Ramadhan, menunjukkan kasus di Sultra semakin buruk dan meluas. Hal ini harus menjadi peringatan kepada pemerintah utamanya, dan masyarakat luas pada umumnya, bahwa virus terus meluas dan bisa menjangkiti siapa saja.
Peningkatan angka kematian menunjukkan kasus di Sultra semakin buruk dan meluas.
Oleh sebab itu, penelusuran kasus dengan pengujian secara luas sudah sangat mendesak. Tes usap secara massal akan memudahkan penghentian penyebaran virus di masyarakat.
”Kita sudah tidak tahu siapa saja yang terjangkit di kantor, di jalan, atau bahkan di rumah. Kalau pemerintah beralasan kurang alat atau anggaran, ini sudah enam bulan berjalan. Seharusnya itu tidak jadi kendala lagi sekarang,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Sultra dr Ridwan menyampaikan, tes usap massal belum bisa dilakukan dalam waktu dekat karena keterbatasan alat dan anggaran. Laboratorium pengujian hanya ada di Rumah Sakit Bahteramas, Kendari, dengan kemampuan maksimal hanya 120 spesimen dalam sehari.
”Alat kita hanya ada di RS Bahteramas dan itu terbatas. Belum lagi bicara anggaran yang akan memakan banyak biaya. Satu orang minimal memerlukan Rp 1,2 juta untuk satu kali tes usap. Tapi kalau semakin bertambah, mau tidak mau kita akan lakukan uji usap massal,” katanya.
Di Sultra, hanya ada satu tempat pengujian spesimen usap tenggorokan, yaitu RS Bahteramas, Kendari. Alat di rumah sakit ini hanya ada dua, yaitu tes cepat molekuler (TCM) dan polymerase chain reaction (PCR) dengan kemampuan terbatas.
Satu alat PCR hanya bisa menguji maksimal 120 spesimen setiap hari, sementara alat TCM hanya 20 spesimen. Sejak awal pandemi hingga saat ini belum ada lagi penambahan alat meski anggaran penanganan Covid-19 Sultra mencapai Rp 400 miliar.