Satu Kata yang Bikin Dua Kelompok Kolintang Geger
Pengalaman wartawan ”Kompas” di Sulawesi Utara, Kristian Oka Prasetyadi, dalam meliput pertunjukan musik kolintang. Kesalahan dalam pemilihan kata membuatnya harus menghadapi keluhan dari sejumlah pihak.
Mimpi terliar saya sebagai wartawan adalah menjadi ”buron” karena produk-produk jurnalistik yang saya buat. Tentunya bukan karena melanggar UU ITE dan etika jurnalistik, melainkan karena berhasil bikin gerah penegak hukum dan politisi korup atau cukong tambang ilegal. Namun, jauh panggang dari api, berita yang saya tulis malah bikin geger dua sanggar seni musik kolintang.
Semua berawal dari kabar rencana pentas satu kelompok kolintang asal Tondano Barat, Minahasa, Sulawesi Utara, bernama D’Maestro untuk merayakan HUT Kemerdekaan Ke-75 Indonesia, Senin (17/8/2020). Pentas ini diselenggarakan oleh Sanggar Seni Budaya dan Bahasa Benteng Moraya.
Pentas ini bukan pentas biasa, melainkan pentas terapung di atas Danau Tondano. Para pemain akan menabuh batang-batang kolintang menjadi harmoni di atas perahu-perahu kayu yang menjelma menjadi panggung.
Saat dihubungi, dua hari sebelum pentas, ketua sanggar Fery Koyongian mengatakan, pentas ini sangat mungkin menjadi pentas ansambel kolintang terapung pertama di Minahasa, Sulut, atau bahkan Indonesia. Memang, tak pernah sebelumnya terdengar ada aksi spektakuler pentas kolintang di atas air.
Saya jadi semangat mendengarnya. Tidak hanya unik, pentas ini juga penting karena kolintang adalah warisan budaya tak benda yang telah diakui UNESCO (Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa). Komunitas kolintang di Sulut dan seluruh Indonesia juga tengah mendorong pemerintah untuk mengusung alat musik ini sebagai warisan budaya dunia.
Dalam bayangan saya, pentas ansambel kolintang ini akan meriah dengan ratusan penonton, dihadiri Gubernur Sulut serta Bupati Minahasa. Selayaknya pentas besar, panitia pasti menggunakan perlengkapan yang memadai, mulai dari penataan panggung terapung hingga sistem pelantang suara.
Saya juga mengira anak-anak muda kreatif Minahasa yang akan tampil mengenakan baju adat bajang dan kebaya. Penyanyi akan berdiri di atas perahu yang terletak di tengah dikelilingi para pemain kolintang yang juga berdiri di setiap satu perahu.
Walakin, ekspektasi kadang-kadang meleset. Di lokasi pentas, yaitu di Menara Pandang Danau Tondano, Tounsaru, Kecamatan Tondano Selatan, terapung sebuah panggung sederhana di atas air dekat tepi danau. Serupa rakit, panggung itu dibuat dari 28 bilah kayu yang diikat menjadi satu bidang dengan tali di atas lima perahu kayu milik masyarakat.
Seperangkat alat kolintang yang berjumlah delapan buah terikat di atas pijakan kayu itu sehingga tak bergeser sesentimeter pun meski diombang-ambingkan ombak danau yang kuat. Tak ada satu kabel pun di atas panggung yang tersambung ke sistem pelantang suara di tepi danau. Saya kira mereka menggunakan sistem nirkabel, tetapi ternyata memang tidak ada mikorfon di atas panggung terapung.
Ini terungkap tiga jam sebelum pentas ketika delapan pria, tujuh di antaranya berusia di atas 50 tahun, menyeberang dari tepi danau ke atas panggung untuk geladi bersih. Alhasil, suara kolintang kalah dari suara penyanyi di tepi danau yang menggunakan mikrofon dan pelantang.
Baca juga: Pentas Kolintang Terapung di Minahasa Meriahkan HUT Kemerdekaan
Jauh dari bayangan anak-anak muda bermain kolintang, delapan pria itulah personel D’Maestro, termasuk Pak Fery, Ketua Sanggar Benteng Moraya yang menjadi penabuh bas kolintang. Mereka hanya mengenakan kaos dan jaket, seperti guru-guru olahraga sekolah, meski juga telah menyediakan baju adat kabasaran.
Pentas itu diawali dengan upacara singkat yang hanya dipimpin oleh Camat Tondano Selatan. Hadir pula Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Minahasa Teddy Sumual, Ketua Harian Persatuan Insan Kolintang Nasional (Pinkan) Indonesia Jopie Rory, serta belasan wanita pengurus sanggar. Hanya sekitar 30-50 warga yang turut menonton.
Kendati di luar ekspektasi, saya tetap melihat nilai berita di pentas D’Maestro. Bapak-bapak itu tiga jam bertahan di atas guncangan ombak Danau Tondano tanpa pengaman di sekitar panggung. Nyali dan semangat para pemain kolintang senior ini patut diapresiasi juga, pikir saya.
Dalam wawancara setelah tampil, Pak Fery dan para personel D’Maestro lainnya mengatakan, mereka terpacu setelah mengetahui kelompok kolintang asal Minahasa Utara, Fantastic Prima Vista, mengadakan pentas kolintang di puncak Gunung Klabat, 1.995 meter di atas permukaan laut. ”Orang Tondano juga bisa. Makanya, kami cari ikon daerah kami, dan kami sepakat bikin penampilan di atas air,” kata Pak Fery.
Berita pun saya buat tanpa banyak ambil pusing. Dalam laporan liputan itu, saya tuliskan D’Maestro menyelenggarakan pentas ini sebagai upaya \'menandingi\' kelompok kolintang lain dari Minahasa Utara yang menggelar pentas kecil di puncak Gunung Klabat”. Berita itu diterbitkan editor di Kompas.id tanpa perubahan.
Keesokan harinya, Selasa (18/8/2020), saya mengambil libur karena sudah bekerja pada Minggu dan Senin yang adalah tanggal merah. Menjelang sore saat saya sedang kencan (ya, saya juga punya kehidupan di luar pekerjaan), telepon dari Pak Fery menggetarkan ponsel saya. Saya tidak menyangka apa yang akan dia katakan.
”Oka, saya minta tolong kata ’menandingi’ itu diganti. Saya ditegur oleh pengurus sanggar dari Minahasa Utara. Sudah makin banyak (pesan) Whatsapp masuk, tidak berhenti-berhenti. Mereka protes, apa maksud saya mau menandingi mereka,” kata Fery.
Perasaan saya yang semestinya senang dan tenang mendadak jadi tegang. Memang, para personel D’Maestro tidak menggunakan kata ’menandingi’ saat wawancara. Namun, konteks pembicaraan dan suasana hati mereka yang bangga setelah tampil di atas guncangan air menyiratkan demikian. Salah satu anggota bahkan menyimpulkan, main di atas air lebih susah ketimbang di darat, berapa pun tingginya daratan itu dari permukaan laut.
Ponsel saya berdering sekali lagi beberapa menit kemudian, lagi-lagi dari Pak Fery. Kencan pun bubar. Saya pulang untuk menghubungi Kepala Biro Kompas Sulawesi dan Indonesia Timur Mas M Final Daeng untuk menceritakan apa yang sedang terjadi. Ia pun mengganti kata ’menandingi’ menjadi ’terinspirasi’ untuk meredakan suasana.
Baca juga: Dari Danau Tondano, Melodi Kolintang Menggemakan Kemerdekaan
Demi kenyamanan Pak Fery, saya membolehkannya memberikan nomor ponsel saya kepada orang yang komplain soal berita saya. Benar saja, ketika saya rasa ketegangan sudah melandai, ponsel saya kembali berdering sekitar pukul 21.20 Wita. Kali ini lelaki muda bernama Aron Fedri Pualalo berada di ujung telepon. Ia adalah anggota Fantastic Prima Vista dari Minahasa Utara.
”Saya mau tanya maksud Pak Oka menggunakan kata ’menandingi’. Ini menurut kami sangat tidak menghargai. Masalah kolintang sekarang ini sangat sensitif, bisa berujung pada baku pukul,” kata Aron.
Saya jelaskan kepadanya bahwa tak ada maksud buruk dari penggunaan kata itu. Namun, saya tidak bisa juga mengatakan hal-hal yang dikatakan oleh personel D’Maestro yang membuat saya memilih kata ’menandingi’.
Akhirnya, saya menyatakan bahwa sudah wajar jika dalam seni, para seniman saling menandingi kreativitas satu sama lain. Lagi pula, kata itu sudah direvisi oleh editor.
Belakangan saya baru tahu kelompok Fantastic Prima Vista berusaha mendapatkan rekor Muri sebagai pemain kolintang di dataran tertinggi di Indonesia. Pentas mereka di puncak Gunung Klabat didukung oleh salah satu calon bupati Minahasa Utara.
Namun, Aron melayangkan protes lain. ’Mengapa menyebut penampilan kami sebagai ’pentas kecil’? Seakan-akan apa yang kelompok kami lakukan (naik ke puncak Gunung Klabat) tidak ada artinya. Teman-teman di grup Whatsapp sudah protes dan marah-marah,” katanya.
Lagi-lagi saya membela diri. Pertama, saya katakan kepadanya, saya tidak menyebut nama kelompok mereka di berita. Kedua, saya menggunakan frase ’pentas kecil’, bukan semata mengacu pada pentas kelompoknya, melainkan juga pentas D’Maestro. Lagi pula, dari gambar yang saya lihat di berita-berita daring, penampilan kelompok Aron juga nyaris tak dihadiri satu penonton pun.
”Frase itu (’pentas kecil’) saya gunakan bukan untuk merendahkan usaha kelompok mana pun, melainkan untuk menggambarkan bahwa pentas D’Maestro maupun Fantastic Prima Vista memang dihadiri tidak sampai 100 orang. Saya bekerja secara independen dan tidak ada tendensi untuk mendukung atau menjelekkan kelompok mana pun,” kata saya kepada Aron.
Masalah pun selesai karena Aron menerima penjelasan saya. Namun, dalam refleksi saya secara pribadi, saya boleh jadi sudah melanggar kedisiplinan sebagai pewarta fakta.
Salah satu prinsip yang selalu ditekankan dalam kerja wartawan adalah show, don’t tell (tunjukkan, jangan cuma bicara). Alih-alih menjelaskan ukuran pentas secara obyektif dengan cara mendeskripsikan, saya memilih jalan pintas dengan memilih kata sifat (’kecil’) yang tak bisa diukur dengan jelas, relatif tergantung dari persepsi pembaca.
Ini adalah kali kedua saya ’kena masalah” karena tulisan saya. Yang pertama terjadi pada 2019 ketika saya mengkritisi penggunaan dana ratusan juta rupiah oleh Pemkot Manado. Dana itu digunakan untuk mengadakan gabus-gabus bahan kendaraan hias untuk membuka gelaran Manado Fiesta. Kedua, masalah kolintang yang hampir berujung pada pertikaian antarkelompok.
Baca juga : Gabus-Gabus Puluhan Juta Pembuka Pesta
Saya sempat berpikir, mengapa malah tulisan-tulisan yang bagi saya sepele yang malah membuat saya jadi ”buron”. Sebaliknya, liputan yang saya garap sepenuh hati, seperti soal prostitusi daring di Manado, tidak menjadi buah bibir di kota tempat saya bekerja. Jangankan membawa perubahan kebijakan, dibicarakan saja tidak.
Jujur, saya sempat berpikir, ”Yaelah, gara-gara kolintang saja sampai seperti itu.” Namun, hal-hal sepele bagi saya bisa jadi sangat berarti bagi orang-orang yang saya liput. Sekali lagi, saya diingatkan untuk bekerja dengan penuh kerendahan hati dan empati. Kalau ternyata kolintang adalah seni sarat gengsi bagi para pegiatnya, bukan hak saya untuk menganggapnya enteng.