Menanti Ujung Jalan Panjang Jawa Barat Redam Penularan Covid-19
Jawa Barat diklaim sebagai salah satu provinsi dengan penanganan Covid-19 lebih baik ketimbang daerah lain. Namun, jalan meredam penularan masih panjang. Berpuas diri jelas adalah hal yang keliru.
Oleh
abdullah fikri ashri
·6 menit baca
Hari yang mungkin dinantikan banyak manusia di dunia ini akhirnya datang juga. Selasa (11/8/2020), uji klinis calon vaksin Covid-19 produksi Sinovac, perusahaan farmasi asal China, dimulai di Bandung, Jawa Barat. Meski jadi proyek nasional, Jabar mengklaim turut serta dalam kolaborasi ini.
Uji klinis fase pertama dan kedua sudah dilaksanakan di negara asal calon vaksin, China. Pada fase ketiga ini, calon vaksin diuji di Indonesia dan membutuhkan 1.650 sukarelawan. Mereka harus berasal dari Bandung dan sekitarnya sesuai lokasi PT Biofarma dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang turut terlibat dalam fase ini.
Jika berhasil, kata Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Januari atau Februari 2021, vaksin sudah bisa digunakan. ”Perang melawan Covid-19 masih panjang. Jadi, forum komunikasi pimpinan daerah harus kompak,” kata Kamil, sapaan Ridwan, yang turut mendaftar sebagai sukarelawan uji klinis vaksin dan masih menunggu pengesahan lolos atau tidaknya.
Menurut Kamil, vaksin merupakan bentuk kolaborasi Pemerintah Provinsi Jabar dengan pihak lain untuk menangani Covid-19. Selain berkolaborasi, empat strategi lainnya adalah inovatif, proaktif, transparan, dan ilmiah.
”Kami berkomitmen mengandalikan Covid-19. Kalau kasih nol (kasus), enggak bisa,” ucapnya di hadapan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam rapat penanganan Covid-19, Rabu (5/8/2020), di Indramayu, Jabar.
Pihaknya, misalnya, mengklaim bisa memproduksi ”alat perang” melawan Covid-19. Pemprov Jabar turut mendukung ventilator karya anak bangsa. Ventilator portabel bernama Vent-I (Ventilator Indonesia) itu merupakan produksi PT Dirgantara Indonesia bersama Institut Teknologi Bandung.
Pemprov Jabar juga membagikan laboratorium bergerak untuk memeriksa sampel reaksi rantai polimerase (PCR) ke sejumlah daerah di Jabar. Dengan begitu, cakupan tes usap tenggorokan dapat diperluas.
Hingga Rabu (12/8/2020), tes usap di Jabar tercatat 183.542. Dari jumlah itu, 10.801 orang atau 5,88 persen terkonfirmasi positif Covid-19. Dalam sepekan, orang yang menjalani tes usap di Jabar berkisar 30.000 orang. Ini masih di bawah target tes 50.000 orang per minggu sesuai panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Di Indonesia, hanya DKI Jakarta yang memenuhi target itu. Dalam sepekan, Jakarta bisa mengetes 46.360 orang. Ini melebihi target WHO, yakni 10.645 orang per minggu. Soal jumlah orang yang dites, Jabar urutan kedua terbanyak setelah Jakarta.
Kamil mengakui kekurangan Jabar terkait tes PCR. Selain dekat dengan pemerintah pusat, kesuksesan Jakarta dalam tes, menurut dia, karena jumlah penduduk Ibu Kota berkisar 10 juta orang. Sementara penduduk Jabar bisa lima kali lipat lebih banyak.
”Kami mengurus penduduk sebanyak Korea Selatan, tetapi duitnya sekitar 1 persen dari anggaran Korea Selatan. Ini tantangan kami,” kata Kamil diiringi senyum. Pihaknya pun mencanangkan kerja sama dengan pihak swasta untuk memperluas cakupan tes usap agar mencapai target 50.000 orang per pekan.
Kami mengurus penduduk sebanyak Korea Selatan, tetapi duitnya sekitar 1 persen dari anggaran Korea Selatan. Ini tantangan kami.
Mendahului pusat
Soal inisiatif penanganan Covid-19, Jabar boleh jadi lebih aktif dibandingkan dengan daerah lain. Ketika pemerintah pusat belum membuat peringkat kewaspadaan Covid-19, Jabar sudah lebih dulu. Jabar juga yang mengusulkan penggunaan istilah adaptasi kebiasaan baru (AKB) daripada normal baru.
”Suatu malam, beliau (Presiden Joko Widodo) telepon. Saya bilang, Pak, kalau pakai kata normal, persepsi (masyarakat) balik kanan (ke situasi sebelum pandemi). Makanya, kami pakai AKB dan disetujui. Inilah konsep proaktif,” ungkap Kamil yang mengaku sempat bermimpi bertemu Presiden untuk membicarakan perkembangan Covid-19.
Strategi lainnya, lanjut Kamil, adalah transparansi. Katanya, informasi baik dibilang baik, buruk dibilang buruk. Tidak ada yang ditutupi.
Berdasarkan catatan Kompas, awal Juli lalu, Pemprov Jabar belum menyajikan data kematian pasien dalam pengawasan. Kini, data itu sudah bisa diakses. Jabar juga belum menampilkan laporan data orang yang dites secara harian, seperti data Jakarta.
Kamil memastikan, seluruh kebijakan penanganan Covid-19 berbasis ilmiah, bukan politik, apalagi emosi. ”Lawannya, bukan manusia, tetapi virus. Makanya, di belakang kami, ada epidemiolog, ahli ekonomi. Mereka bertengkar dulu lalu memberikan rekomendasi ke saya,” ungkap mantan Wali Kota Bandung ini.
Menurut dia, hasil penanganan Covid-19 yang berbasis ilmiah, inovatif, kolaboratif, proaktif, dan transparan tersebut adalah penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) se-Jabar. Selama tiga pekan, hampir 50 juta orang yang tersebar di 27 kabupaten/kota dibatasi pergerakannya.
Dari 40 kasus per hari pada akhir April 2020, misalnya, turun menjadi 21-24 kasus pada akhir Mei setelah PSBB. Tingkat rata-rata kematian Jabar menurun dari 7 jiwa menjadi 3 jiwa per hari. Tingkat kesembuhan dua kali lipat dan pasien dirawat di rumah sakit turun (Kompas, 31/5/2020).
”Evaluasi kami, perputaran virus di Jabar itu ada di Bodebek (Bogor, Depok, Bekasi) dan Bandung Raya sekali-kali. Lainnya, aman,” katanya. Pihaknya pun sempat menjalankan pembatasan sosial berskala mikro, tingkat kabupaten/kota, bahkan kecamatan. Itu sebabnya, lanjutnya, keputusan membuka pembelajaran tatap muka sekolah berbasis kecamatan.
Akan tetapi, seperti kata Kamil, jalan perjuangan masih panjang. Hingga kini, masih ada saja masyarakat Jabar yang tidak taat protokol kesehatan. Banyak orang, terutama anak muda, bergerombol di jalan, kafe, hingga keramaian lainnya.
Wacana penerapan sanksi juga masih ditunggu diterapkan. Bentuk sanksi bervariasi, di antaranya teguran, kerja sosial, penghentian kegiatan, pencabutan izin usaha, dan denda Rp 100.000-Rp 500.000.
Sanksi diatur dalam Peraturan Gubernur Jabar Nomor 60 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi Administratif terhadap Pelanggaran Tertib Kesehatan dalam Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Penanggulangan Covid-19 yang ditetapkan Senin lalu.
Sanksi berlaku bagi perseorangan serta pemilik, pengelola, dan penanggung jawab kegiatan atau usaha yang melanggar protokol kesehatan. Sejumlah daerah mulai merespons hal ini. Tercatat, Kota Tasikmalaya, Kota Bogor, hingga Kota Cimahi secara perlahan menerapkannya.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengapresiasi langkah Pemprov Jabar mengendalikan Covid-19. ”Kang Emil (sapaan akrab Ridwan Kamil) termasuk kepala daerah yang mau dan mampu menangani Covid-19. Mampu dalam arti punya konsep, pengetahuan, dan fiskal,” katanya.
Tito menggolongkan kepala daerah dalam empat tipe penanganan Covid-19. Pertama, kepala daerah yang mau dan mampu. Kedua, mau tetapi tidak mampu. Ketiga, mampu tetapi tidak mau. Terakhir, mereka yang tidak mau dan tidak mampu. Sayangnya, ia tidak menyebutkan daerah mana saja yang termasuk keempat golongan itu.
”Pemerintah pusat sudah all out menangani Covid-19. Tetapi, kalau mesin di (pemerintah) daerah tidak bergerak, kekuatan penanganan Covid-19 baru 50 persen,” ungkapnya. Itu sebabnya, kata Tito, pandemi kali ini menjadi ujian bagi demokrasi, termasuk calon pemimpin di 270 daerah.
Menurut dia, cara kepala daerah mengendalikan Covid-19 menjadi bekal bagi masyarakat untuk memilih dan memercayainya sebagai pemimpin. Apakah berbagai strategi Pemprov Jabar juga merupakan langkah Kamil mempertahankan kursinya sebagai gubernur untuk periode kedua atau malah ancang-ancang menjadi pemimpin negara ini di tahun 2024?
Kata Kamil, ada tiga pandangan dalam penanganan Covid-19. ”Pertama, pandangan politik yang selalu mencari kekurangan. Kedua, ilmiah untuk cari solusi. Ketiga, pandangan kemanusiaan. Silakan mau melihat dari sisi mana,” ungkapnya.