Dari Cirebon, Saksi Hidup Perjuangan Bangsa Ini Tak Ingin Selamanya Bisu
Kota Cirebon, Jawa Barat, menjadi salah satu basis perjuangan bangsa ini meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Para saksi hidup dan bisu perjuangan itu masih ada meski kisahnya terancam dilupakan.
Oleh
abdullah fikri ashri
·5 menit baca
Kota Cirebon, Jawa Barat, menjadi salah satu basis perjuangan bangsa ini meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, proklamasi lebih dulu disuarakan di Cirebon. Para saksi hidup dan bisu perjuangan itu masih ada meski kisahnya terancam dilupakan.
Pagi itu, Senin (17/8/2020), lebih dari 20 veteran berkumpul di Gedung Juang, Jalan Cipto Mangunkusumo, Kota Cirebon, Jawa Barat. Mengenakan pakaian serba coklat yang identik dengan pejuang, mereka berkumpul memperingati Hari Kemerdekaan Ke-75 RI. Terlihat gagah meski kini harus mengenakan masker.
Selain menerima bantuan sembako dari Grage Group, mereka juga membagi kisah perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Ada yang masih mengingat utuh, samar-samar, bahkan lupa. Namun, yang pasti, setiap tahun tidak semua anggota veteran bisa melewati 17 Agustus bersama-sama.
”Mungkin hanya organisasi veteran yang anggota tidak bertambah. Malah, berkurang terus. Faktornya manusiawi, pada meninggal,” kata Didi Supardi (77), Ketua Dewan Pimpinan Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia Kota Cirebon.
Pada 1965-an, misalnya, jumlah veteran di Cirebon mencapai 700-an orang. Kini tersisa 75 veteran. Usia termuda 65 tahun dan tertua 95 tahun. ”Jumlahnya tidak akan bertambah lagi selama tidak ada perang dengan negara lain. Karena definisi veteran itu, mereka yang berjuang melawan bangsa asing,” ujarnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012, veteran RI dikategorikan menjadi empat, antara lain veteran pejuang kemerdekaan yang berjuang pada tahun 1945 hingga 1949 serta veteran pembela kemerdekaan (pejuang dalam operasi Trikora, Dwikora, Seroja, dan lainnya yang ditetapkan dalam keputusan presiden). Kategori lainnya adalah veteran perdamaian dan veteran anumerta atau pejuang yang gugur dalam pertempuran.
Didi merupakan veteran pembela yang turut berkontribusi saat operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) di Irian Barat tahun 1961. Saat itu, ia baru lulus sekolah pelayaran setingkat sekolah menengah atas di Cirebon. Ia bertugas di Jakarta untuk mengisi logistik kapal perang selama enam bulan.
”Saya seharusnya berangkat di kapal terakhir, tetapi batal karena ada perundingan dengan Belanda. Padahal, saya sudah siap perang,” kata anak petani asal Beber, Cirebon, ini.
Pada 1964, ia terjun langsung dalam operasi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) di perbatasan Malaysia. Ia sempat berlabuh di Natuna, yang kini masih menjadi daerah sengketa.
Soehodo (89), veteran lain, juga masih ingat ketika harus menghadang pasukan kolonial di Tegal dan Purwokerto sekitar 1940-an. Waktu itu, usianya belum genap 16 tahun. Namun, ia sudah mahir menggunakan senjata. ”Saya tentara pelajar, bergabung bukan atas ajakan orang lain, tetapi keinginan sendiri,” katanya.
Di Hari Kemerdekaan Ke-75 RI, Didi, Soehodo, dan veteran lain berharap kisah perjuangan rakyat di Cirebon diabadikan dalam sebuah monumen. Monumen Perjuangan di Jalan Monumen, tepat di depan Kantor Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (BP4D) Kota Cirebon dinilai belum representatif.
Monumen dengan sejumlah patung pahlawan yang diresmikan 10 November 2014 itu tidak bisa berbicara banyak, sama halnya dengan taman makam pahlawan. ”Kami berharap monumen itu ada diorama dan museum sehingga menjadi sarana edukasi,” kata Didi yang mengelola Yayasan Pendidikan Veteran Kota Cirebon.
Ia menuturkan, proposal pembangunan monumen itu sudah diutarakan kepada Pemerintah Kota Cirebon sejak 1980-an. Harapannya, monumen bisa dibangun di tanah sekitar Kantor BP4D Kota Cirebon. Namun, yang hadir Monumen Perjuangan dan pusat perbelanjaan. Padahal, katanya, monumen dapat menjadi pengingat bagi generasi muda terhadap perjuangan rakyat Cirebon.
Lagi pula, belum semua orang paham akan makna Monumen Perjuangan yang ada saat ini. Siang itu, misalnya, tak tampak bendera Merah Putih di Monumen Perjuangan. Sejumlah pengendara sempat berhenti di sekitar monumen, tetapi hanya masuk ke warung setempat.
Kami berharap monumen itu ada diorama dan museum sehingga menjadi sarana edukasi.
Sekitar 4 kilometer dari sana, nasib Tugu Kejaksan atau Tugu Proklamasi di depan Alun-alun Kejaksan tidak jauh beda. Dua bendera Merah Putih berkibar di dekat tugu. ”Kemarin (Minggu 16/8/2020) sore saya lewat belum ada bendera. Kabarnya, sebuah organisasi masyarakat yang pasang benderanya malam hari,” kata pemerhati sejarah Cirebon, Mustaqim Asteja.
Tugu tersebut merupakan saksi bisu kemerdekaan RI. Menurut Mustaqim, pada sore hari tanggal 15 Agustus 1945, sekurangnya 50 warga Cirebon yang didominasi pemuda berkumpul di lokasi tugu itu. Mereka menunggu pengumuman terkait kemerdekaan RI setelah radio luar negeri menyiarkan kekalahan Jepang sehari sebelumnya, yang saat itu bercokol di Indonesia.
Dr Soedarsono, dari kelompok Sutan Sjahrir yang mendesak proklamasi dipercepat, pun membacakan naskah proklamasi di Cirebon. ”Mengapa Soedarsono? Karena dia orang besar di Jawa dan dokter di Rumah Sakit Oranye (kini RSD Gunung Jati). Namun, apa isi naskahnya belum ada data pasti,” kata Mustaqim.
Ia meyakini, naskah tersebut berbeda dengan naskah yang dibacakan Presiden Soekarno di Jakarta dua hari kemudian, 17 Agustus. ”Pembacaan proklamasi di Cirebon saya kira karena spontanitas pemuda. Apalagi, Belanda dan Sekutu akan masuk lagi ke Indonesia,” ungkapnya.
Pembacaan proklamasi di Cirebon saya kira karena spontanitas pemuda. Apalagi, Belanda dan Sekutu akan masuk lagi ke Indonesia.
Kehadiran tugu tersebut, katanya, mengonfirmasi peristiwa proklamasi di Cirebon. Di bagian tugu terdapat prasasti bertuliskan ”Batoe Pertama Diletakkan Tanggal 17-VIII-1945 Djam 10.30 oleh P. Toean Residen Bersama Ketoea Dewan Perdjoeangan Daerah Tjirebon sebagai Lambang Persatoean Antara Pemerintah dan Ra’jat dalam Perjoeangan Menegakkan Republik Indonesia jang 100% Merdeka”.
Adapun lokasi tugu yang berada di perempatan Jalan Siliwangi merupakan tempat strategis bagi bertemunya banyak orang dari sejumlah tempat. Selain Alun-alun Kejaksan dan Masjid At-Taqwa, tugu itu juga tepat berada di depan Pendopo Bupati Cirebon.
Dhanang Respati Puguh dalam artikelnya, ”Perubahan Citra Kota Cirebon 1930-1950-an”, menuliskan, keberadaan Tugu Proklamasi di perempatan itu menunjukkan, siapa pun bisa datang ke sana. Namun, pada saat bersamaan, tugu itu mengikat mereka dalam satu ingatan kolektif bahwa Indonesia sudah merdeka. Inilah identitas baru Cirebon pascakolonial.
Mungkin alasan ingatan kolektif juga yang membuat Didi dan veteran lain menuntut adanya monumen perjuangan baru. Jangan sampai kisah perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan di Cirebon hilang seperti ketiadaan bendera Merah Putih di Monumen Perjuangan.