Mimi Tumus, Jari Setia Maestro Kreyo Cirebon
Mimi Tumus, maestro tari topeng kreyo Cirebon yang terpaksa mencari nafkah sebagai tukang pijat.
Di usia senja, mimi Tumus tidak hanya dikenal sebagai salah satu pewaris maestro tari topeng kreyo Cirebon, tetapi juga tukang pijat andal. Lewat tangan keriputnya, ia berupaya menyambung hidup sekaligus melestarikan topeng kreyo yang nyaris punah.
Ruang tamu di rumah Tumus di RT 002 RW 001 Blok 01 Desa Kreyo, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (9/3/2020), disesaki kisah masa lalu. Deretan piagam dalam bingkai terpajang di ruang tamu tanpa kursi menjadi artefak yang menjelaskan perjalanan Tumus sebagai seniman. Piagam itu antar lain dari Gubernur Jabar H R Moh Yogie pada 1989 atas jasanya dalam pembangunan bidang seni budaya.
Ada pula piagam juara II tari topeng kelana wanita gaya Cirebonan dari Pemprov Jabar pada 1974 serta piagam dari Taman Ismail Marzuki pada 1993. Piagam penghargaan dari Universitas 17 Agustus Cirebon terpaksa ditimpali foto keluarganya. “Enggak punya bingkai foto lagi,” ucapnya.
Berbagai piala lainnya sudah dijual ke tukang barang rongsokan, begitu pula kostum dan topeng lama miliknya. Maklum, panggung tari topeng sudah mulai menjauh darinya sejak awal 2000. Itu berarti rezeki dari sana pun ikut menjauh. Sumber rezekinya kini datang dari keahliannya memijat.
Tujuh tahun terakhir, warga setempat malah lebih mengenal Tumus sebagai tukang pijat ketimbang maestro tari topeng kreyo. Topeng kreyo adalah salah satu jenis tari topeng yang hidup di jagat Cirebon.
Topeng kreyo berbeda dengan tari topeng lainnya, seperti varian Slangit, Palimanan, atau Losari di Cirebon. Untuk musik pengiring, tariannya dimulai dari irama lambat menggunakan tabuhan gamelan. Selanjutnya, iringannya semakin cepat keluar dari instrumen khas gitar diiringi suling atau tarling yang cepat. Gerakan kreyo pun lebih lincah.
Sehari, Tumus bisa memijat dua sampai tiga kali. Kadang tidak ada pasien sama sekali. “Kula dudu wong dagang, sing penting waras. Kula sih nolong (saya bukan berdagang,yang penting sehat. Saya cuma menolong),” ucap Tumus yang tidak menetapkan tarif dari jasa pijat.
Kartu tanda penduduknya menunjukkan usianya 69 tahun. Namun, seingatnya, umurnya lebih dari 80 tahun. Meski giginya mulai tanggal, suaranya masih lebih keras dibandingkan bunyi token listrik rumahnya yang nyaris habis.
Kupingnya mampu menangkap suara cukup baik. Bercak putih di matanya tidak menghalangi pandangannya. Rambut keritingnya kebanyakan masih hitam. Keriput di wajah dan tangannya seakan menandai kerasnya perjalanan hidupnya. “Tangan ini masih boleh (menari),” ucap perempuan yang punya dua anak angkat dan dua cucu.
Darah seniman
Tumus lahir dan besar dalam lingkungan seniman. Mendiang orangtuanya, Duratman dan Jarsemi merupakan pemain gamelan dan bisa menari topeng. Tidak heran, sejak kecil ia telah belajar menabuh gamelan. Saron, gendang, hingga bonang bisa ia mainkan.
Seingatnya, ketika umurnya di atas 20 tahun dan masih lajang, ibu dan bibinya memintanya belajar menari. Awalnya, ia malu karena bertahun-tahun berada di belakang panggung utama. Lagi pula, katanya, wajahnya tak ayu. Namun, akhirnya ia mengiyakan karena ia satu-satunya harapan keluarga untuk meneruskan jalan hidup sebagai seniman.
Bekal menabuh gamelan membuatnya lebih mudah menyibakkan selendang dan gerakan lainnya dalam tari topeng kreyo. Ia tidak ingat, apakah perlu puasa saat belajar topeng seperti penari pada umumnya saat itu. Pastinya, tutur katanya santun dan lebih banyak senyum. Kata kula (bahasa halus) misalnya, lebih sering diucapkan ketimbang isun.
Orang kalau nonton kita (saya) enggak bosan. Tahun 1970an, saya bisa menari sampai 20 panggungan sebulan
Tumus mengaku kuat menari lima babak topeng, yakni panji, samba, tumenggung, rumyang, dan kelana selama dua jam. “Orang kalau nonton kita (saya) enggak bosan. Tahun 1970an, saya bisa menari sampai 20 panggungan sebulan,” ucapnya.
Tidak heran, istri mendiang Buang, dalang seni pertunjukan sandiwara, ini dipanggil menari ke Majalengka, Bandung, hingga Jakarta. Bahkan, menurut cerita warga, pernah ia tampil di hadapan Presiden Soeharto di Istana Bogor pada 1970an.
Malu meminta
Akan tetapi, menjelang tahun 2000, panggilan panggung baik itu hajatan, acara desa, maupun festival tak lagi terdengar. Tumus pasrah.
Dia kembali ke Jakarta, namun, bukan untuk menari di panggung melainkan jadi pedagang kaki lima yang jualan kacang dan jagung. Setelah itu, ia jadi tukang pijat di kampung hingga kini.
Sebenarnya, Tumus dengan segudang prestasinya bisa saja membuat proposal ke pemerintah untuk meminta bantuan. Apalgi dia adalah pewaris terakhir tari topeng kreyo yang hampir mati. Tetapi, Tumus tidak mau. “Isin jaluk (saya malu meminta). Kerja sesuai tenaga bae (saja). Kita bli isin (saya enggak malu) mijat, (yang penting) halal,” ucapnya tersenyum.
Warga bilang, yang pijat saya itu maestro tari topeng kreyo
Hingga satu hari, Tumus memijat Cecep Supriyatna, Ketua Sanggar Lingkungan Hidup (SLH) Cirebon yang kantornya sekitar 50 meter dari rumahnya. “Warga bilang, yang pijat saya itu maestro tari topeng kreyo,” kata Cecep yang mengaku kaget saat itu.
Setelah mencari tahu sosok Tumus dari sejumlah seniman, Cecep tahu cerita warga itu benar. Tumus satu-satunya pewaris topeng kreyo. Lainnya, sudah renta dimakan usia, bahkan meninggal dunia. “Kalau enggak ada yang meneruskan, topeng kreyo punah,” katanya.
Cecep lalu memohon Tumus tampil dalam acara sanggarnya, Youth Environtmental Award 2016. Awalnya, sang maestro menolak. Setelah dibujuk beberapa kali, ia bersedia. Syaratnya tidak memakai musik rekaman dan tanpa kedok topeng. Tanpa gigi, Tumus kesulitan menopang topeng di mulutnya. Cecep dan teman-temannya mengalah. Mereka pun mengubah desain topeng agar tetap kuat di mulut Tumus.
Tak dinyana, penampilan Tumus seperti menghipnotis penonton. Mereka terdiam menyaksikan gerakan kaki, tangan, kepala, bahkan mata Tumus. Penampilannya diakhiri tepuk tangan meriah. Mimi Tumus telah kembali.
Permintaan pentas pun bermunculan, termasuk dari sejumlah keraton di Cirebon. Bahkan, Wakil Gubernur Jabar saat itu, Deddy Mizwar, mengundangnya dan menjanjikan satu set gamelan. Kata Cecep, nyaris saja gamelan tak sampai ke Tumus. Alasannya miris. Seniman sepuh ini tak punya sanggar.
Di tengah keterbatasan, Tumus tetap menari. Tahun lalu, ia pentas tiga kali di desa. Kini, Tumus masih aktif melatih lima anak, termasuk cucu angkatnya, Ayu Soraya (10). Sepekan sekali, ia mengajarkan tari kreyo di bilik bambu milik SLH tanpa bayaran.
Selama saya masih hidup, di mana saja, ayuk saya ajari menari. Yang penting mau dan saya diantar pulang
“Selama saya masih hidup, di mana saja, ayuk saya ajari menari. Yang penting mau dan saya diantar pulang,” katanya sembari tersenyum.
Senyuman Tumus kembali hadir saat melihat Ayu pulang dari sekolah. Cucunya disebut mulai pandai menari topeng kreyo babak samba dan kelana meski belum punya kedok dan kostum. “Saya mau meneruskan tari mimi (Tumus),” ucap Ayu.
Saat mendengar itu, dengan segala keterbatasannya, senyuman itu kembali hadir di bibir sang maestro. Senyum penuh keyakinan bahwa bakatnya bakal terus hidup melintasi zaman yang kerap lupa pada sejarah benderang dulu.
Mimi Tumus
Lahir: Cirebon, 13 Mei 1950
Profesi: penari topeng kreyo dan tukang pijat
Suami: Buang (almarhum)