Polisi Menetapkan Dua Tersangka Penyelundupan Jenazah dari Kapal Ikan Berbendera China
Polda Kepulauan Riau menetapkan dua orang sebagai tersangka penyelundupan tiga jenazah pekerja migran Indonesia dari kapal Fu Yuan Yu 829. Diketahui, masih ada 20 pelaut Indonesia di kapal ikan berbendera China tersebut.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
BATAM, KOMPAS — Kepolisian Daerah Kepulauan Riau menetapkan dua orang sebagai tersangka penyelundupan tiga jenazah pekerja migran Indonesia dari kapal Fu Yuan Yu 829. Diketahui, masih ada 20 pelaut perikanan Indonesia di kapal ikan berbendera China tersebut.
Pada 12 Agustus, polisi menangkap tiga orang karena melakukan transfer tiga jenazah dari Fu Yuan Yu 829 di Selat Singapura. Namun, satu orang yang merupakan pengemudi kapal kayu kecil bermesin tunggal (pancung) akhirnya dibebaskan karena hanya mengikuti perintah dua orang asal Jakarta yang menyewa pancungnya.
Jenazah yang diturunkan dari kapal ikan berbendera China itu diidentifikasi sebagai Syaban (22) dan Musnan (26) yang berasal dari Bireuen, Aceh. Seorang lagi diidentifikasi sebagai Dicky Arya Nugraha (23) asal Donggala, Sulawesi Tengah. Mereka adalah pelaut Indonesia yang diberangkatkan PT SMB ke Taiwan melalui Singapura pada Oktober 2019.
Direktur Reserse dan Kriminal Umum Polda Kepri Komisaris Besar Arie Dharmanto, Jumat (14/8/2020), mengatakan, dua orang yang ditetapkan menjadi tersangka adalah Direktur PT SMB Joni (39) serta Manajer Keselamatan dan Kesehatan Kerja PT SMB Erlangga (24). Perusahaan yang berkantor di Cengkareng, Jakarta Barat, itu tidak memiliki izin untuk menyalurkan pelaut perikanan dari Indonesia.
”Sebenarnya perusahaan penyalur itu memang pernah bekerja sama dengan perusahaan di Taiwan untuk menyalurkan pelaut perikanan pada 2005. Namun, izin itu sudah habis pada 2010,” kata Arie.
Dua tersangka menerima bayaran ratusan juta dari perusahaan pemilik kapal untuk memulangkan tiga jenazah pelaut Indonesia dari Fu Yuan Yu 829 secara diam-diam melalui Batam. Barang bukti yang ditemukan saat penangkapan adalah uang tunai Rp 38,5 juta, sebuah ponsel pintar, 3 buku pelaut, dan 3 paspor milik para korban.
Sebenarnya perusahaan penyalur itu memang pernah bekerja sama dengan perusahaan di Taiwan untuk menyalurkan pelaut perikanan pada 2005. Namun, izin itu sudah habis pada 2010.
Dari data yang dihimpun Kompas, PT SMB sudah beberapa kali terbelit kasus terkait ABK yang mereka berangkatkan. Pada 2007, Khaerullisan (24), warga asal Brebes, Jawa Tengah, yang mereka salurkan untuk bekerja di Taiwan menghilang. Lalu, pada 2011, sembilan ABK yang berhasil diselamatkan dari bajak laut Somalia menyatakan tidak menerima upah selama setahun bekerja setelah disalurkan oleh PT SMB.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim mengatakan, seharusnya pemulangan ABK yang meninggal dilakukan dengan mengacu pada regulasi kerja pelaut (seafarer’s service regulations) yang dikeluarkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Kapal yang bersangkutan harus merapat di pelabuhan terdekat agar kematian ABK bisa ditelusuri penyebabnya.
”Idealnya, petugas pelabuhan akan melaporkan kejadian itu kepada kedutaan atau konsulat negara asal ABK. Perwakilan negara asal ABK kemudian berkoordinasi dengan aparat setempat untuk mengurus pemulangan jenazah. Jika ditemukan pelanggaran, harus dilakukan penindakan,” kata Abdul.
Arie belum dapat memastikan penyebab kematian tiga anak buah kapal (ABK) FU Yuan Yu 829 karena proses otopsi masih berlangsung. Namun, melihat pemulangan jenazah yang dilakukan secara diam-diam, ia menduga tiga korban itu mengalami kekerasan seperti kasus-kasus sebelumnya.
Pada 8 Juli lalu, aparat gabungan menangkap dua kapal ikan berbendera China, Lu Huang Yuan Yu 117 dan 118, di perairan Pulau Nipah, Batam. Aparat menemukan satu jenazah WNI, yang diidentifikasi sebagai Hasan Afriadi, di lemari pendingin kapal 118. Polisi menetapkan warga negara China, mandor kapal Song Chuanyun (50), sebagai pelaku penganiayaan yang menyebabkan Hasan meninggal.
Kasus-kasus kekerasan terhadap pelaut perikanan Indonesia yang ditangani Polda Kepri hanyalah segelintir dari sekian banyak kisah sengsara pelaut Indonesia di kapal ikan asing. Pada 23 November 2019, Taufik Ubaidilah, anak buah kapal Fu Yuan Yu 1218, meninggal karena kecelakaan kerja dan jenazahnya dilarung ke laut. Sementara enam WNI yang lain melompat dari kapal. Empat orang diselamatkan kapal Filipina, sedangkan dua orang yang lain tidak ditemukan.
Selanjutnya, 16 Januari 2020, publik dihebohkan sebuah video yang memperlihatkan jenazah Herdianto, anak buah kapal Lu Qing Yuan Yu 623, dilarung ke Laut Somalia. Lalu, pada 26 April lalu, Efendi Pasaribu, anak buah kapal Long Xin 629, meninggal tanpa sebab jelas di Korea Selatan.
Kemudian, pada 5 Juni, dua WNI melompat dari Lu Qing Yuan Yu 901 di perairan perbatasan Kabupaten Karimun, Kepri, dan Singapura. Belasan tersangka telah ditangkap dalam kasus yang sekarang ditangani oleh Polda Kepri, Polda Metro Jaya, dan Polda Jawa Tengah itu.
Yang terbaru, pekerja migran Indonesia dengan inisial SA dikabarkan meninggal di Long Xin 629 pada 10 Agustus. Awak kapal yang meninggal itu diketahui berasal dari Ambon, Maluku. Pihak kapal mengaku, SA meninggal karena kecelakaan kerja.
Saat ini, Polda Kepri telah menangkap belasan tersangka yang terkait dengan kasus di Lu Qing Yuan Yu 901 dan Lu Huang Yuan Yu 118. Sejumlah besar tersangka ditangkap di Tegal, Jawa Tengah. Jaringan itu diketahui telah memberangkatkan ratusan orang dari sejumlah daerah.
Biasanya, para tersangka mengimingi korban untuk kerja sebagai buruh pabrik di Korea Selatan dengan upah sekitar Rp 50 juta. Namun, setelah sampai di Singapura, mereka malah dipaksa bekerja di kapal ikan asing. Malangnya, kerap kali mereka disiksa oleh mandor karena memang tidak memiliki keterampilan sebagai pelaut perikanan.
Menurut Abdul, kasus kekerasan terhadap pelaut perikanan asal Indonesia terus berulang karena pemerintah tidak serius membasmi usaha perekrutan tenaga kerja ilegal. Perusahan bodong itu diketahui ada ratusan dan mayoritas tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Kepala Bidang Humas Polda Kepri Komisaris Besar Harry Goldenhardt mengatakan, dua tersangka yang menyelundupkan jenazah warga Indonesia dari Fu Yuan Yu 829 itu dijerat Pasal 4 juncto Pasal 10 UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang juncto Pasal 93 UU No 6/2018 tentang Karantina Kesehatan juncto Pasal 181 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Mereka terancam hukuman paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 15 miliar.
Sementara itu, Joni mengatakan, mereka hanya berniat memulangkan jenazah orang yang mereka salurkan supaya tidak dilarung di laut, seperti kasus lain yang terjadi di kapal ikan berbendera China. ”Yang penting tugas saya selesai menjemput jenazah ke Indonesia,” katanya kepada wartawan saat digiring keluar ruangan oleh polisi.