Sumbar Masukkan Sanksi Kurungan dalam Ranperda Normal Baru
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menginisiasi peraturan daerah terkait penerapan normal baru yang diantaranya memuat sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan Covid-19. Sanksi berupa denda hingga kurungan.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS -- Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menginisiasi rancangan peraturan daerah terkait penerapan normal baru yang diantaranya memuat sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan Covid-19. Sanksi berupa denda hingga kurungan. Perda ini dianggap urgen sehingga pembahasannya di DPRD Sumbar perlu menjadi prioritas.
Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit, Rabu (12/8/2020), mengatakan, naskah akademik perda itu sudah dikirimkan ke DPRD Sumbar pada Jumat (7/8) lalu. "Tapi belum diagendakan (pembahasannya), lagi dicari slot waktunya. Kami meminta dipercepat agar bisa segera dibahas," kata Nasrul.
Nasrul menjelaskan, perda terkait penerapan normal baru itu salah satunya memuat sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan Covid-19, seperti kewajiban menggunakan masker. Sanksinya ada yang berupa kurungan, ada pula yang berupa denda.
Menurut Nasrul, perda tersebut penting dalam pengendalian Covid-19 di Sumbar. Masih banyak anggota masyarakat tidak patuh atau tidak disiplin dalam menerapkannya. Dengan adanya sanksi, diharapkan masyarakat takut melanggar protokol kesehatan sehingga risiko penularan Covid-19 berkurang.
"Kalau ada sanksi, orang akan takut melanggar. Sebenarnya, kalau ada kesadaran dalam penerapan protokol kesehatan, tidak perlu ada perda ini. Namun, kan ini tidak sadar. Masih ada yang keras kepala. Padahal, Covid-19 ini tidak tahu kapan berakhirnya," ujar Nasrul.
Nasrul mengharapkan, DPRD Sumbar menjadikan perda ini prioritas untuk dibahas, kalau dapat dipercepat. Sebab, keberadaan perda ini terkait dengan kesehatan masyarakat. Sembari menunggu perda selesai, pemprov terus menyosialisasikan tentang pentingnya penerapan protokol kesehatan dalam pengendalian Covid-19.
Sejak momen Idul Adha pada 31 Juli 2020, kasus Covid-19 di Sumbar kembali melonjak. Selain faktor kasus impor akibat meningkatnya mobilitas masyarakat, kembali diabaikannya penerapan protokol kesehatan pada normal baru juga diduga sebagai pemicu.
Hingga Rabu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sumbar mencatat, jumlah kasus positif Covid-19 di Sumbar mencapai 1.215 orang sejak 26 Maret 2020. Dari total kasus, 834 orang sembuh, 36 orang meninggal, 133 orang dirawat di rumah sakit, 150 orang isolasi mandiri, dan 62 orang menjalani isolasi di tempat karantina yang disediakan pemprov dan pemkab/pemkot.
Adapun jumlah sampel atau spesimen yang telah diperiksa di Sumbar mencapai 83.510 spesimen dengan jumlah orang diperiksa 73.043 orang. Persentase kasus positif pada jumlah orang yang diperiksa sebesar 1,66 persen.
Ketua DPRD Sumbar Supardi mengatakan, dirinya belum tahu apakah naskah akademik itu sudah masuk atau belum. Sebab, Supardi belum mendapat informasi dari jajarannya terkait itu. Namun, jika sudah masuk, setidaknya butuh dua bulan untuk membahas perda itu hingga diterbitkan.
Setidaknya butuh dua bulan untuk membahas perda itu hingga diterbitkan.
"Ada beberapa tahapan yang perlu dilalui. Kami bakal mengkritisi juga isi naskah akademiknya seperti apa. Sebab, secara informal sudah ada orang yang menolak butir isi perda," kata Supardi.
Supardi menambahkan, perda memuat sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan ini sebenarnya sudah dijajaki sejak hampir dua bulan lalu tetapi baru dikirimkan pemprov. Ia khawatir jika pembahasannya terburu-buru hasilnya tidak baik.
Epidemiolog Universitas Andalas Defriman Djafri berpendapat, aturan yang dibuat melalui perda sebenarnya bentuk intervensi pemerintah dalam pengendalian terkait kedisiplinan masyarakat dalam protokol kesehatan Covid-19. Pemberlakuan sanksi ini merupakan alternatif terakhir apabila pendekatan secara humanis tidak efektif.
"Sah-sah saja, tidak ada masalah jika dibuat perda. Sanksi ini upaya terakhir sebetulnya. Mungkin sudah ada evaluasi bahwa masyarakat tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan makanya perlu ada payung hukum penerapan sanksi," kata Defriman.
Defriman mengingatkan, agar perda yang dibuat tidak menimbulkan masalah lain di kemudian hari, hasil evaluasi terhadap upaya-upaya humanis yang dilakukan sebelumnya sangat penting. Selain itu, dampak perda pada kedisiplinan masyarakat menerapkan protokol kesehatan di kemudian hari juga perlu dinilai.
"Jangan nanti perda sekadar ada, tetapi implementasi perda dan sanksinya tidak berjalan. Bisa juga nanti perdanya salah sasaran atau terlambat. Sosialisasi perda dan model sanksinya juga sangat diperlukan agar masyarakat tidak kaget ketika telah diterapkan. Hal-hal tersebut perlu diperhatikan," ujar Defriman.
Selagi menunggu perda selesai, kata Defriman, pemda tidak boleh putus asa dalam upaya pencegahan penularan Covid-19 dengan pendekatan humanis dalam edukasi dan promosi kesehatan. Upaya yang dilakukan jangan statis tetapi juga interaktif dengan memanfaatkan semua saluran dan media yang ada, seperti media cetak, televisi, radio, dan daring, serta interaksi langsung dengan masyarakat.
Secara terpisah, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Sumbar Pom Harry Satria berpendapat, pendekatan dengan regulasi sanksi merupakan salah satu langkah agar penerapan normal baru berjalan baik. Langkah ini merupakan langkah awal untuk perubahan perilaku dalam kesehatan karena akan berdampak kepatuhan.
Akan tetapi, kata Pom, perilaku masyarakat akan cepat kembali ke prilaku awal ketika pendekatan regulasi sanksi melemah. "Kondisi ini yang kita hadapi sekarang saat langkah PSBB diganti dengan langkah normal baru (masyarakat kembali abai)," kata Pom.
Menurut Pom, selain regulasi, partisipasi masyarkat sangat menentukan keberhasilan mengadopsi perilaku kesehatan saat normal baru. Langkah regulasi sanksi mesti dilakukan bersamaan dengan langkah mendorong partisapasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat, kata Pom, dapat didorong melalui keterlibatan lembaga agama, adat, organasasi kesehatan, lembaga kesehatan lainnya karena perubahan prilaku sangat dipengaruhi faktor agama, budaya lokal, dan tokoh panutan di masyarakat. "Forum bersama masyarakat yang diinisiasi pemda sebagai rujukan kebijakan, menurut saya, perlu dipertibangkan untuk segera dibentuk," ujar Pom.