Budidaya Kepiting demi Jaga Hutan Bakau di Kalteng
Demi menjaga hutan bakau, warga Desa Sei Bakau di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, membudidayakan kepiting. Hutan bakau yang menjadi pusat mata pencarian warga itu terancam alih fungsi lahan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Demi menjaga hutan bakau, warga Desa Sei Bakau di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, membudidayakan kepiting. Hutan bakau yang menjadi pusat mata pencarian warga itu sempat terancam alih fungsi lahan ke perkebunan sawit.
Sudah setahun belakangan warga di Desa Sei Bakau membudidayakan kepiting bakau. Mereka memanfaatkan hutan bakau di sekitar desa mereka yang luasnya mencapai 2.896 hektar itu untuk membuat tambak-tambak kecil khusus kepiting.
Desa tersebut merupakan satu dari 46 desa peduli gambut di Kalimantan Tengah yang mendapatkan program bantuan paket revitalisasi ekonomi dari Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Lembaga Kemitraan. Kepiting dipilih karena potensinya yang selama ini tidak pernah dikelola baik oleh masyarakat sekitar.
Ketua Kelompok Nelayan Maju Bersama Desa Sei Bakau Husaini menjelaskan, kepiting menjadi komoditas yang terlupakan lantaran 90 persen masyarakat masih fokus melaut. Namun, selama belasan tahun terakhir mereka selalu mengalami perubahan iklim, di mana ada tiga bulan mereka tidak bisa pergi melaut. Biasanya pancaroba terjadi di awal tahun mulai dari Januari hingga Maret.
”Selama tiga bulan itu kami tidak bisa melaut, kan, jadi nganggur. Memang masih ada saja yang mengolah ikan kering atau produk lainnya dan mencari udang, termasuk kepiting, jadi untuk isi kekosongan tiga bulan tidak melaut itu awalnya,” kata Husaini saat dihubungi dari Palangkaraya, Jumat (7/8/2020).
Husaini menjelaskan, saat ini kelompok mereka memiliki 900 kepiting dengan nilai mencapai Rp 21 juta. Mereka menjual per kilogram dengan harga Rp 100.000.
Selama tiga bulan itu kami tidak bisa melaut, kan, jadi nganggur.
”Biasanya yang memesan dari Kabupaten Kapuas, tetapi paling banyak itu dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, karena memang dekat,” kata Husaini.
Fasilitator desa dari Lembaga Kemitraan yang mendampingi warga Desa Sei Bakau, Achmad Mujaeni, mengungkapkan, banyak potensi yang bisa dikembangkan di kawasan bakau itu. Tentunya dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
”Ada madu, udang, ikan, kepiting, dan banyak lagi. Jadi, memang kawasan itu sangat penting untuk kehidupan warga sekitar,” kata Achmad.
Achmad menambahkan, pihaknya membawa beberapa perwakilan warga ke Kalimantan Barat untuk studi banding cara membudidayakan kepiting bakau. Jadi, teknik pembuatan tambak dan budidayanya mengikuti kelompok nelayan di Kalimantan Barat.
”Lalu kami juga damping agar warga memahami hidup berorganisasi karena tambak ini dikelola kelompok bukan personal sehingga soal pembukuan dan lain sebagainya juga didampingi,” kata Achmad.
Achmad menambahkan, kelompok nelayan itu sudah memiliki kesepakatan dengan beberapa calon pembeli, tetapi batal karena pandemi Covid-19. ”Saat ini kami sedang berupaya tetap bisa menjual secara daring,” katanya.
Desa Sei Bakau merupakan salah satu wilayah yang paling dekat dengan laut Jawa. Tidak ada akses darat ke lokasi desa itu karena belum terbangun. Hanya sungai dan laut yang menjadi akses ke desa dengan luas 15.000 hektar itu.
Kepala Desa Sei Bakau Jali Rahman menjelaskan, mata pencarian utama masyarakat di desanya adalah nelayan laut dan darat. Nelayan darat memanfaatkan kawasan rawa gambut dengan membuat kolam beje. Kolam beje merupakan kolam yang dibuat di musim hujan dan hasilnya akan dipanen di musim kemarau. Kolam itu memanfaatkan luapan air dari rawa gambut.
Jali menjelaskan, alih fungsi lahan tetap terjadi di sebagian kawasan di luar hutan bakau. Mereka tidak membiarkan hutan bakau mereka menjadi jalur produksi atau jalan truk-truk pengangkut sawit.
”Alih fungsi lahan saja sudah merugikan mereka nelayan yang bertumpu pada kolam beje atau nelayan darat,” kata Jali.
Untuk menjaga kawasan bakau, lanjut Jali, pihaknya saat ini sedang mengusulkan kawasan itu menjadi Hutan Desa melalui skema perhutanan sosial. Mereka juga saat ini sedang melakukan penanaman kembali bakau di kawasan yang terdegradasi.
Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut Myrna Safitri mengungkapkan, program pendampingan bagi masyarakat dalam bentuk revitalisasi ekonomi bertujuan untuk memberi ruang kepada masyarakat dalam memanfaatkan gambut sesuai fungsinya.
Restorasi gambut, lanjut Myrna, tidak bertujuan memisahkan masyarakat dari ekosistem gambut, tetapi secara bijak dan bertanggung jawab mengelolanya. ”Melalui paket revitalisasi, kecintaan merawat lahan gambut diharap tumbuh,” katanya.