Penghentian Penyegelan Bakal Makam Sesepuh Sunda Wiwitan Kembali Disuarakan
Setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kini giliran Masyarakat Cirebon Anti Diskriminasi mendesak Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, untuk menghentikan penyegelan bakal makam sesepuh adat Sunda Wiwitan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kini giliran Masyarakat Cirebon Anti Diskriminasi mendesak Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menghentikan penyegelan bakal makam sesepuh adat Sunda Wiwitan. Penyegelan itu dinilai bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM.
”Penyegelan ini bagian dari diskriminasi terhadap penghayat Sunda Wiwitan. Mereka juga berhak mengekspresikan kepercayaannya, seperti membangun makam,” kata KH Marzuki Wahid dari Fahmina Institute, Rabu (29/7/2020), di Kota Cirebon, Jabar.
Berbasis di Cirebon, Fahmina merupakan organisasi nirlaba yang bergerak pada isu keindonesiaan, kemanusiaan, dan keadilan. Fahmina dan 12 organisasi lainnya tergabung dalam Masyarakat Cirebon Anti Diskriminasi. Organisasi tersebut, antara lain, Gusdurian Cirebon, Institut Studi Islam Fahmina, Pemuda Lintas Iman, dan Ma’had Aly Kebon Jambu, Cirebon.
Gerakan tersebut mendesak Pemkab Kuningan melepas segel bakal makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di Blok Curug Go’ong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kuningan. Bakal makam untuk Pangeran Djatikusumah (88) dan istrinya, Ratu Emalia Wigarningsih (78), itu disegel sejak Senin (20/7/2020) dan disaksikan sejumlah organisasi masyarakat.
Pemkab Kuningan menilai, batu setinggi 2 meter di atas tempat persemayaman tersebut merupakan tugu. Sesuai Pasal 5 (g) Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan, pembangunan tugu memerlukan IMB.
Aturan tersebut tidak menjelaskan kriteria tugu yang dimaksud. Pihak Sunda Wiwitan telah berupaya mengurus IMB. Namun, ditolak pemkab dengan sejumlah alasan.
Menurut Marzuki, Pemkab Kuningan seharusnya membantu masyarakat adat Sunda Wiwitan mengurus administrasi, bukan malah mempersulit. Pemkab juga tidak boleh kalah terhadap ormas yang bersikap intoleran. ”Seharusnya golongan mayoritas melindungi minoritas (Sunda Wiwitan). Bukan sebaliknya,” ujarnya.
KH Husein Muhammad, Pengasuh Ponpes Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, mengatakan, Islam menjunjung tinggi hak warga untuk hidup dan berkeyakinan. Pembangunan bakal makam tokoh adat Sunda Wiwitan merupakan bagian dari ekspresi atas keyakinan. ”Kita tidak punya hak untuk menghakimi,” ucapnya.
Jangan berpikir kalau kita mayoritas bisa bebas melakukan apa saja. Pada saatnya nanti, kita bisa jadi minoritas. (KH Husein Muhammad)
Husein mengingatkan, di negara demokrasi seperti Indonesia, tidak ada lagi pembicaraan terkait masyarakat yang mayoritas dan minoritas. Demokrasi justru menekankan pada penghormatan terhadap HAM. ”Jangan berpikir kalau kita mayoritas bisa bebas melakukan apa saja. Pada saatnya nanti, kita bisa jadi minoritas,” ujarnya.
Pengasuh Ponpes Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin, Cirebon, Nyai Masriyah Amva, misalnya, pernah mengunjungi santrinya yang tinggal di Waikabubak, Nusa Tenggara Timur. Di sana, jumlah umat Muslim tidak sebanyak di Jawa. Namun, santrinya bisa membangun pondok pesantren meskipun di sekitarnya penganut agama Nasrani dan kepercayaan masyarakat adat setempat.
”Tidak ada sentimen agama sama sekali. Saya merasa aman meskipun minoritas. Mereka memandang saya sebagai manusia, bukan penganut agama tertentu,” ujarnya.
Masriyah berharap, Pemkab Kuningan mengayomi semua golongan, termasuk masyarakat adat Sunda Wiwitan.
Sebelumnya, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, larangan pembangunan dan penyegelan bakal makam sesepuh Sunda Wiwitan bertentangan dengan prinsip dan nilai HAM yang terkandung dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat 1. Pasal tersebut, antara lain, memberikan kebebasan bagi setiap orang memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
Polemik IMB
Bupati Kuningan Acep Purnama, dalam keterangan pers, mengatakan, pembangunan tugu makam tersebut tidak sesuai prosedur karena tidak dilengkapi IMB. Surat permohonan IMB yang dikirimkan perwakilan masyarakat Akur Sunda Wiwitan juga belum dilengkapi dokumen administrasi.
Acep mengklaim, penolakan dari kelompok masyarakat atas pembangunan makam juga terus menguat. Penyegelan tugu makam dilakukan setelah memberi tiga kali surat peringatan.
”Ini sudah tepat dan strategis dalam mengantisipasi persoalan yang lebih besar dan menjaga hal-hal yang tidak diharapkan,” ujarnya.
Acep mengimbau semua pihak agar tidak bertindak di luar ketentuan hukum dan menyerahkan masalah tersebut kepada pemerintah. ”Pemda yakin mengatasi persoalan ini dengan damai dan musyawarah,” katanya.
Perwakilan masyarakat Akur Sunda Wiwitan Djuwita Djatikusumah Putri mengatakan, pembangunan makam dilakukan di atas lahan pribadi dan telah memiliki akta jual beli tanah. Pihaknya berupaya mengurus berbagai administrasi untuk IMB, tetapi seolah dipersulit dari tingkat kelurahan hingga dinas terkait.
Pihaknya telah mengirim surat pengurusan IMB makam kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTS) Kuningan pada 1 Juli atau dua hari setelah surat peringatan pertama oleh satpol PP. Namun, surat tersebut baru dibalas pada 14 Juli, sehari setelah terbitnya surat teguran ketiga satpol PP.
Dalam surat DPMPTS setempat, permohonan IMB oleh masyarakat Akur Sunda Wiwitan ditolak karena belum ada regulasi terkait IMB makam. Alasan lainnya tertulis, ”Untuk proses permohonan izin IMB, salah satu unsur yang harus dipenuhi ialah kondusivitas lingkungan warga”.