Pemerintah Mesti Wajibkan Pelaku Perjalanan Tes PCR atau Karantina
Pemerintah mesti memperketat persyaratan bagi pelaku perjalanan. Idealnya, pelaku perjalanan harus menjalani tes reaksi rantai polimerase (PCR) di daerah tujuan atau melakukan karantina 14 hari.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta memperketat aturan mengenai syarat warga yang ingin melakukan perjalanan ke daerah lain. Idealnya, pelaku perjalanan harus menjalani tes dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR) setelah sampai di daerah tujuan. Jika tak bisa dilakukan, mereka mesti dikarantina selama 14 hari untuk mencegah potensi penularan Covid-19.
”Tes itu lebih tepat dilakukan saat pelaku perjalanan sampai di daerah tujuan. Tesnya paling bagus dengan tes PCR, bukan rapid test (tes cepat),” kata epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Bayu Satria Wiratama, Senin (27/7/2020).
Selama pandemi Covid-19 ini, pemerintah telah menetapkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi pelaku perjalanan yang ingin bepergian menggunakan transportasi umum, seperti pesawat terbang, kereta api, dan kapal laut. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah membawa surat keterangan tes PCR dengan hasil negatif atau surat keterangan tes cepat dengan hasil nonreaktif.
Surat keterangan tes PCR dan tes cepat itu berlaku selama 14 hari sejak diterbitkan. Artinya, sebelum melakukan perjalanan, seseorang harus melakukan tes PCR atau tes cepat dengan kurun waktu maksimal 14 hari sebelum keberangkatan. Karena mahalnya biaya tes PCR, kebanyakan pelaku perjalanan memilih melakukan tes cepat yang biayanya jauh lebih murah.
Bayu menilai aturan mengenai kewajiban melakukan tes sebelum keberangkatan kurang tepat. Sebab, tes yang dilakukan sebelum keberangkatan tak bisa menjamin pelaku perjalanan benar-benar tidak terinfeksi Covid-19. Apalagi, kebanyakan tes yang dilakukan adalah tes cepat antibodi yang dinilai kurang tepat untuk melakukan diagnosis Covid-19.
Selain itu, Bayu menyebut masa berlaku tes yang ditetapkan pemerintah selama 14 hari terlalu lama. Padahal, jika jarak waktu tes dengan waktu keberangkatan terlalu lama, hasil tes yang dilakukan tak bisa lagi menjadi rujukan. Sebab, bisa saja seseorang terinfeksi Covid-19 setelah melakukan tes tersebut.
Pelaku perjalanan seharusnya diwajibkan menjalani tes PCR begitu tiba di daerah tujuan.
Oleh karena itu, Bayu berpendapat, pelaku perjalanan seharusnya diwajibkan menjalani tes PCR begitu tiba di daerah tujuan. Hal ini penting untuk memastikan setiap pelaku perjalanan benar-benar tak terinfeksi Covid-19 sebelum masuk ke suatu daerah. ”Tujuan tes itu, kan, untuk memastikan seseorang aman atau tidak saat masuk ke satu daerah,” ujarnya.
Bayu menambahkan, apabila tes PCR tak bisa dilakukan karena kendala tertentu, pemerintah harus mewajibkan pelaku perjalanan melakukan karantina selama 14 hari. Selama karantina, mereka tidak boleh melakukan kontak erat dengan orang lain. Hal ini penting untuk mencegah penularan Covid-19 dari pelaku perjalanan ke warga lokal.
Untuk memastikan aturan karantina itu berjalan baik, Bayu mengatakan, pemerintah harus mendata dan mengawasi para pelaku perjalanan secara ketat. Pendataan dan pengawasan itu tidak boleh hanya dilakukan pada penumpang transportasi umum, tetapi juga pelaku perjalanan dengan kendaraan pribadi.
Menurut Bayu, aturan lebih ketat terkait syarat melakukan perjalanan itu krusial untuk menekan laju penularan Covid-19 oleh pelaku perjalanan. Penyebabnya, selama ini para pelaku perjalanan menjadi salah satu sumber penularan Covid-19 yang cukup dominan di beberapa wilayah Indonesia.
Selama ini, para pelaku perjalanan menjadi salah satu sumber penularan Covid-19 yang cukup dominan di beberapa wilayah Indonesia.
Bahkan, ada sejumlah daerah yang sebenarnya sudah bisa mengendalikan penularan Covid-19 di wilayahnya, tetapi kemudian mengalami lonjakan kasus karena banyaknya pelaku perjalanan yang masuk. Bayu menyebut kondisi itu, antara lain, terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
”Yogyakarta yang seharusnya kasusnya sudah terkontrol kemudian bobol karena banyak pelaku perjalanan dari beberapa daerah risiko tinggi masuk lalu menyebarkan (Covid-19),” ungkap Bayu yang tengah melanjutkan studi doktoral di Taipei Medical University, Taiwan.
Bayu juga mengingatkan, penerapan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak hanya berfungsi menurunkan risiko penularan Covid-19. Oleh karena itu, tiga langkah protokol kesehatan tersebut tidak bisa sepenuhnya menghilangkan risiko penularan. Apalagi, di tempat umum atau transportasi umum, masih banyak warga tak disiplin menjalankan protokol kesehatan.
”Pakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan itu bukan lantas menghilangkan sama sekali risiko penularan. Langkah-langkah itu hanya menurunkan risiko. Apalagi, kalau di angkutan umum yang penuh sesak, kan, susah memastikan semua orang memakai masker dengan benar,” tutur Bayu.
Intensifkan pelacakan
Dalam kesempatan terpisah, Juru Bicara Pemerintah Daerah DIY untuk Penanganan Covid-19 Berty Murtiningsih mengatakan, pihaknya terus berupaya mengintensifkan pelacakan kasus dengan meningkatkan jumlah orang yang diperiksa. Salah satu sasaran pemeriksaan adalah pelaku perjalanan yang masuk ke wilayah DIY.
Menurut Berty, apabila mendapat laporan adanya pelaku perjalanan yang datang ke wilayahnya, para petugas puskesmas di DIY akan melakukan wawancara mendalam dengan pelaku perjalanan itu. Jika hasil wawancara menunjukkan pelaku perjalanan itu memiliki risiko tinggi tertular Covid-19, mereka akan diminta menjalani pengambilan sampel dengan metode swab atau usap hidung dan tenggorokan.
Sampel itu kemudian diperiksa di laboratorium dengan metode PCR untuk memastikan apakah mereka tertular Covid-19 atau tidak. ”Kalau ada laporan orang dari luar masuk, kami wawancara mendalam dulu. Kalau berisiko tinggi, dia langsung menjalani swab,” ungkap Berty.
Berty menuturkan, pelaku perjalanan yang memiliki risiko tinggi itu berasal dari daerah dengan penularan Covid-19 tinggi. Selain itu, penetapan kategori risiko tersebut juga bergantung pada jenis transportasi yang digunakan pelaku perjalanan.
Apabila menggunakan angkutan umum, pelaku perjalanan dinilai memiliki risiko lebih tinggi. ”Salah satu kriterianya adalah dia dari mana dan transportasinya seperti apa,” ujar Berty.