Polemik Makam Sesepuh Sunda Wiwitan Ancam Keberagaman
Penghentian pembangunan makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dapat mengancam keberagaman di Indonesia.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS — Penghentian pembangunan makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, rentan mengancam keberagaman di Indonesia. Pemerintah Kabupaten Kuningan diminta ikut menghargai kebudayaan lokal dan tidak mendiskriminasi masyarakat adat.
Desakan tersebut antara lain disuarakan anggota DPD RI, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, anggota DPR RI Komisi VIII Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Maman Imanul Haq, dan KH Marzuki Wahid dari Fahmina Institute saat berkunjung ke Paseban di Cigugur, Kuningan, Jumat (24/7/2020). Mereka bertemu dengan Pangeran Djatikusumah, sesepuh sekaligus pimpinan penghayat Sunda Wiwitan.
Hemas bahkan sempat meninjau bakal makam Djatikusumah (88) dan istrinya, Ratu Emalia Wigarningsih (78), di Curug Go’ong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur. Pembangunan makam tersebut terhenti setelah disegel Satpol PP Kuningan, Senin (20/7). Massa sejumlah organisasi masyarakat turut menyaksikan penyegelan tersebut.
Hemas mempertanyakan dasar pemkab menghentikan pembangunan makam yang termasuk adat istiadat dan kebudayaan lokal, seperti makam para raja di Yogyakarta. Apalagi, Djatikusumah merupakan tokoh masyarakat adat. ”Harus dihargai budaya di sini. Tidak bisa disamakan dengan kepentingan lain. Kalau tidak punya budaya sendiri, kita mau pakai budaya siapa?” ujarnya.
Makam yang dimaksud berupa dua tempat persemayaman dan di bagian atasnya terdapat batu dengan tinggi sekitar 2 meter. Makam tersebut berjarak sekitar 1 kilometer dari permukiman warga, termasuk Masjid Nurul Hidayah. Letaknya juga kurang dari 50 meter dari Goa Maria Sawer Rahmat, tempat wisata religi, terutama bagi umat Katolik.
Di daerah tersebut, umum ditemukan makam umat Muslim dan Nasrani serta penghayat Sunda Wiwitan berdampingan. ”(Penyegelan makam) ini mencederai kerukunan dan kebersamaan yang selama ini terjaga di Cigugur,” kata Marzuki Wahid, yang juga tokoh multikulturalisme di Cirebon dan sekitarnya.
Maman Imanul Haq mengatakan, polemik pembangunan makam tersebut seharusnya tidak terjadi karena Indonesia punya ideologi Pancasila yang menjunjung Bhinneka Tunggal Ika. ”Seperti jargon Presiden (Joko Widodo) saat kampanye, Indonesia bisa jadi negara maju karena sudah selesai dengan ideologinya,” katanya.
Maman mengatakan, pembangunan makam itu termasuk dalam ekspresi berkeyakinan yang dilindungi konstitusi. Pada 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi juga telah memandatkan jaminan kesetaraan antara agama dan kepercayaan sesuai Pasal 28E dan 29 Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, penghayat kepercayaan memiliki hak yang sama untuk mengakses layanan publik seperti pemeluk agama lain.
Bupati Kuningan Acep Purnama melalui keterangan tertulisnya mengatakan, dalam pembangunan makam itu terdapat tugu atau batu. Sesuai Pasal 5 (g) Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan IMB, pembangunan tugu memerlukan IMB.
Meskipun kriteria terkait ukuran dan pengertian tugu tidak dijelaskan dalam perda tersebut, Acep mengatakan, pembangunan tugu makam tidak sesuai prosedur. Surat permohonan IMB yang dikirimkan perwakilan masyarakat Akur Sunda Wiwitan juga belum dilengkapi dokumen administrasi.
Pihaknya juga mengklaim, penolakan dari kelompok masyarakat atas pembangunan makam terus menguat. Pihaknya pun menyegel tugu makam setelah memberikan tiga kali surat peringatan. ”Ini sudah tepat dan strategis dalam mengantisipasi persoalan yang lebih besar dan menjaga hal-hal yang tidak diharapkan,” ujarnya.
Djuwita Djatikusumah Putri, Girang Pangaping Adat Masyarakat Akur Sunda Wiwitan, mengatakan, negara seharusnya melindungi semua golongan masyarakat, termasuk minoritas. ”Negara tidak boleh kalah oleh tekanan siapa pun. Kami juga belum pernah menerima surat dari lembaga mana pun yang keberatan dengan pembangunan makam,” katanya.
Pihaknya berupaya mengurus IMB makam kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTS) Kuningan pada 1 Juli atau dua hari setelah surat peringatan pertama oleh Satpol PP. Namun, surat tersebut baru dibalas pada 14 Juli, sehari setelah terbitnya surat teguran ketiga Satpol PP.
Dalam surat DPMPTS setempat, permohonan IMB oleh masyarakat Akur Sunda Wiwitan ditolak. ”Salah satu alasannya, belum ada regulasi yang mengatur terkait IMB makam. Jadi, kami harus bagaimana?” katanya.