Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan menilai penyegelan tugu makam sesepuh oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, tidak berdasar. Aturan terkait izin makam belum ada hingga kini.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS — Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan melaporkan kasus penyegelan tugu makam sesepuh oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Penyegelan dinilai tidak berdasar karena belum ada aturan terkait izin mendirikan makam.
Sebelumnya, Satpol PP Kuningan menyegel tugu makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di Blok Curug Go’ong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kuningan, Senin (20/7/2020). Massa dari sejumlah organisasi masyarakat turut menyaksikan penyegelan dengan pita oranye itu.
Juwita Djatikusumah Putri, perwakilan masyarakat Akur Sunda Wiwitan, mengatakan telah melaporkan kasus tersebut kepada Komnas HAM. Penyegelan tersebut, lanjutnya, menunjukkan pemerintah daerah belum melindungi masyarakat adat. Padahal, pemerintah harus melindungi yang mayoritas dan minoritas.
”Kami sudah mencoba mengurus izin mendirikan makam, tetapi ditolak karena belum ada regulasi terkait itu. Jadi, dasar penyegelan makam apa?” kata Juwita saat dihubungi, Selasa (21/7/2020), di Kuningan.
Makam yang dimaksud berupa dua tempat persemayaman dan di bagian atasnya terdapat tumpukan batu. Makam tersebut menurut rencana disiapkan sebagai tempat peristirahatan terakhir sesepuh sekaligus pemimpin Sunda Wiwitan, Pangeran Djatikusumah (88), dan istrinya.
Penyegelan dilakukan setelah Satpol PP Kuningan melayangkan tiga kali surat peringatan terhadap pemilik tugu makam agar menunjukkan surat izin mendirikan bangunan (IMB) bukan gedung, dalam hal ini tugu. Tugu makam diduga melanggar Pasal 5 (g) Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 13 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan IMB.
Menurut Juwita, pihaknya telah mengurus IMB makam kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kuningan pada 1 Juli atau dua hari setelah surat peringatan pertama oleh Satpol PP. Namun, surat tersebut baru dibalas pada 14 Juli, sehari setelah terbitnya surat teguran ketiga Satpol PP.
Dalam surat DPMPTSP setempat, permohonan IMB oleh masyarakat Akur Sunda Wiwitan ditolak. Selain belum ada regulasinya, sejumlah kelompok masyarakat juga meminta pembangunan makam itu dihentikan. Alasan lainnya, tertulis, ”Untuk proses permohonan izin IMB, salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah kondusivitas lingkungan warga”.
”Sampai saat ini, kami tidak pernah menerima surat dari lembaga apa pun yang menyatakan keberatan dengan pembangunan makam. Kalaupun ada yang keberatan, apakah kami tidak boleh bangun makam? Sementara belum ada aturan terkait itu,” lanjut Juwita yang juga anak Pangeran Djatikusumah.
Juwita juga menampik makam tersebut bakal menjadi tempat pemujaan seperti isu yang beredar. Bahkan, katanya, makam Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832-1939), yang dikenal sebagai perintis ajaran Sunda Wiwitan, di Kuningan, terkunci bagi orang luar.
Kepala Satpol PP Kuningan Indra Purwantoro mengatakan, sesuai perda, penyegelan dilakukan terhadap tugu, bukan makam. Padahal, perda tidak menjelaskan kriteria tugu yang dimaksud seperti apa. ”Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia, tugu adalah bangunan tinggi yang terbuat dari batu, bata, dan sebagainya,” kata Indra sambil menunjukkan KBBI daring.
Pihaknya memberikan waktu tujuh hari kepada perwakilan masyarakat Sunda Wiwitan untuk mengurus izin tersebut. Jika belum memiliki izin, pihaknya memberikan waktu 30 hari bagi pemilik untuk membongkar bangunan tersebut. ”Jika tidak, kami yang akan bongkar. Kalau ada izin, segel kami lepas,” ucapnya.