Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Kesehatan Jangan Sekadar Jargon
Pada pandemi Covid-19 ini, sektor kesehatan masih terfokus pada kuratif (penyembuhan). Ketergantungan alat kesehatan dari luar negeri juga membuat Indonesia tidak bisa merespons dengan cepat penyebaran virus itu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kualitas kesehatan diharapkan tak lagi sekadar jargon. Tujuannya, agar semua pihak siap apabila kembali terjadi pandemi, seperti Covid-19, di kemudian hari.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, dalam publikasi Nature pada 2004, ada 30 lebih penyakit infeksi baru (EID). Hingga 2020, telah ada empat penyakit menular baru yang memakan korban jiwa.
Keempat penyakit menular baru itu adalah A(H1N1)pdm09, H7N9, MERS-COV, dan Covid-19. Keempatnya menyebabkan puluhan juta orang terinfeksi dan jutaan orang meninggal. Bahkan, kini muncul potensi pandemi lain, flu babi jenis baru (G4).
”Darurat kesehatan (Covid-19) ini muncul karena tingginya risiko dan tak ada navigasi. Lalu, data yang tidak terintegrasi dan valid,” kata Wiku pada webinar Penanggulangan Covid-19 Melalui Pendekatan One Health yang digelar Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (18/7/2020).
Wiku, yang juga Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, menambahkan, pada awal pandemi Covid-19, sektor kesehatan masih terfokus pada kuratif (penyembuhan). Ketergantungan alat kesehatan dari luar negeri juga membuat Indonesia tidak bisa merespons dengan cepat.
Bahkan hingga sekarang, penanganan Covid-19 juga masih lebih besar pada kuratif. ”Karena kita sudah terbiasa seperti ini. Kuratif itu mahal, padat teknologi, dan reaksinya cepat. Namun, akan kedodoran karena sumber daya kita, bahkan dunia, tak cukup,” katanya.
Menurut Wiku, tantangan ke depan, yakni bagaimana agar upaya preventif promotif bukan lagi sekadar jargon. Namun, bagaimana promosi kesehatan serta pencegahan benar-benar diterapkan. Saat ini, di Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, preventif dan promotif pun menjadi bagian dari penanganan.
Dalam penanganan Covid-19, juga dilakukan pendekatan strategi, struktur, sistem, skill (kepakaran), dan speed (kecepatan). Selain itu, juga ada target, yakni orang yang sehat tetap sehat, yang kurang sehat harus sembuh, serta yang sakit diobati hingga sembuh.
Peta risiko Covid-19 per kabupaten/kota juga diperbarui setiap pekan untuk navigasi. ”Sementara dalam pencegahan penularan, pola pikir publik harus diubah. Protokol kesehatan, seperti pakai masker, cuci tangan jaga jarak, dan jaga imunitas, harus diterapkan,” katanya.
Dina Kania, perwakilan WHO Indonesia, mengatakan, di saat pandemi Covid-19 seperti saat ini, kesadaran bersama harus tumbuh di masyarakat. Tidak bisa hanya bergantung pada sistem kesehatan atau pada pemerintahan.
Komprehensif
Wiku menilai, pendekatan one health atau pencapaian hasil kesehatan melalui pemahaman dan pencegahan risiko dari keterkaitan antara manusia, hewan, dan lingkungan ialah salah satu solusi. Ini terkait bagaimana melihat masalah secara komprehensif.
”Sampai sekarang, di dunia pun, belum bisa mendeteksi asal dan penyebab virus karena begitu sibuknya melihat efek Covid-19, yaitu korban manusia. Artinya, saat kita tahu potensi dari penyakit infeksi baru, harusnya kita melihat ke belakang,” katanya.
Sampai sekarang, di dunia pun, belum bisa mendeteksi asal dan penyebab virus karena begitu sibuknya melihat efek Covid-19, yaitu korban manusia. Artinya, saat kita tahu potensi dari penyakit infeksi baru, harusnya kita melihat ke belakang.
Salah satu yang perlu diwaspadai ke depan yakni flu babi jenis baru di China. Berkaca dari pandemi sebelumnya, persiapan dalam kapasitas dan pencegahan dini perlu dilakukan, sebagai antisipasi jika penyakit itu masuk ke Indoneisa.
Berdasarkan catatan Kompas, wabah virus flu babi (H1N1) pada 2009 pernah berdampak di Indonesia. Per 30 Agustus 2009, Departemen Kesehatan mencatat, 1.055 orang terinfeksi virus tersebut, delapan orang di antaranya meninggal. Sebagai perbandingan saat itu, 114 orang meninggal di Thailand dan 68 orang meninggal di Malaysia (Kompas, 31 Agustus 2009).
Medik Veteriner Madya, Direktorat Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Syafrison Idris, menuturkan, ke depan, Indonesia tak boleh lengah. Sebab, penyakit infeksi baru telah dan akan terus ada, baik yang menyerang hewan maupun manusia.
”Untuk mencegah pandemi berikutnya, kita harus meningkatkan kemampuan sedini mungkin, bahkan sebelum timbulnya masalah. Perlu digunakan data informasi untuk mitigasi risiko. Penyakit infeksi baru tak bisa kita hindarkan, tetapi setidaknya bisa menekan dan meminimalkan dampaknya,” katanya.