PDI Perjuangan Usung Istri Bupati Sleman di Pilkada 2020
PDI Perjuangan mengeluarkan surat rekomendasi bagi Kustini, istri Bupati Sleman Sri Purnomo, untuk maju sebagai calon bupati Sleman dalam Pilkada 2020. Pengamat mengkhawatirkan munculnya dinasti politik.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·2 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — PDI Perjuangan mengeluarkan surat rekomendasi bagi Kustini Sri Purnomo, istri Bupati Sleman Sri Purnomo, untuk maju sebagai calon Bupati Sleman dalam pilkada 2020. Pengamat politik mengkhawatirkan kondisi tersebut memicu munculnya dinasti politik di daerah tersebut.
Isi surat rekomendasi yang turut memuat nama Kustini diumumkan DPP PDI-P, Jumat (17/7/2020). Kustini adalah istri Bupati Sleman saat ini, Sri Purnomo. Sri telah menjabat sebagai Bupati Sleman selama dua periode, yakni 2010-2015 dan 2016-2021. Sebelumnya, Sri menjabat Wakil Bupati Sleman periode 2005-2010. Kustini bakal didampingi Danang Maharsa, anggota DPRD Sleman dari Fraksi PDI-P periode 2019-2024.
Sekretaris DPD PDI-P Daerah Istimewa Yogyakarta Totok Hedi Santosa menyatakan, Kustini-Danang telah melalui banyak pertimbangan. ”Perjalanannya panjang. Tidak serta-merta mendapatkan rekomendasi. Antara lain, ya, survei kemungkinan (keterpilihan) pasangan tersebut dan lain sebagainya,” kata Totok, saat dihubungi, Jumat sore.
Totok mengungkapkan, langkah yang selanjutnya bakal ditempuh Kustini, yaitu menjalani pendidikan melalui sekolah partai khusus yang dilakukan oleh DPP PDIP. Pihaknya juga membuka peluang masuknya koalisi dari partai politik lainnya. Namun, hingga saat ini, belum ada pembicaraan khusus terkait adanya koalisi khusus.
Kustini menyatakan hal serupa. Dia sangat terbuka terhadap koalisi yang dapat mendukung pemenangannya. Selanjutnya, ia juga akan menjalin silaturahmi dengan berbagai elemen masyarakat guna memperoleh dukungan.
Wawan Mas’udi, pengajar ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada, menyampaikan, majunya Kustini memunculkan peluang terbentuknya dinasti politik di Sleman. Pihaknya menilai, kemunculan dinasti politik masih menjadi persoalan dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
”Memang ada kecenderungan keluarga-keluarga politik semakin memperkuat upaya mereka untuk bertahan di dalam lingkaran kekuasaan dengan cara apapun. Ini fenomena nasional,” kata Wawan.
Wawan menyatakan, dinasti politik didukung dengan adanya proses kaderisasi oleh partai politik yang relatif tertutup. Masyarakat seolah hanya diberikan pilihan-pilihan yang sudah ditentukan partai politik, tanpa tahu pertimbangannya.
Selanjutnya, Wawan mengatakan, keberdaaan dinasti politik mampu menggerus kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Publik akan menjadi skeptis dengan proses politik yang dijalani secara tertutup. Imbasnya, partisipasi dalam pemilihan umum akan turun.
”Ini (dinasti politik) bisa melahirkan skeptisisme publik. Kalau itu terus terjadi, bisa menghasilkan erosi yang lebih jauh lagi bagi sistem demokrasi sendiri,” kata Wawan.
Menanggapi itu, Kustini menjawab, ia telah melalui proses politik yang demokratis. Ia berpendapat, dalam sistem demokrasi, siapa saja berhak untuk memilih dan dipilih. Begitu dicalonkan, ia juga tidak langsung memperoleh jabatan sebagai kepala daerah.
”Dinasti itu kalau kerajaan. Ini, kan, demokrasi. Demokrasi itu siapa pun berhak untuk maju, berhak untuk memilih dan dipilih. Begitu juga berhak untuk maju dan diajukan,” kata Kustini.