Aturan Tes Dikecualikan untuk Masyarakat Komuter Surabaya
Aturan mengenai tes cepat dikecualikan untuk pekerja komuter, juga tidak berlaku bagi orang komuter dari wilayah Sidoarjo, Gresik, Lamongan, dan Mojokerto karena masih dalam satu kawasan aglomerasi
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 33 Tahun 2020 sebagai Perubahan atas Regulasi Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 diminta agar direvisi. Aturan dianggap tidak tepat dan memberatkan masyarakat.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menandatangani regulasi itu pada Senin (13/7/2020). Namun, hingga hari kelima atau Jumat (17/7/2020) usai diberlakukan, peraturan dimaksud belum bisa dioperasikan.
Menurut Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Surabaya Irvan Widyanto mengatakan, pihaknya masih berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk pelaksanaan aturan terkait pemantauan di titik perbatasan. Jika koordinasi sudah selesai, pemantauan segera bisa dilaksanakan. ”Secepatnya akan kami susun sehingga pemantaun di titik perbatasan bisa segera diterapkan,” katanya.
Salah satunya pemeriksaan di 17 lokasi perbatasan pada kegiatan pergerakan orang dan barang menggunakan moda transportasi seperti di Pasal 24 Ayat 6. Pantauan Kompas di salah satu titik pemeriksaan yang berada di City of Tommorow, perbatasan Surabaya dan Gresik, kendaraan masuk ke Surabaya tanpa ada pemeriksaan. Padahal, sesuai aturan baru, petugas melakukan pemeriksaan suhu tubuh dan memeriksa KTP penumpang.
Aturan yang mewajibkan pekerja luar daerah untuk melakukan tes cepat atau tes usap setiap 14 hari juga belum dilaksanakan. Petugas belum memeriksa perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan karyawan dari luar daerah. Padahal, di Surabaya, setidaknya ada sekitar 1 juta warga luar daerah yang bekerja di Surabaya setiap hari.
Tes berlaku bagi warga yang datang dari luar wilayah aglomerasi (Irvan Widyanto)
Sedangkan aturan mengenai tes cepatkata Irvan dikecualikan untuk pekerja komuter. Begitu pula syarat tes cepat tidak berlaku bagi orang komuter dari wilayah Sidoarjo, Gresik, Lamongan, dan Mojokerto karena masih dalam satu kawasan aglomerasi.
"Tes berlaku bagi warga yang datang dari luar wilayah aglomerasi," katanya. Pemberlakuan tes sebagai syarat perjalanan diambil sesuai arahan dari Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi).
Pembina Pengurus Daerah Persakmi Jawa Timur Estiningtyas Nugraheni mengatakan, mengacu pada aturan atau regulasi, ada Surat Edaran (SE) Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 nomor 9 tahun 2020 tentang perubahan atas SE Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 nomor 7 tahun 2020 tentang kriteria dan persyaratan perjalanan orang dalam masa adaptasi kebiasaan baru menuju masyarakat produktif dan aman Covid-19.
“Bahkan, aturan dari Kemenkes juga tidak ada larangan secara tegas mengenai rapid tes ini. Di aturan Kemenkes itu dijelaskan bahwa rapid tes bisa dilakukan untuk skrining pada kelompok rentan, termasuk pekerja dari luar daerah sebagaimana yang diatur dalam Perwali perubahan itu,” katanya.
Tidak tepat
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, menilai, sejumlah aturan dalam Perwali Surabaya Nomor 33 Tahun 2020 tidak tepat. Salah satunya terkait klausul wajib menunjukkan hasil pemeriksaan tes cepat dengan hasil nonreaktif atau tes usap dengan hasil negatif bagi pekerja luar daerah yang berlaku 14 hari.
Aturan ini dinilai tidak tepat karena Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO dan Kementerian Kesehatan tidak merekomendasikan tes cepat untuk mendiagnosis orang yang terinfeksi Covid-19. Masa berlaku tes cepat selama 14 hari pun tidak tepat karena tidak ada kepastian bahwa dalam 14 hari usai tes, seseorang tidak tertular virus korona jenis baru (SARS-CoV-2).
Pada rekomendasi WHO, tes cepat hanya digunakan untuk skrining pada populasi spesifik dan situasi khusus, penguatan pelacakan kontak seperti di lembaga pemasyarakatan, panti jompo, panti rehabilitasi, asrama, pondok pesantren, dan pada kelompok-kelompok rentan, serta untuk tujuan penelitian epidemiologi atau penelitian lain.
”Mudah-mudahan bisa segera direvisi karena penggunaan tes cepat tidak bisa dipakai untuk memastikan seseorang tertular atau tidak,” katanya.
Sebagai solusi lain untuk mengurangi risiko penularan dari warga luar daerah, Pemerintah Kota Surabaya bisa membuat mekanisme agar tidak ada pergerakan warga dari luar daerah, begitu pula sebaliknya. Saat berada di perkantoran pun, protokol kesehatan harus dilaksanakan dengan maksimal.
Senada dengan epidemiolog, kalangan pengusaha juga mengeluhkan aturan terkait tes rutin. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim Adik Dwi Putranto menolak peraturan itu karena beban pembiayaan tes ada pada perusahaan.
Senada diutarakan oleh Ketua Kadin Kota Surabaya Muhammad Ali Affandi. Menurut dia, pengusaha pada prinsipnya mendukung kebijakan Pemkot Surabaya dalam penanganan wabah Covid-19.
Namun, terkait kewajiban tes rutin setiap dua minggu, menurut Kadin, memberatkan dunia usaha karena kondisi perekonomian masih loyo. Biaya tes menambah operasional perusahaan. Kadin mengusulkan pemberlakuan sanksi tegas terhadap perusahaan yang tidak mematuhi protokol kesehatan daripada kewajiban tes cepat setiap dua minggu.
”Kami menilai, pemberlakuan sanksi tegas bagi pelanggar protokol kesehatan lebih efektif dan masuk akal bagi pelaku usaha,” ujar Ali Affandi.
Kekebalan kelompok
Windhu menambahkan, Surabaya belum mencapai puncak kurva kasus Covid-19. Hingga 16 Juli 2020, kasus terkonfirmasi positif mencapai 7.431 jiwa dengan kasus aktif sebanyak 2.792 orang. Adapun pasien sembuh sebanyak 3.974 dan meninggal 665 orang.
”Hingga saat ini, belum ada kekebalan kelompok karena kasusnya baru 0,2 persen penduduk Surabaya. kekebalan kelompok terjadi ketika penularan mencapai 80 persen penduduk rentan sudah memiliki imunitas,” ujar Windhu.