Diduga Gangguan Jiwa, Pasien Lompat dari Lantai Tiga RS Ananda Purwokerto
Seorang pasien laki-laki lompat dari lantai tiga Rumah Sakit Ananda Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (16/7/2020) pagi. Pasien diduga mengalami gangguan kejiwaan.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Seorang pasien laki-laki berusia 55 tahun mencoba bunuh diri dengan melompat dari lantai tiga Rumah Sakit Ananda Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (16/7/2020) pagi. Pasien terluka dan kini dirawat pihak rumah sakit. Pasien diduga mengalami gangguan jiwa.
”Kejadian pukul 07.15, saya sedang berjualan di sini. Tahu-tahu ada orang keluar dari jendela masih kondisi dirawat pakai selang infus. Lalu, berjalan lewat di kanopi itu, terus anjlok. Seng di bawah itu sampai jebol,” kata Agus Sutriyanto (47), pedagang kopi di seberang RS Ananda, Kamis.
Agus mengatakan, pasien tersebut kemudian terjepit di antara tembok dan pohon. ”Lalu saya berteriak memanggil security (petugas keamanan). Dia masih hidup. Begitu ditolong, orangnya malah berontak. Kepalanya dibentur-benturkan ke tembok. Seakan-akan indikasinya mau bunuh diri atau stres. Akhirnya dibawa ke IGD,” tuturnya.
Kepala Kepolisian Sektor Purwokerto Barat Ajun Komisaris Haryanto, saat memberikan keterangan bersama Wakil Direktur RS Ananda Ika Anggraeni, menyampaikan, pasien berinisial P itu beberapa kali menjalani pemeriksaan akibat kecemasan yang tinggi.
”Pasien sudah dirawat selama tiga hari. Karena ada gangguan kejiwaan sehingga ingin melarikan diri atau keluar dari rumah sakit,” kata Haryanto.
Haryanto mengatakan, pasien dalam kondisi sadar dan luka lecet di kaki bagian kanan. Menurut rencana, pasien akan segera dirujuk ke RS Jiwa Banyumas.
Menurut dia, pasien keluar dari kamar perawatannya di lantai tiga ketika perawat yang menungguinya sedang berada di kamar mandi. Sementara itu, Ika Anggraeni tidak banyak berkomentar atas kejadian ini dan menyerahkan sepenuhnya insiden tersebut kepada pihak kepolisian.
Seperti diberitakan Kompas (18/1/2019), dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, terdapat 1,7 per 1.000 penduduk Indonesia atau sekitar 400.000 penderita skizofrenia atau psikosis. Menurut analisis Sri Idaiani dan Raflizar dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan terkait Riskesdas 2013 yang dimuat dalam Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Volume 18, Januari 2015, status ekonomi merupakan faktor paling dominan pada pemasungan orang dengan gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia.
Keluarga miskin tidak memiliki biaya untuk membawa penderita berobat, tidak tahu ada fasilitas kesehatan, misalnya rumah sakit pemerintah dan puskesmas. Selain itu, hampir setengah dari rumah tangga tersebut tinggal di perdesaan.
Status ekonomi merupakan faktor paling dominan pada pemasungan orang dengan gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia.
Penelitian Guru Besar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Luh Ketut Suryani dan kolega (2011) di Bali mengungkapkan, penderita gangguan jiwa yang dipasung atau diisolasi umumnya akibat kegagalan pengobatan tradisional serta sistem kesehatan terhadap pasien gangguan jiwa yang masih berpusat pada rumah sakit seperti model lama.
Menurut Suryani, dengan pendekatan pengobatan modern berbasis masyarakat dan memasukkan unsur budaya setempat, penderita menjadi lebih baik. Hasil terapi yang dilakukan tim Suryani Institute for Mental Health kepada sekitar 600 penderita gangguan jiwa sejak 2005, 30 persen bisa sembuh total dan kembali ke masyarakat. Sisanya masih harus minum obat (Kompas, 18/1/2019).