Sempat Dipertanyakan, Pembangunan Pagar Alun-alun Utara Yogyakarta Dilanjutkan
Pembangunan pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta dengan anggaran sekitar Rp 2,3 miliar terus dilanjutkan. Namun, keberadaan pagar itu diharapkan tidak menyulitkan masyarakat beraktivitas di Alun-alun Utara Yogyakarta.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Meski sempat dipertanyakan sejumlah pihak, proyek pembangunan pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta tetap dilanjutkan. Pembangunan pagar dengan anggaran sekitar Rp 2,3 miliar itu dilakukan untuk mengembalikan kondisi Alun-alun Utara Yogyakarta seperti pada masa Sultan Hamengku Buwono I. Proyek itu ditargetkan selesai pada akhir Juli 2020.
”Pembangunan pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta itu akhir Juli, insya Allah, selesai semua. Progresnya sekarang sudah 90 persen,” kata Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta Aris Eko Nugroho, Rabu (15/7/2020), di Yogyakarta.
Alun-alun Utara Yogyakarta merupakan satu dari dua alun-alun milik Keraton Yogyakarta. Selain menjadi tempat untuk penyelenggaraan acara Keraton Yogyakarta, alun-alun yang berada di sisi utara keraton itu juga menjadi ruang publik untuk beragam aktivitas masyarakat, seperti olahraga, bermain layang-layang, atau sekadar jalan-jalan.
Berdasarkan pantauan Kompas, Rabu sore, pembangunan pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta hampir selesai. Tiang-tiang pagar yang terbuat dari besi telah dipasang di hampir seluruh sisi alun-alun. Sebagian tiang itu juga sudah dicat, sementara sebagian lainnya tengah dalam proses pengecatan oleh pekerja.
Baca juga : Rp 100 Miliar Dana Keistimewaan Digunakan untuk Penanganan Pandemi di DIY
Aris menjelaskan, pembangunan pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta dilakukan untuk mengembalikan kondisi alun-alun itu seperti pada masa lalu. Dia menyebut, pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, raja pertama Keraton Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1755-1792, memang ada pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta. ”Pembangunan pagar itu untuk mengembalikan keaslian alun-alun,” ujarnya.
Menurut Aris, keberadaan pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta pada masa lalu itu disinggung dalam sejumlah literatur. Salah satunya tesis berjudul ”Kraton and Cosmos In Traditional Java” (1982) karya Timothy Earl Behrend di University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat.
Aris menuturkan, di dalam tesis itu terdapat gambar lukisan karya A de Nelly yang menggambarkan kondisi Alun-alun Utara Yogyakarta pada masa lalu. Dalam lukisan tersebut terlihat adanya pagar di depan Alun-alun Utara Yogyakarta.
Baca juga : ”Sapa Aruh”, Jalan Kultural Sultan Membumikan Gerakan Lawan Korona
Berdasarkan sejumlah pertimbangan, Pemerintah Daerah DIY dan Keraton Yogyakarta lalu memutuskan untuk membangun kembali pagar di sekeliling Alun-alun Utara Yogyakarta. Menurut papan informasi yang terdapat di lokasi proyek, kontrak untuk pembangunan pagar di alun-alun itu ditandatangani pada 20 April 2020. Adapun masa pembangunan pagar itu ditetapkan selama 95 hari.
Aris mengatakan, pagar yang mengelilingi Alun-alun Utara Yogyakarta itu akan dilengkapi dengan tiga pintu, yakni di sisi utara, barat, dan selatan. Setelah pagar selesai dibangun, masyarakat tetap bisa beraktivitas di dalam alun-alun asalkan dengan izin Keraton Yogyakarta. ”Asal atas izin keraton, ya tidak masalah,” katanya.
Masyarakat tetap bisa beraktivitas di dalam alun-alun asalkan dengan izin Keraton Yogyakarta. (Aris Eko Nugroho)
Dalam kesempatan sebelumnya, Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X juga mengatakan, pembangunan pagar itu untuk mengembalikan kondisi alun-alun seperti masa lalu. ”Untuk mengembalikan seperti yang dulu. Dulu, kan, alun-alun itu dipagari,” kata Sultan yang juga merupakan Gubernur DIY.
Dana hibah
Mengacu pada papan informasi di lokasi proyek, anggaran untuk pembangunan pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta sebesar Rp 2,319 miliar. Menurut Aris, anggaran tersebut berasal dari dana hibah Pemerintah Daerah DIY kepada Keraton Yogyakarta. Adapun sumber dana hibah itu adalah dana keistimewaan DIY yang dikucurkan pemerintah pusat untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan di provinsi tersebut.
Aris menjelaskan, karena anggarannya berasal dari dana hibah, lelang proyek pembangunan pagar itu dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Hal ini berbeda dengan sejumlah proyek lain yang didanai oleh dana keistimewaan DIY, tetapi tidak melalui mekanisme hibah. Dalam proyek yang tidak dibiayai oleh dana hibah, lelang biasanya dilakukan oleh pemda.
”Anggarannya itu, kan, hibah dana keistimewaan. Jadi yang melaksanakan dari keraton karena sudah merupakan hibah,” ujar Aris.
Baca juga : Ironi Upah Rendah dan Kemiskinan di ”Provinsi Istimewa”
Menurut Aris, proses lelang yang dilakukan Keraton Yogyakarta itu hampir sama dengan lelang yang dilakukan pemda. Keraton Yogyakarta juga sudah memiliki aturan tersendiri terkait proses lelang yang dilakukan. ”Yang menggelar lelang itu keraton. Di dalam keraton itu ada pedoman pengadaan barang dan jasa,” ujarnya.
Berdasarkan penelusuran Kompas, informasi mengenai lelang proyek pembangunan pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta tidak tercantum dalam situs web Layanan Pengadaan secara Elektronik (LPSE) DIY. Selama ini, lelang proyek yang dilakukan Pemda DIY selalu diumumkan secara terbuka di situs web LPSE DIY.
Informasi mengenai proyek pembangunan pagar tersebut hanya ditemui di papan informasi yang dipasang di sisi barat daya Alun-alun Utara Yogyakarta. Di papan itu terdapat lambang dan tulisan Keraton Yogyakarta beserta sejumlah informasi lain, seperti nama proyek, nomor kontrak, tanggal kontrak, nilai kontrak, waktu pelaksanaan, tahun anggaran, perusahaan pelaksana, serta perusahaan pengawas.
Dipertanyakan
Beberapa waktu sebelumnya, pembangunan pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta itu pernah dipertanyakan sejumlah pihak. Bahkan, sejumlah warganet membuat tagar #BebaskanAlunAlun di Twitter untuk memprotes pembangunan pagar itu.
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY Irsad Ade Irawan menilai pembangunan pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta tidak tepat. Dia berpendapat, anggaran untuk membangun pagar itu lebih baik dialihkan untuk memberi bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak pandemi Covid-19.
Apalagi, saat ini banyak warga DIY yang kehilangan penghasilan akibat pandemi Covid-19. Irsad memaparkan, berdasarkan data serikat buruh di DIY, ada sekitar 3.000 pekerja di DIY yang dirumahkan atau diberhentikan dari tempatnya bekerja karena dampak Covid-19.
”Anggaran untuk membangun pagar itu harusnya bisa direalokasikan untuk memberi bantuan jatah hidup bagi masyarakat yang terdampak Covid-19,” ujar Irsad.
Selain itu, Irsad mengingatkan, Alun-alun Utara Yogyakarta telah menjadi ruang publik untuk beragam aktivitas, termasuk menggelar aksi demonstrasi. Apalagi, pada masa lalu, Alun-alun Utara Yogyakarta juga menjadi tempat bagi rakyat untuk mengadukan persoalan kepada sang raja.
Pada masa lalu, rakyat yang ingin mengadu ke raja biasanya akan duduk di tengah Alun-alun Utara Yogyakarta hingga sang raja melihat dan memanggil. Tindakan semacam ini dikenal dengan nama tapa pepe.
”Kalau kita lihat ke belakang, selain menjadi ruang publik, alun-alun itu juga menjadi saluran demokrasi bagi warga dengan melakukan tapa pepe. Jadi, sangat disayangkan kalau alun-alun dipagari sehingga mengurangi akses masyarakat,” kata Irsad.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Bayu Dardias, mengatakan, pembangunan pagar itu jangan sampai membuat masyarakat sulit beraktivitas di Alun-alun Utara Yogyakarta. Dia menambahkan, di sejumlah kota lain, alun-alun memang dilengkapi pagar. Namun, pembangunan pagar di alun-alun beberapa kota lain itu justru membatasi akses masyarakat.
”Di tempat lain, alun-alun itu memang sudah dipagar. Namun, pemagaran itu justru mengurangi fungsi alun-alun karena akses masyarakat menjadi terbatas,” ungkap Bayu.
Bayu menyebut, lahan Alun-alun Utara Yogyakarta memang milik Keraton Yogyakarta. Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, Keraton Yogyakarta memang mempunyai hak milik atas tanah.
Namun, Bayu mengingatkan, UU Keistimewaan DIY juga mengamanatkan bahwa tanah milik Keraton Yogyakarta harus dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.
”Kalau kita lihat Undang-Undang Keistimewaan DIY, salah satu prinsip mengapa Keraton Yogyakarta diberi hak milik atas tanah itu, kan, untuk kepentingan sosial. Jadi, walaupun secara hukum lahan alun-alun itu milik keraton, hal itu tidak bisa mengurangi akses masyarakat untuk masuk dan menikmati alun-alun,” tutur Bayu.