Pembatik Yogyakarta dan Solo Tak Risau dengan Klaim Batik Berasal dari China
Munculnya klaim yang menyebut batik berasal dari China tak perlu ditanggapi secara berlebihan. Namun, munculnya klaim itu harus menjadi momentum agar pemerintah memberi perhatian lebih besar pada pengembangan batik.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sejumlah perajin dan pengusaha batik di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kota Solo, Jawa Tengah, tak merasa risau dengan klaim yang menyebutkan bahwa batik merupakan kerajinan yang berasal dari China. Hal ini karena batik asal Indonesia dinilai mempunyai sejumlah kelebihan dan telah dikenal secara luas di dunia internasional.
Tanggapan semacam itu antara lain disampaikan para pembatik di Kampung Batik Tulis Giriloyo, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
”Kalau ada klaim seperti itu, ya kita tidak perlu terlalu mempermasalahkannya. Barangkali, teknik membatik juga memang ada di China. Menurut saya, yang penting itu kita terus berkarya saja,” kata Ketua Paguyuban Batik Tulis Giriloyo Isnaini Muhtarom, Selasa (14/7/2020).
Klaim bahwa batik berasal dari China itu muncul dalam video yang diunggah di akun Twitter milik media asal China, Xinhua, Minggu (12/7/2020). Dalam video berdurasi 49 detik itu terlihat seorang perajin sedang membuat gambar pada selembar kain. Pada caption atau keterangan di dalam video itu disebutkan bahwa batik adalah kerajinan tradisional China.
Baca juga: Liputan Selisik Batik Kompas
Selain itu, disebutkan pula bahwa batik dikenal di kelompok etnis minoritas yang tinggal di wilayah Guizhou dan Yunan. Pernyataan itu lalu mendapat reaksi dari banyak pengguna Twitter, termasuk mereka yang berasal dari Indonesia. Hal ini karena batik telah diakui sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO).
Namun, pada Senin (13/7/2020), Xinhua akhirnya membuat ralat atas pernyataan di video tersebut. Dalam pernyataan pada Senin di akun Twitter-nya, Xinhua menyatakan, kerajinan cetak lilin Tiongkok kuno juga dikenal sebagai batik. Namun, Xinhua mengakui bahwa batik merupakan kata yang berasal dari Indonesia dan mengacu pada teknik pewarnaan tahan lilin yang dipraktikkan di banyak bagian di dunia.
Muhtarom menyatakan, ketekunan dan konsistensi untuk terus berkarya justru mampu mendorong eksistensi batik tulis asal Indonesia. Apalagi, pengerjaan batik tulis membutuhkan keterampilan khusus. Selain itu, batik tulis juga memiliki keunikan karena goresan lilin antara seorang perajin batik dan perajin lainnya berbeda-beda.
Baca juga: Perajin Batik Banyumas Mulai Produksi Masker Batik
Kondisi itulah yang membuat sepotong kain batik tulis yang sudah rampung penggarapannya sangat sulit diduplikasi secara persis. Sisi eksklusivitas tersebut membuat batik tulis menjadi kian bernilai.
Menurut Muhtarom, tantangan berat pengembangan batik tulis justru muncul dari banyaknya batik printing yang diproduksi dengan harga murah. Hal ini karena harga sepotong batik tulis relatif mahal, yakni Rp 500.000 hingga Rp 2.000.000. Adapun batik printing hanya dibanderol sekitar Rp 30.000 per meternya.
Muhtarom menambahkan, mahalnya harga sepotong kain batik tulis itu disebabkan oleh panjang dan rumitnya proses produksi yang harus dilalui. Dia menyebut, harga batik tulis akan semakin mahal jika motifnya semakin rumit karena penggambaran motif memerlukan keterampilan tinggi.
”Masyarakat perlu lebih diedukasi tentang nilai-nilai batik tulis. Harapannya nanti masyarakat bisa lebih menghargai batik tulis dan tidak menyamakannya dengan batik printing. Jika batik tulis sudah tidak ada pembelinya, otomatis kelak tidak akan ada yang membatik lagi,” kata Muhtarom.
Baca juga: Purwakarta Kembangkan Potensi Batik Khas
Meski demikian, Muhtarom meyakini, batik tulis masih akan terus diminati, khususnya oleh kalangan masyarakat yang tingkat perekonomiannya menengah ke atas. Hal ini karena sebagian konsumen sudah menyadari bahwa sepotong kain batik tulis tidak bisa dimaknai sebagai sekadar kain biasa. Kain batik tulis itu juga harus dilihat sebagai warisan budaya yang memerlukan proses panjang dan keterampilan tingkat tinggi dalam pembuatannya.
Hal serupa diungkapkan Ahmad Sunhaji (51), pemilik Batik Sunsang, yang juga menjadi bagian dari Kampung Batik Tulis Giriloyo. Menurut dia, batik tulis memiliki segmen pasar tersendiri. Para pembeli batik tulis pun tak terlalu keberatan dengan harga yang relatif tinggi.
“Memang ada penggemar-penggemar batik tulis. Mereka sudah tahu harganya lumayan mahal. Kalau suka, ya akan dibeli. Tetapi, memang ada kelompok masyarakat yang mencari batik murah dan sering menganggap batik tulis dan batik printing itu sama saja. Tentu, kelompok seperti itu akan selalu ada,” kata Sunhaji.
Kelebihan
Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, Solo, Alpha Febela Priyatmono, mengatakan, klaim bahwa batik berasal dari China itu tak perlu ditanggapi secara berlebihan. Alpha menuturkan, batik memang berkembang pesat di sejumlah wilayah Indonesia. Namun, dia menyebut, tidak menutup kemungkinan batik juga berkembang di negara lain.
”Jadi, kalau China mengklaim seperti itu, ya monggo saja. Itu mungkin batik khas China, sementara kita kan punya batik dengan karakter Indonesia," ujar Alpha.
Baca juga: Perajin Batik Pekalongan Percaya Diri Hadapi Klaim Negara Lain
Menurut Alpha, batik asal Indonesia memiliki sejumlah kelebihan. Salah satunya adalah adanya akulturasi batik dengan budaya lokal sehingga motif-motif batik Indonesia menjadi sangat unik. Namun, Alpha juga mengingatkan, proses pendaftaran hak cipta atau hak paten terhadap karya di Indonesia terkadang masih lemah.
”Masalahnya kan kadang-kadang kita lemah dalam pendaftaran hak cipta dan hak paten. Jadi, kadang-kadang kita punya produk budaya tapi kita enggak perhatian sehingga sudah dipatenkan pihak lain. Oleh karena itu, semoga pemerintah lebih perhatian pada masalah ini,” ungkap Alpha.
Masalahnya kan kadang-kadang kita lemah dalam pendaftaran hak cipta dan hak paten
Alpha memaparkan, dengan diakuinya batik sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO, pelestarian dan pengembangan batik di Indonesia harus terus dijalankan. Pelestarian dan pengembangan batik itu mencakup tiga bidang, yakni produksi, perdagangan, dan edukasi.
”Agar batik bisa tetap diakui UNESCO, minimal ada tiga hal, yakni produksi, perdagangan, dan edukasi. Edukasi ini juga penting agar batik bisa bertahan dan dilestarikan,” kata Alpha.
Pengurus Kampung Batik Kauman, Solo, Gunawan Setiawan, mengatakan, praktik membatik bisa jadi memang dikenal di sejumlah negara, bukan hanya Indonesia. Menyikapi kondisi itu, Gunawan mengatakan, Indonesia harus bisa menonjolkan ciri khas sehingga produk batik asal Nusantara bisa menarik perhatian dari dunia internasional.
”Batik itu kan teknologi tepat guna. Jadi, batik mungkin juga dikenal di kebudayaan di luar Indonesia. Jadi, untuk mengantisipasinya, ciri khas batik Indonesia dimunculkan saja,” ujarnya.
Menurut Gunawan, batik Indonesia memiliki ciri khas karena masing-masing motif yang ada memiliki nama, arti, dan bahkan filosofi. Selain itu, proses pembuatan batik di Indonesia juga menggunakan alat-alat yang khas. ”Sistem pewarnaannya juga khas, misalnya dengan dicelup dan menggunakan warna alam,” katanya.
Baca juga; Inovasi Parsel Batik Lengkap dengan Maskernya
Di sisi lain, Gunawan menambahkan, klaim batik oleh China itu juga harus menjadi momentum bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait memberi perhatian yang lebih besar pada pengembangan batik di Indonesia. ”Perhatian pemerintah pada batik memang sudah besar. Tapi harapannya bisa lebih besar karena ini kan membawa nama negara,” katanya.
Dampak pandemi
Perhatian terhadap para perajin dan pengusaha batik itu kian dibutuhkan pada masa pandemi Covid-19 seperti sekarang. Sebab, para pembatik juga terkena dampak ekonomi akibat penyebaran penyakit Covid-19. Kondisi semacam itu terjadi di Kampung Batik Tulis Giriloyo, Kampoeng Batik Laweyan, maupun Kampung Batik Kauman.
Muhtarom mengungkapkan, selama pandemi Covid-19, penjualan batik tulis di Giriloyo sangat lesu. Hal ini karena kunjungan wisatawan terhenti akibat pandemi sehingga kunjungan ke galeri yang berada di Kampung Batik Tulis Giriloyo menurun drastis.
Para anggota Paguyuban Batik Tulis Giriloyo juga bersepakat menutup sementara galeri milik bersama di dusun tersebut. Batik tulis yang sebelumnya dititipkan di galeri tersebut kemudian diambil para perajin.
”Batik-batik yang dititipkan galeri akhirnya dibawa pulang karena tidak ada aktivitas wisata. Daripada nanti batiknya rusak karena digigit tikus atau hal-hal lainnya,” ujar Muhtarom.
Muhtarom mengatakan, sejak sepekan terakhir, galeri bersama di Giriloyo mulai disiapkan untuk beroperasi kembali. Simulasi penerimaan wisatawan pun mulai dilakukan. Namun, hingga saat ini, pembukaan galeri itu belum dilakukan.
”Untuk mengharap kedatangan wisatawan seperti dulu juga masih jauh. Kan memang kebanyakan wisatawannya adalah siswa-siswa yang melakukan studi wisata. Beberapa orang juga sudah menanyakan kapan dibuka kembali. Tetapi, kami masih belum membuka. Kami masih latihan dan simulasi bagaimana menanggapi tamu,” kata Muhtarom.
Alpha menuturkan, sebagian besar toko dan usaha produksi batik di Kampoeng Batik Laweyan juga sempat berhenti beroperasi sementara pada masa awal pandemi Covid-19. Hal ini karena pembelian batik di Laweyan merosot drastis dan kunjungan wisatawan juga menurun. “Sebelum pandemi, kami sudah punya jadwal banyak sekali untuk wisatawan yang akan hadir. Tapi, ya tunda semua,” ujarnya.
Alpha mengatakan, selama beberapa hari terakhir, sejumlah toko batik di Kampoeng Batik Laweyan sudah mulai beroperasi kembali. Namun, tingkat penjualan belum kembali seperti sebelum pandemi Covid-19.
Kondisi serupa juga terjadi di Kampung Batik Kauman. Gunawan memaparkan, dari sekitar 40 toko batik di Kauman, sekitar 90 persennya tutup pada masa awal pandemi Covid-19. Sejak Mei 2020, sejumlah toko batik di Kauman mulai buka kembali.
Namun, beberapa hari terakhir, sejumlah toko batik di Kauman kembali tutup karena ada informasi peningkatan jumlah pasien positif Covid-19 di Solo. ”Akhir Mei itu sebenarnya sudah mulai ada tamu dari luar kota. Tapi minggu-minggu ini banyak yang tutup lagi,” ujar Gunawan.