Gubernur Kalteng Pastikan ”Food Estate” Hindari Pola Membakar oleh Masyarakat
Gubernur Kalimantan Tengah pastikan pengolahan kawasan ”food estate” atau program lumbung pangan dilakukan tanpa membakar. Itu dilakukan untuk menghindari dampak buruk lingkungan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Gubernur Kalimantan Tengah memastikan pengolahan kawasan food estate atau program lumbung pangan dilakukan tanpa membakar. Mulai dari pengolahan sampai proses produksi akan dilakukan dengan teknologi tepat guna agar tidak berdampak pada lingkungan.
Kalimantan Tengah dipilih untuk menjadi lumbung pangan nasional lewat program food estate. Program itu saat ini sudah berjalan selama dua minggu belakangan dengan perbaikan saluran irigasi dan tata kelola air di lokasi yang dipilih.
Tahun ini, pemerintah akan mengolah 30.160 hektar kawasan pertanian di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas di Kalimantan Tengah. Rinciannya, 10.160 hektar di Pulang Pisau yang sudah berupa sawah dan sisanya 20.000 hektar di Kapuas yang masih berupa rawa.
”Lewat program ini, petani yang tadinya memanen 2-3 ton (padi) saja per hektar akan ditingkatkan hingga 9 ton per hektar atau lebih,” kata Sugianto di sela-sela Rapat Koordinasi Percepatan Penanganan Covid-19 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Jumat (10/7/2020).
Sugianto menjelaskan, kekhawatiran akan rusaknya lahan gambut karena kebakaran justru akan terjawab melalui program tersebut. Ia memastikan semua proses pengolahan lahan tidak dengan cara membakar.
”Semakin mudah karena sebagian besar lahannya itu sudah digarap oleh petani selama bertahun-tahun belakangan,” kata Sugianto.
Lewat program ini, petani yang tadinya memanen 2-3 ton (padi) saja per hektar akan ditingkatkan hingga 9 ton per hektar atau lebih.
Sugianto menceritakan kembali perbincangannya dengan Presiden Joko Widodo sehari sebelumnya. Presiden bertanya kepada dirinya soal kesiapan lahan dan luas lahan potensial lainnya.
”Beliau tanya masih ada lahan lagi atau enggak, saya bilang siap. Apalagi ke depannya akan ditambah luas lahannya,” kata Sugianto.
Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas yang dipilih akan menyumbang lahan seluas 164.598 hektar lahan. Lahan yang sudah disiapkan adalah 85.456 hektar lahan intensifikasi atau lahan yang sudah dikelola masyarakat dan 79.142 hektar lahan potensial atau lahan yang selama ini terbengkalai.
Di Kapuas, tepatnya di Desa Bentuk Jaya yang dikunjungi Presiden dan beberapa menterinya, masih banyak lahan yang terbengkalai. Hal itu disebabkan berbagai faktor, seperti banjir dan kebakaran.
Berdasarkan pantauan Kompas, saluran irigasi bekas Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) tahun 1995 tidak berfungsi. Air tidak mengalir dan dipenuhi rumput liar.
Muhamad Bain (53), warga Desa Bentuk Jaya asal Semarang, mengungkapkan, kanal atau saluran irigasi itu dibuat sejak 1997 dan tidak berfungsi karena terdapat bendungan yang tak pernah selesai dibangun. Selain itu, ujung saluran sudah tertutup sampah.
”Ini sejak kami pindah (transmigrasi), saluran irigasinya sudah tidak berfungsi, tanahnya pun jadi tidak bisa digarap,” kata Bain.
Ia menjelaskan, sebagian besar wilayah A5, sebutan untuk desa itu pada skema proyek PLG, dulunya merupakan sawah. Namun, karena sering terbakar, kini hanya sedikit warga yang mengolah lahan menjadi sawah. Sisanya memilih pekerjaan lain.
Bain bersama hampir 200 keluarga merupakan transmigrasi dari Pulau Jawa ke Kalimantan Tengah pada 1985. Ia kini memiliki sawah yang tak lebih dari setengah hektar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya saja.
”Dahulu, saat masih rawa semua, tanah ini enggak bisa ditanami. Ini gambutnya ada yang lebih 1 meter, tetapi sekarang ini jauh lebih mudah nanam-nya karena sering terbakar,” kata Bain.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono menjelaskan, hingga kini belum ada kejelasan konsep pengolahan program lumbung pangan tersebut. Menurut dia, hingga kini peta lokasi sebenarnya belum pernah dibuka.
”Kami khawatir kalau pemerintah daerah sendiri belum mengetahui wilayah pastinya ada di mana, karena semuanya belum jelas,” kata Dimas.
Menurut Dimas, daripada membangun lumbung pangan di atas gambut, lebih baik pemerintah fokus pada alih fungsi izin konsesi bermasalah ke lahan pertanian. Ia yakin bahwa lahan yang selama ini dibicarakan berada di lahan gambut.
”Program untuk kedaulatan pangan ini tidak pernah membicarakan kedaulatan petani atas lahannya karena niat pemerintah untuk mendatangkan investor,” ujarnya.
Peneliti dari Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Universitas Palangka Raya (UPR), Kitso Kusin, mengungkapkan jika dirinya sudah beberapa kali melakukan penelitian di wilayah bekas PLG. Bahkan, salah satu wilayah yang dikunjunginya di Desa Bentuk Jaya, Kecamatan Dadahup, dan wilayah Lamunti. Kedua wilayah itu merupakan kawasan gambut dengan kedalaman beragam.
”Di kawasan itu jauh dari pasang-surut air sehingga dulu (1997) mereka menggunakan pompa air yang tentunya sangat mahal. Dengan konsep itu tidak mungkin masyarakat mampu, dan memilih meninggalkan lahan itu,” katanya.
Kitso menjelaskan, dirinya khawatir jika gambut dalam dibuka akan menjadi pusat kebakaran hutan dan lahan lagi. Padahal, selama ini pemerintah memiliki program restorasi gambut di lokasi tersebut. Oleh karena itu, adanya program food estate terkesan kontradiktif.
”Gambut tetap bisa diolah, tetapi harus memperhatikan ketebalannya. Kalau di bawah 1 meter, tidak masalah. Namun, kalau di atas itu, harus hati-hati, tidak hanya gagal, tetapi bencana,” tutur Kitso.