Kalbar Mulai Mengantisipasi Ancaman Kebakaran Lahan 2020
Provinsi Kalimantan Barat mulai mengantisipasi ancaman kebakaran lahan di 2020 meskipun kemarau diprediksi tidak sekering pada 2019.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Provinsi Kalimantan Barat mulai mengantisipasi ancaman kebakaran lahan di 2020 meskipun kemarau diprediksi tidak sekering 2019. Pencegahan diutamakan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Kalbar dalam proses menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan.
Wakil Gubernur Kalbar Ria Norsan, Selasa (30/6/2020) sore, menuturkan, pencegahan tetap diutamakan supaya tidak terjadi kebakaran lahan. Pencegahan di, antaranya, berupa sosialisasi kepada masyarakat, juga konsesi perkebunan, supaya tidak membuka lahan dengan cara membakar.
”Sosialisasi dilakukan melalui Manggala Agni dan kelompok masyarakat di desa-desa, misalnya desa peduli api. Dengan sosialisasi kepada masyarakat, mudah-mudahan pencegahan terealisasi,” ujar Norsan.
Norsan menuturkan, ada tiga bencana yang dihadapi daerah saat ini, yaitu pandemi Covid-19, banjir di beberapa wilayah Kalbar, dan persiapan antisipasi kebakaran lahan. Dari paparan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, pada 2020 kemarau tidak begitu panjang dan lebih lembab, tidak separah pada 2019. Hal ini setidaknya memberikan harapan bahwa kebakaran hutan bisa berpotensi lebih kecil dibandingkan pada tahun lalu.
”Selain itu, daerah juga sudah berpengalaman dalam kebakaran 2019. Antisipasi akan lebih baik. Anggaran juga memadai. Apalagi untuk kebakaran lahan selain dari APBD Kalbar, juga ada bantuan dari APBN biasanya,” ujar Norsan.
Pemerintah Provinsi Kalbar juga melanjutkan pendampingan kepada 67 kelompok masyarakat peduli api (MPA) dengan 1.300 personel oleh Manggala Agni. Kemudian membentuk 14 Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
Upaya lainnya juga sudah dilakukan, misalnya program restorasi gambut dengan membangun sekat kanal 71 unit, revitalisasi perekonomian 46 paket/desa dan pendampingan 28 desa peduli gambut.
Berdasarkan data Pemprov Kalbar, pada 2018 terdapat 11.993 titik panas. Sebanyak 11 unit helikopter dikerahkan untuk memadamkan api, dan menghabiskan 47,83 juta liter air. Pada 2019 jumlah titik panas meningkat menjadi 26.325 titik. Sembilan unit helikopter diturunkan untuk mengatasi kebakaran itu dengan menggelontorkan 62,97 juta liter air. Luas lahan yang terbakar pada 2018 68.313 hektar, sementara pada 2019 seluas 150.070 hektar.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalbar Lumano menuturkan, penetapan status siaga darurat kebakaran hutan sedang diusulkan kepada Gubernur Kalbar.
Penetapan status tersebut diproses karena sudah ada dua kabupaten yang menetapkan status Siaga, yakni Kubu Raya dan Ketapang. Penetapan siaga darurat tersebut kemungkinan ditetapkan sebelum minggu kedua di bulan Juli. Sebab, minggu kedua pada bulan Juli diperkirakan mulai kemarau meskipun tidak sekering pada 2019.
Jika sudah ada penetapan status siaga darurat, BPBD Kalbar bisa mengajukan bantuan peralatan modifikasi cuaca dan helikopter untuk patroli kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana. BPBD sudah meminta kabupaten/kota untuk melaksanakan patroli. Di Kalbar, ada 192 desa yang rawan kebakaran lahan yang tersebar di 14 kabupaten/kota.
Ancaman kebakaran
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Nikodemus Ale menuturkan, ancaman kabut asap akibat kebakaran lahan diperkirakan masih tinggi pada 2020. Hal itu berdasarkan pantauan Walhi di lapangan terhadap kinerja tiga korporasi dalam melaksanakan mandat restorasi gambut di wilayah konsesi setiap korporasi. Kemudian di area nonkonsesi ada kerusakan infrastruktur pembasahan gambut.
Setidaknya ada satu korporasi hutan tanaman industri di Mempawah dan dua korporasi perkebunan sawit di Kubu Raya tidak patuh dalam menjalankan arahan Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk merestorasi lahan gambutnya.
Ada sepuluh arahan restorasi gambut dari BRG, meliputi pembasahan kembali dengan penimbunan kanal, pembasahan kembali dengan pengelolaan tata air, dan pembasahan kembali dengan pemompaan air.
Kemudian revitalisasi (penanaman kembali) dan pengayaan tanaman budidaya, revegetasi/suksesi alami, revegetasi dengan pola maksimal (tanaman endemik), dan revegetasi dengan pengayaan (tanaman endemik). Selain itu, revitalisasi (pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal), perbaikan tata air, dan pembangunan infrastruktur pembasahan ekosistem gambut berbasis hak-hak penduduk lokal.
Berdasarkan pantauan Walhi Kalbar, korporasi yang dipantau tersebut tidak patuh melakukan restorasi. Tingkat ketidakpatuhan 80-89 persen. Ketidakpatuhan itu, misalnya, tidak ada pembasahan kembali lahan gambut dengan penimbunan kanal. Pembasahan kembali dengan pengelolaan tata air juga tidak dilakukan. Kalaupun ada pembasahan, asal-asalan.
Selain itu, Walhi juga menemukan kerusakan infrastruktur proyek pembasahan gambut di area nonkonsesi di dua desa di Kubu Raya. Hal itu terjadi akibat minimnya partisipasi penduduk dalam pemeliharaan akibat mengesampingkan partisipasi masyarakat. Sosialisasi oleh pihak ketiga hanya dilakukan satu kali dan sifatnya dihadiri perwakilan serta sulit dipahami masyarakat. Pengawasan dinilai lemah.
Walhi Kalbar meminta Presiden agar segera meminta klarifikasi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait tidak berjalannya mekanisme pengawasan pelaksanaan arahan restorasi gambut BRG di area konsesi. Selain itu membuka hasil proses klarifikasi kepada publik sehingga menjadi pengetahuan penduduk di wilayah gambut.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kalbar Adi Yani menuturkan, restorasi di area konsesi merupakan tanggung jawab setiap korporasi. Di area konsesi perusahaan ada kewajiban korporasi untuk membuat restorasi.
Untuk pemantauan pelaksanaan restorasi di area konsesi, dilakukan oleh KLHK. Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama BRG hanya memantau yang di luar konsesi. Kegiatan restorasi gambut sudah berjalan tiga tahun.
Terkait temuan Walhi Kalbar bahwa ada infrastruktur pembasahan gambut yang rusak karena minimnya keterlibatan masyarakat untuk merawat, Adi mengatakan, kemungkinan itu terjadi di tahun pertama. Setelah itu, selalu ada keterlibatan masyarakat. Sebab, masyarakat harus terlibat merawat infrastruktur dalam program restorasi gambut.