Program ”Food Estate” Hindari Areal Gambut Dalam untuk Padi
Proyek ”food estate” di Kalimantan Tengah tidak mengeksploitasi lahan dengan kandungan gambut dalam. Pemerintah mengklaim tidak akan membuka lahan baru, tetapi memanfaatkan lahan yang sudah ada dan terbengkalai.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Proyek food estate di Kalimantan Tengah tidak akan menggunakan areal gambut dalam untuk komoditas padi. Areal tersebut akan dikelola dengan menanam komoditas lainnya.
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Kalimantan Tengah Syamsuddin menjelaskan, proyek yang menjadi program strategis nasional itu bukan hanya menanam padi dengan mekanisme sawah, melainkan juga berbagai komoditas yang cocok untuk pertanian di lahan gambut lainnya.
”Untuk lahan gambut dengan ukuran di atas atau lebih dari 1 meter itu tidak akan dibuat sawah. Percuma juga karena tidak akan berhasil, pasti dicari komoditas hortikultura lainnya,” ujarSyamsuddin saat dihubungi dari Palangkaraya, Kamis (25/6/2020).
Untuk lahan gambut dengan ukuran di atas atau lebih dari 1 meter itu tidak akan dibuat sawah.
Menurut Syamsuddin, pihaknya masih belum bisa memastikan berapa luas lahan gambut dalam di area yang diusulkan dalam program ketahanan pangan tersebut. Salah satu yang ia yakini berada di lahan gambut dalam berada di kawasan blok C eks Proyek Lahan Gambut (PLG) tahun 1995.
Kawasan tersebut, kata Syamsuddin, sebagian besarnya sudah ditanami kelapa sawit oleh warga sekitar karena sebelumnya menjadi salah satu pusat kebakaran usai program PLG gagal pada puluhan tahun lalu.
”Kawasan yang mau dipakai sekarang itu sudah clear tak ada konsesi bukan di kawasan hutan juga,” ujar Syamsuddin.
Proyek food estate yang dimulai tahun ini merupakan program strategis nasional yang disiapkan untuk menguatkan ketahanan pangan selama pandemi Covid-19 di Indonesia yang belum mampu diprediksi puncak ataupun penurunan kasusnya. Proyek ini menggunakan lahan seluas 164.598 hektar atau hampir tiga kali luas DKI Jakarta.
Data dari Kementerian Pertanian, dari total luas lahan tersebut, terdapat 85.456 hektar lahan intensifikasi atau lahan yang sudah dikelola masyarakat dan 79.142 hektar merupakan lahan perluasan baru.
”Bukan membuka kawasan baru, tetapi itu kawasan yang sudah ditinggalkan. Dulu sejak PLG, kan, ada transmigrasi di sana, tetapi banyak yang pulang lagi karena berbagai faktor. Akhirnya, tanah yang diberikan kepada mereka terbengkalai,” ujar Syamsuddin.
Syamsuddin menjelaskan, lahan seluas 79.142 hektar merupakan kawasan gambut di bawah ataupun di atas 1 meter. Terdapat beberapa lahan bekas sawah yang sudah tidak digunakan lagi lantaran saluran irigasi yang tidak ada.
”Ini namanya lahan potensial bukan lahan baru seperti hutan atau rawa gambut yang kemudian dibuka baru. Jadi, untuk lahan potensial ini akan dilihat komoditas yang cocok apa,” kata Syamsuddin.
Syamsuddin menjelaskan, pihaknya saat ini masih melakukan verifikasi lapangan untuk mendapatkan data pasti soal luas lahan gambut ataupun tanah mineral. Data itu sangat penting mengingat beda karakteristik antara lahan gambut dan yang bukan gambut.
”Di atas kekhawatiran banyak orang, pengelolaan program ini akan menggunakan teknik pertanian modern yang semuanya dilakukan dengan basis kajian dan lain sebagainya,” ujarSyamsuddin.
Di Kalteng, penolakan terhadap proyek ini muncul dari berbagai kalangan. Salah satunya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng. Ketua AMAN Kalteng Ferdi Kurnianto menjelaskan, sawah bukan ciri khas pertanian suku Dayak, melainkan berladang dengan pola gilir balik. Melalui pola ini, peladang atau petani bisa menggarap kembali ladang yang sudah ditinggal lima atau tujuh tahun yang lalu milik warisan leluhur mereka.
”Kami tidak pernah membuat sawah dalam sejarah bertani. Maka dengan itu, asumsinya proyek ini akan mendatangkan banyak pekerja dari luar yang tidak memahami karakteristik gambut,” ujar Ferdi.
Ferdi menjelaskan, pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat atau komunitas adat setempat untuk mendapatkan persetujuan sesuai dengan standar free, prior, and informed consent (FPIC). Standar itu dikemukakan dalam deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak masyarakat dalam setiap proyek pembangunan dan investasi.
Kami tidak pernah membuat sawah dalam sejarah bertani.
”Akibat proyek PLG, puluhan tahun lalu saja masih menyisakan masalah (sosial dan lingkungan) yang belum usai. Jangan sampai proyek ini bernasib sama,” kata Ferdi.