Panen padi di masa tanam kedua tahun ini di Minahasa, Sulawesi Utara, yang dimulai di Kecamatan Kakas, diiringi serangan hama ulat. Keterbatasan pupuk juga mengancam pertumbuhan padi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MINAHASA, KOMPAS — Panen padi di masa tanam kedua tahun ini di Minahasa, Sulawesi Utara, yang dimulai di Kecamatan Kakas, diiringi serangan hama ulat. Para petani mengeluhkan ketiadaan bimbingan dari pemerintah untuk mengatasi hama tersebut. Di samping itu, keterbatasan pupuk urea juga dikhawatirkan menyebabkan pertumbuhan padi kerdil.
Hamparan padi di persawahan tadah hujan dekat Desa Sendangan, Kakas, tampak siap panen dengan bulir-bulir gabah yang telah menguning, Rabu (24/6/2020), sedangkan sebagian lainnya masih tampak hijau menanti masak. Padi dari beberapa petak telah digiling menjadi gabah kering panen (GKP).
Meski demikian, ditemukan pula bulir-bulir gabah yang kosong dan telah mengering. Berty M (54), salah satu petani penggarap, mengatakan, hal itu disebabkan hama ulat yang memakan isi batang padi. Ia menyebutnya mirip wereng, tetapi jenisnya baru.
”Saya sudah cari obatnya (pestisida), tapi tidak ada yang ampuh. Memang tidak bakal sampai gagal panen, tapi kami butuh arahan dari pemerintah untuk mengatasi hama ini. Bisa saja obat yang kami gunakan salah,” kata Berty.
Saat yang sama, masih ada hama lain sejenis kepik berwarna coklat, belum lagi tikus. Berty mengatakan, tak pernah ada penyuluh yang datang dari Balai Penyuluh Pertanian (BPP) di Kakas sejak tahun lalu untuk meninjau hama tersebut.
”Kami butuh konsultasi agar tidak sering gagal panen, tapi konsultasi itu tidak pernah ada,” kata Berty, yang mengelola 10 tektek (3,55 hektar, 1 tektek setara 0,355 hektar) sawah.
Sementara itu, Vicky (58), petani sekaligus pemilik lahan seluas 9 waleleng (3,19 hektar, 1 waleleng setara 0,035 hektar) sawah, mengeluhkan terbatasnya pupuk di toko-toko pertanian sekitar. Sekali musim panen, ia membutuhkan sekitar 250 kilogram pupuk urea dan NPK. Namun, pupuk sering kali habis diborong.
”Katanya sudah dibeli semua oleh kelompok tani. Kami curiga, pupuk diborong oleh anggota kelompok tani di desa yang ’berdasi’, namanya terdaftar di kelompok, tetapi tidak punya lahan. Biasanya mereka beli pupuk, kemudian jual lagi,” klaim Vicky. Vicky berharap pemerintah mengirimkan agen pupuk ke Kakas. Jika kebutuhan pupuk tak dipenuhi, Vicky khawatir, padi akan tumbuh kerdil dan panen tidak maksimal.
Di Kecamatan Kakas Barat, masa tanam baru saja dimulai dan sebagian padi telah mulai berbuah. Djonny Tagah (62), petani padi sawah di Desa Touliang, Kakas Barat, mengatakan, panen pertama sekitar pertengahan Agustus. Ia memperkirakan panen bisa maksimal karena hujan masih turun sehingga pengairan maksimal.
Di samping itu, Djonny mengatakan, perkembangan padi juga relatif bagus karena sangat jarang ditemui hama. ’Biasanya, kami diserang hama wereng, tetapi sekarang justru tidak ada. Menjelang panen ini, bagus semua,” kata Djonny, Kamis (25/6).
Menurut dia, penyuluh pertanian pun terus datang meskipun frekuensinya berkurang dari dua kali dalam seminggu menjadi sekali dalam dua minggu. Adapun ketersediaan pupuk terjamin karena agen pupuk terus beroperasi seperti biasa.
Pada 2019, Kabupaten Minahasa diperkirakan memiliki potensi lahan padi sawah seluas 7.570 hektar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, produksi gabah kering giling (GKG) yang dihasilkan sepanjang 2019 sebanyak 38.019 ton, turun 18 persen dari 55.912 ton tahun 2018. Adapun luas panen padi sawah se-Sulut pada 2019 mencapai 62.020 hektar dengan produksi 277.780 ton GKG.
Kami akan bantu dengan menyediakan bibit, pupuk, dan kebutuhan lainnya demi menjaga ketahanan pangan di Sulut.
Terkait hal ini, Kepala Bidang Pertanian Dinas Pertanian Minahasa Meyske Polii belum mendengar adanya hama jenis baru tersebut. Ia menyatakan akan menindaklanjuti laporan adanya hama ulat tersebut. ”Saya akan berkoordinasi lebih dulu dengan petugas pengamat hama,” katanya.
Sementara itu, Pemprov Sulut telah menganggarkan Rp 3,5 miliar dari dana penanggulangan Covid-19 sebesar Rp 191,5 miliar untuk dinas pertanian dan peternakan. Pekan lalu, Gubernur Sulut Olly Dondokambey menyatakan akan mendorong pemanfaatan sawah tadah hujan di Kakas Barat dan sekitarnya.
”Pemerintah bekerja sama dengan kelompok tani. Kami akan bantu dengan menyediakan bibit, pupuk, dan kebutuhan lainnya demi menjaga ketahanan pangan di Sulut,” kata Olly pekan lalu.
Olly juga mengajak masyarakat untuk memanfaatkan lahan tidur dengan menanam tanaman pangan dan sayuran. ”Kami dorong masyarakat untuk menyentuh tanah sehingga hasilnya akan maksimal dan kita akan merasakan secara langsung,” ujarnya.
Meski demikian, Meyske menyatakan, belum ada bantuan yang datang dari pemprov, baik berupa bibit maupun pupuk. Bantuan pupuk padi ladang yang telah dijanjikan belum turun. ”Saya masih mengurusnya di kantor bupati Minahasa,” kata Meyske.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Sulut Novly Wowiling mengatakan telah mengalokasikan bantuan berupa bibit dan pupuk. Namun, verifikasi di lapangan penting dilakukan. ”Petani sudah semakin mandiri sehingga pembagian bantuan harus tepat sasaran,” katanya.
Kalau garap 1 tektek saja, tidak sampai UMR (upah minimum regional) keuntungannya.
Saat ini, baru sebagian kecil lahan di Kakas yang panen. Vicky dan Berty belum dapat memperkirakan berapa banyak GKP ataupun GKG yang dihasilkan. Untuk saat ini, sekarung GKP 60 kg bisa dijual dengan harga Rp 380.000 atau sekitar Rp 6.300 per kg.
Meski demikian, Vicky memperkirakan, keuntungan petani tidak akan seberapa, hanya setara dua hingga tiga karung beras dari tiap waleleng (0,035 hektar). Sekitar Rp 1,5 juta telah dihabiskannya untuk membayar buruh panen selama dua hari saja, sedangkan sekitar Rp 2 juta untuk membajak sawah dan beli pupuk di awal masa tanam.
Berty mengatakan harus menggarap setidaknya 10 tektek demi mendapat untung. ”Kalau garap 1 tektek saja, tidak sampai UMR (upah minimum regional) keuntungannya,” ujarnya.
Adapun di Kakas Barat, Djonny mengatakan, harga jual beras di awal masa panen bisa mencapai Rp 11.600 per kg di tingkat petani. Memasuki panen raya, harga pun menurun menjadi Rp 9.600 per kg.
Menurut data BPS Sulut, nilai tukar petani pada Mei 2020 sebesar 97,85. Nilai ini terus turun dari Januari 2020 yang sebesar 99,27. Hal ini disebabkan deflasi 1,47 persen pada harga barang konsumsi rumah tangga.
Sepanjang 2020, Perum Bulog Divisi Regional Sulut Gorontalo telah membeli 2.350 ton beras dari petani. Harga pembelian pemerintah (HPP) GKP saat ini telah naik dari Rp 3.700 per kg menjadi Rp 4.070 per kg. Adapun HPP GKG 5.115 per kg dan beras Rp 8.030 per kg.
Kepala Perum Bulog Divre Sulut Eko Hari Kuncahyo pun menyatakan, petani diperbolehkan menjual gabah ataupun beras di pasar karena harga yang ditawarkan lebih baik ketimbang HPP. ”Kami tidak bisa memaksa petani menjual ke Bulog karena harga pasaran bisa Rp 9.000-Rp 10.000 per kg,” katanya.