Desa Wisata di Malang Tak Tergesa-gesa Sambut Normal Baru
Sejumlah desa wisata di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tidak ingin tergesa-gesa beroperasi kembali. Mereka masih menunggu kesiapan diri dan masyarakat sekitar terkait penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Setelah libur sekitar tiga bulan, sejumlah desa wisata di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tidak ingin tergesa-gesa beroperasi kembali. Mereka masih menunggu kesiapan diri dan masyarakat sekitar terkait penerapan protokol kesehatan agar keselamatan semua pihak bisa lebih terjaga.
Di Kabupaten Malang terdapat sedikitnya 18 desa wisata. Dari jumlah tersebut, tiga di antaranya telah mandiri dan 15 sisanya menuju ke arah mandiri. Dua desa wisata yang telah mandiri yakni Pujon Kidul di Kecamatan Pujon dan Gubug Klakah di Kecamatan Poncokusumo.
Kepala Desa Pujon Kidul Udi Hartoko, Selasa (23/6/2020), mengatakan, pihaknya baru berkomunikasi dengan sejumlah pihak. Menurut dia, untuk memulai kembali aktivitas pariwisata, butuh persiapan matang. Terlebih, status normal baru terkadang dimaknai berbeda oleh masyarakat.
”Jangan sampai terjadi seperti daerah lain. Pemahaman masyarakat soal new normal (normal baru), kan, sama dengan situasi sudah normal biasa. Padahal, tidak begitu. Di sektor pariwisata butuh persiapan matang sehingga jangan sampai desa wisata menjadi kluster baru Covid-19,” ujarnya.
Menurut Udi, pihaknya perlu memberikan edukasi terlebih dulu, baik bagi pelaku wisata maupun masyarakat pendukung wisata. Edukasi mencakup bagaimana bisa memenuhi protokol kesehatan yang menjadi pedoman pembukaan tempat wisata di era normal baru.
”Ini barusan komunikasi-komunikasi. Minggu ini kita akan ngumpul. Hingga saat ini, kami belum beroperasi sama sekali karena kita melihat perkembangan penyebaran virus di Jawa Timur dan Malang Raya masih terjadi,” katanya.
Desa Wisata Pujon Kidul memiliki obyek wisata andalan berupa tempat kuliner berupa ”kafe sawah” yang memiliki suasana latar mendukung untuk berfoto-foto. Obyek ini menarik sedikitnya 700 tenaga kerja dari desa setempat dengan omzet Rp 13 miliar lebih pada tahun 2018.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang Made Arya Dewanthara mengatakan, ada beberapa desa yang belum berani membuka kembali obyek wisata terlalu dini meski pihaknya sebenarnya berharap mereka siap secepatnya dengan pertimbangan kondisi ekonomi masyakarat yang lesu selama pandemi ini.
Made mengatakan, masyarakat di desa wisata setempat belum siap untuk menerima kunjungan. ”Belum ada desa wisata yang mengajukan. Kami masih menunggu pengajuan karena hasil rapat dengan teman-teman pengelola, SOP (standar operasional prosedur) juga sudah kita sepakati,” katanya.
Untuk bisa beroperasi kembali, menurut Made, pengelola desa wisata harus mengajukan surat ke bupati. Setelah itu, tim Satuan Tugas Covid-19 akan turun mengecek terkait protokol kesehatan. Setelah semua sesuai, baru desa wisata mendapatkan rekomendasi dari dinas pariwisata dan kebudayaan untuk beroperasi kembali.
Operasi dilakukan dengan pembatasan-pembatasan ketat. Salah satunya jumlah pengunjung yang dibatasi hanya 50 persen dari biasanya.
Sementara itu, Ekowisata Boon Pring Andeman di Desa Sanankerto, Kecamatan Turen, telah aktif lagi sejak pekan lalu. Namun, operasi dilakukan dengan pembatasan-pembatasan ketat. Salah satunya jumlah pengunjung yang dibatasi hanya 50 persen dari biasanya.
Kepala Desa Sanankerto M Subur mengatakan, wisatawan sulit dibendung. Begitu masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Malang Raya berakhir 31 Mei lalu, wisatawan sudah ada yang datang ke Boon Pring. Padahal, saat itu lokasi wisata masih tutup.
”Kami buka wisata sesuai protokol Covid-19. Begitu turun dari kendaraan, mereka (pengunjung) melewati cek suhu tubuh lalu masuk ke loket. Setelah itu, cuci tangan di pintu masuk pemeriksaan tiket dan wajib bermasker. Kalau tidak memakai masker, panitia sudah menyiapkan masker yang bisa dibeli di lokasi,” ujar Subur.
Boon Pring merupakan ekowisata berupa hutan bambu dengan luas 36,8 hektar. Di dalamnya terdapat 72 varietas bambu lengkap dengan sumber air sehingga suasananya asri.
Jika pada akhir pekan biasa jumlah pengunjung bisa mencapai 2.000 orang per hari, saat ini hanya setengahnya. Begitu pula pada hari biasa dibatasi hanya 500 pengunjung. Pihak desa juga menerjunkan aparat keamanan untuk berjaga di lokasi dan mengingatkan pengunjung.