Motor ”Trail” dan Jejak Ruwatan Bocah Gimbal Dieng
Tradisi ruwatan cukur rambut gimbal di Dieng merupakan warisan budaya turun-temurun dari leluhur. Selain untuk memohon keselamatan, ruwatan ini juga menjadi sarana memperkuat identitas sosial dan solidaritas.

Hafizul Aksa (6) menjalani cukur rambut gimbal di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (17/6/2020) malam.
Puluhan orang duduk bersila, berimpitan di rumah Tuarno (34), dalam dinginnya malam di Dataran Tinggi Dieng. Tumpeng, ingkung ayam, rokok, hingga kembang mawar tertata rapi di meja. Wangi kemenyan bakar semerbak memenuhi ruang, menyambut upacara cukur rambut gimbal si ”bocah bajang”.
Hafizul Aksa, bocah laki-laki enam tahun, menunduk pasrah, sedikit mengantuk di pangkuan Tuarno, sang ayah. Di belakangnya, terparkir gagah motor trail warna dominan merah berpadu putih. Permintaan langsung Aksa yang dibeli gres sepekan lalu.
”Atas kemauan anak saya, ia minta dicukur pas mau masuk kelas I SD. Sejak kecil, ia minta motor trail. Karena permintaan anak gimbal, ya harus dipenuhi. Kalau tidak nanti tumbuh lagi,” kata Tuarno yang sehari-hari bekerja sebagai petani kentang, di rumahnya di Desa Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (17/6/2020) malam.
Lantunan doa dan salawat kian kencang didaraskan para tamu mengiringi tradisi yang sudah berumur ratusan tahun itu. Samin (50), sang kakek, menyentuh dahi Aksa sambil merapal doa dalam hati. Ia mengambil gunting lalu mencukur tipis rambut gembel atau gimbal di kepala Aksa yang telah tumbuh sejak usia dua tahun.
Aksa tak menangis. Meski sesekali menguap dan mengucek mata, raut gembira jelas terpancar dari mukanya di tengah kehadiran banyak orang, termasuk teman-teman sebaya.
Baca juga : Ritual Potong Rambut Gimbal di Dieng

Hafizul Aksa (6) meminta motor trail sebagai syarat dalam pencukuran rambut gimbal di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (17/6/2020) malam.
Ritual selanjutnya dipimpin tokoh agama setempat. Doa serta permohonan keselamatan dilambungkan agar sang anak dan keluarganya terbebas dari malapetaka.
Kemudian, secara simbolis, sejumlah sesepuh, termasuk Kepala Desa Dieng Kulon Slamet Budiono, memotong tipis rambut gimbal Aksa secara bergantian. Sebagai puncak acara, rambut gimbal yang sudah keras mengepal hingga sepanjang 20 sentimeter dan lebar 10 sentimeter itu dicukur oleh Tuarno hingga tuntas.
Untuk menuruti keinginan Aksa, Tuarno bersama keluarga besarnya bekerja keras mengumpulkan uang hingga sekitar Rp 30 juta.
Tuarno lega melihat keceriaan Aksa selepas rambut gimbalnya habis dicukur. Si bocah langsung menghampiri motor barunya itu lalu minta naik di atas joknya. Untuk menuruti keinginan Aksa, Tuarno bersama keluarga besarnya bekerja keras mengumpulkan uang hingga sekitar Rp 30 juta.
Menurut dia, sang anak sebenarnya belum pernah melihat wujud motor trail. Lagi pula tetangga sekitar juga tidak ada yang memilikinya. ”Keinginan itu terungkap secara spontan,” ujar Tuarno.
Sambil menaiki motor barunya, Aksa mengaku senang keinginannya sudah terwujud. ”Senang. (Minta) trail. (Buat) dolan,” kata Aksa.
Baca juga : Embun Beku Dieng Jadi Daya Tarik Pengunjung

Rambut gimbal Hafizul Aksa (6) yang baru saja dicukur di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (17/6/2020) malam.
Anak berambut gimbal hingga kini masih menjadi keunikan budaya di Dataran Tinggi Dieng yang berada setinggi lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Keberadaannya berkelindan dengan sejumlah kisah dan mitos yang tak semua bisa dinalar.
Samin mengenang, menjelang tumbuhnya rambut gimbal di kepala, Aksa sering demam dan rewel. Sebulan sekali, ia dibawa berobat ke bidan atau dokter terdekat. Samin yang merupakan kakek Aksa dari garis ibu menambahkan, tidak hanya demam, tapi Aksa juga kerap kejang.
Warga setempat meyakini bahwa anak berambut gimbal merupakan titipan leluhur. Selain itu, secara genetik, lanjut Samin, ibunda Aksa, yaitu Mualimah (28), serta simbah buyut Aksa juga berambut gimbal.
”Dulu permintaan mereka, misalnya, ayam satu ekor, ada juga yang minta bebek satu ekor, atau juga kambing satu ekor. Sekarang mintanya motor trail,” tutur Samin.
Mitos
Arsip Kompas (22/2/2005) yang ditulis Hindaryoen NTS menyebutkan, ada sejumlah versi kisah tentang anak berambut gimbal atau gembel. Di antaranya, berawal dari keyakinan bahwa malam 1 Suro merupakan malam sakral dan diyakini sedang berlangsung hajatan besar, pernikahan pasangan keturunan tokoh supranatural, Nyi Roro Kidul dan Kiai Kaladete ”penguasa” Telaga Balekambang di Dieng. Sebagian warga setempat juga yakin telaga itu merupakan istana kediaman Kiai Kaladete.
Tokoh spiritual Dieng Rusmanto (56) saat itu menyebutkan, pada malam hari di telaga tampak seperti ada tarian obor. Ini merupakan pertanda di sana sedang terjadi perhelatan besar. Peristiwa sakral, menurut dia, terjadi setiap malam 1 Suro di penanggalan Jawa. Tarian obor yang berlangsung sampai menjelang pagi itu merupakan sambutan bagi tamu dan sekaligus merupakan wujud kegembiraan komunitas kedua penguasa gaib itu.
Konon, menurut keyakinan sebagian warga Dieng, pada upacara ritual nan sakral itu, kedua tokoh supranatural tersebut membagi-bagikan berkahnya lewat anak berambut gembel. Berangkat dari keyakinan itu, komunitas masyarakat magis religius di Dieng, yang merasa ketitipan anak berambut gembel, berupaya menggelar upacara ritual ruwatan. Mereka berharap titipan itu diambil lagi oleh tokoh supranatural yang menguasai daerah itu.

Hafizul Aksa (6) berdoa sebelum rambut gimbalnya dicukur di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (17/6/2020) malam.
Adapun Kaladete adalah tokoh spiritual yang berpengaruh dalam kehidupan sebagian warga di Dataran Tinggi Dieng. Penduduk setempat menganggap Kiai Kaladete adalah nenek moyangnya. Namun, tentang asal muasal si anak berambut gembel masih simpang siur. Ada yang memercayai anak rambut gembel sebenarnya dipengaruhi faktor keturunan.
Namun, dari mitos yang tumbuh, konon sebelum berpulang ke Rahmatullah, Kiai Kaladete berpesan agar keturunannya ikut membantu menghadapi gangguan yang belum dapat diselesaikan. Kiai itu mewariskan rambut gembel kepada keturunannya.
Mitos lain menyebutkan, anak berambut gembel merupakan kesayangan dan titipan dari penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul. Anak berambut gembel itu yang diyakini menjadi penari saat berlangsung perhelatan akbar pada malam 1 Suro di Telaga Balekambang.
Bocah seperti ini biasanya mendapat perhatian lebih. Anak bajang punya sifat dan karakter yang berbeda dengan anak pada umumnya. Namun, ia biasanya nakal.
Akan tetapi, sebagian komunitas masyarakat di Dieng ada yang mempunyai keyakinan lain, berbeda dengan dua mitos sebelumnya. Mereka meyakini, di kawasan Dieng ada sebuah desa di mana hidup keturunan dari bangsawan Kerajaan Kalingga—sebuah Kerajaan Hindu pada abad VI—yang pernah berdiri di Dieng. Oleh masyarakat Dieng, mereka disebut keling. Desa itu, yang dinamai Siterus, merupakan wilayah Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.
Masih terkait cerita itu, apabila ada anak yang berambut gembel, ia dianggap titisan keling. Anggapan ini menjadi semakin dipercaya lantaran anak itu semakin jarang dijumpai di kawasan Dieng. Penduduk setempat menyebutnya sebagai anak bajang. Selain dipercaya sebagai titisan orang keling, ia juga menjadi anak kesayangan ”dayang” yang ”menghuni” kawasan Dieng.
Karena itu, bocah seperti ini biasanya mendapat perhatian lebih. Anak bajang punya sifat dan karakter yang berbeda dengan anak pada umumnya. Namun, ia biasanya nakal.
Baca juga : Arca Purbakala Berserak di Lahan Kentang

Para sesepuh dan orangtua mencukur rambut gimbal Hafizul Aksa (6) di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (17/6/2020) malam.
Komunikasi tradisional
Pengajar pada Jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Chusmeru, mengatakan, tradisi cukur rambut gimbal merupakan bentuk dari komunikasi tradisional dan juga komunikasi transendental. ”Tradisi itu bentuk komunikasi tradisional dan trensendental atau gaib sehingga sulit dijelaskan secara rasional,” tuturnya.
Sejumlah bentuk sesajen yang disiapkan dalam tradisi ini—misalnya meliputi bunga mawar merah dan mawar putih, rokok, kemenyan, serta bucu kalung, yaitu tumpeng nasi yang dilingkari daging kelapa dan ingkung ayam—menjadi persembahan bagi leluhur.
Meski peradaban sudah berkembang, sebagian warga di Dieng bisa dikategorikan sebagai masyarakat tradisional yang memiliki nilai dan norma budaya yang khas.
Dalam komunikasi tradisional, lanjut Chusmeru, tradisi ini mengandung unsur adanya masyarakat tradisional yang melakukan komunikasi dengan media komunikasi tradisional. Meski peradaban sudah berkembang, sebagian warga di Dieng bisa dikategorikan sebagai masyarakat tradisional yang memiliki nilai dan norma budaya yang khas.
”Sepanjang mereka masih percaya nilai-nilai dan norma tradisi, mereka bisa dikategorikan sebagai masyarakat tradisional,” papar Chusmeru.

Hafizul Aksa (6), bocah laki-laki berambut gimbal, menjalani ruwatan cukur rambut gimbal di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (17/6/2020).
Media komunikasi tradisional, menurut Chusmeru, antara lain terwujud dalam interaksi interpersonal melalui kegotongroyongan serta adanya tokoh masyarakat atau agama yang menjadi sumber pemberi informasi. Tradisi ini tentu dilakukan atas restu tokoh setempat. Pola komunikasi semacam ini patut dipertahankan di tengah perkembangan teknologi komunikasi modern.
Dalam konteks masa kini, saat dimaknai dari prespektif tradisional dan antarbudaya, kata Chusmeru, ritual ruwatan ini memperteguh dan menguatkan identitas sosial masyarakat. Selain itu, hubungan sosial antarwarga juga semakin kuat.
”Secara sosiologis ikatan kekerabatan di masyarakat masih kuat. Konsekuensinya pada solidaritas sosial. Keguyuban makin kuat, maka solidaritas sosial makin kuat. Tandanya, masyarakat mudah mengulurkan tangan kepada sesama jika ada yang membutuhkan,” paparnya.
Baca juga : Minus Tujuh Derajat Celsius di Dieng

Sebelas anak menjalani ritual ruwatan pemotongan rambut gimbal di kompleks Candi Arjuna, Datarang Tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, Minggu (4/8/2019). Prosesi potong rambut ini merupakan salah satu bagian dari Dieng Culture Festival yang berlangsung sejak Jumat.
Potret keguyuban warga ini juga tampak seusai acara mencukur rambut gimbal di rumah Tuarno. Setelah sejenak berudar rasa, sebagian warga pamit pulang sambil membawa bingkisan berisi nasi dengan lauk-pauknya serta camilan ringan.
Sementara sebagian kerabat dan keluarga masih bercengkerama di rumah Tuarno sembari menikmati hidangan makan malam berupa ingkung ayam, tumpeng nasi putih dan kuning lengkap dengan sambal goreng kentang dan semur daging sapi.
Tradisi ruwat cukur rambut gimbal ini setidaknya 10 tahun terakhir biasa dikemas dalam rangkaian ajang pariwisata Dieng Culture Festival.
Sukacita keluarga Tuarno terpancar dari gelak tawa dan kehangatan bersama kerabat atas selesainya ritual malam itu dengan lancar. Sementara potongan rambut gimbal selanjutnya akan dilarung ke Telaga Balekambang sembari diiringi permohonan kepada Yang Mahakuasa.
”Mudah-mudahan Aksa jadi orang beriman, berguna bagi bangsa, agama, dan negara. Bisa sekolah yang tinggi,” kata Sudiyono (63), kakek Aksa dan juga ayah Tuarno.
Tradisi ruwat cukur rambut gimbal ini setidaknya 10 tahun terakhir biasa dikemas dalam rangkaian ajang pariwisata Dieng Culture Festival. Namun, karena pandemi Covid-19, pergelaran festival pada 2020 ini ditiadakan. Dalam pergelaran festival, bocah gembel yang dicukur rambutnya biasanya lebih dari dua anak.
Bertautan dengan mitos dan keyakinan warga setempat, ruwatan cukur bocah gembel menjadi salah satu warisan budaya lokal yang terus langgeng. Sebuah simbol kultural peradaban Jawa yang tersimpan di balik kabut Dieng.

Kabut menyelimuti Candi Arjuna dan permukiman warga di Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, Sabtu (4/8/2018).