Stigma yang Membuat Warga Merana
Jika ada yang menyebut fitnah lebih kejam dari pembunuhan, stigma dan hoaks pada masa pandemi Covid-19 saat ini juga bisa memberikan dampak buruk yang mengerikan bagi orang lain.
Lahir dan tinggal sebagai warga Desa Krincing, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Diah Fibriani (31) tidak pernah menyangka identitas asalnya akan menimbulkan masalah. Namun, tak dapat ditolak, kasus Covid-19 yang muncul bertubi-tubi di desanya membuat dia serasa menanggung aib buruk dan stigma sebagai warga pembawa penyakit bahaya bagi lingkungan di sekitarnya.
Sejak April lalu hingga sekarang, sekitar 40 warga Desa Krincing dinyatakan positif Covid-19. Tiga orang di antaranya sembuh dan pulang ke rumah, sementara satu orang meninggal.
Baca juga: Desa-desa di Magelang Belum Siap Terapkan Normal Baru
Desa Krincing berada di wilayah utara Kabupaten Magelang, berbatasan dengan Kabupaten Temanggung. Separuh lebih kasus Covid-19 di sana dipicu dari kluster Ijtima Ulama di Gowa, Sulawesi Selatan.
Kenyataan kondisi Covid-19 itu kini membuat Diah Fibriani, yang dua tahun ini menekuni bisnis kuliner dan produk kecantikan berbasis daring, sulit bergerak. Selain karena penjagaan ketat di jalan-jalan masuk ke sejumlah desa lain, ia tidak bisa lagi mengantarkan barang ke pelanggan karena siapa pun dari Desa Krincing dilarang masuk ke desa lain, dengan alasan dianggap sebagai pembawa virus.
Saya tetap ditolak mentah-mentah.
Suatu kali, dia pernah mencoba bersikeras masuk, dengan terlebih dahulu menjelaskan bahwa kasus yang muncul di Desa Krincing hanya ada di satu dusun, sedangkan dia tinggal di luar dusun tersebut. Dia juga menerangkan kondisi di desanya sudah ”bersih” karena semua yang sakit telah dirawat di rumah sakit dan warga yang tinggal di rumah sudah menjalani tes cepat.
Hasil tes semua warga yang tinggal di rumah, termasuk Diah, dinyatakan nonreaktif. Namun, penjelasan tersebut tetap tidak bisa diterima.
”Saya tetap ditolak mentah-mentah. Ayam goreng yang dipesan pelanggan tidak bisa diantarkan sehingga akhirnya terpaksa kembali dibawa pulang dan saya makan sendiri di rumah,” ujarnya sedih.
Baca juga: Kepercayaan Publik, Syarat Menuju Normal Baru
Di luar masalah usaha, Diah pun mengaku kesulitan menjalani aktivitas keseharian lain, termasuk saat akan merayakan Lebaran. Berkeinginan sekadar mampir sebentar ke rumah salah seorang kerabat di Kota Magelang, niat itu terpaksa diurungkan karena jauh-jauh hari sebelumnya, kerabat yang akan dikunjungi juga sudah menolak dengan mempersoalkan asal tempat tinggalnya di Desa Krincing.
”Karena di Desa Krincing sedang banyak kasus Covid-19, saya diminta menahan diri. Kerabat meminta supaya sementara ini saya tidak perlu bertemu dengan dia,” ujarnya.
Perlakuan berbeda juga diterima Diah saat berbelanja di pasar di Kecamatan Secang atau Grabag. Banyak pedagang yang kini lebih siaga dan acap kali bertanya tentang asal dari pembelinya. Biasanya para pedagang akan langsung mengubah sikap saat mengetahui calon pembelinya berasal dari Desa Krincing.
Baca juga: Warga Tak Bermasker di Purbalingga Kena Sanksi Karantina
”Setelah mengetahui saya dari Desa Krincing, pedagang itu biasanya akan meminta saya mencuci tangan atau membersihkannya dengan hand sanitizer. Setelah itu, mereka pun meminta agar uang yang saya berikan dimasukkan dalam plastik lebih dahulu,” kata Diah.
Perlakuan tidak adil juga diterima warga Desa Krincing lainnya, Rizky Hardiyanti (27). Berita tentang kasus Covid-19 yang berulang kali bermunculan di desanya berdampak pada situasi kerja yang dia alami di sebuah pabrik kayu lapis di Temanggung.
Baru enam bulan bekerja, pihak pabrik tiba-tiba merumahkan Rizky. Hal serupa dialami rekan-rekannya, sesama pekerja pabrik yang juga warga Desa Krincing. ”Kami sama sekali tidak mendapatkan gaji dan belum mendapatkan kejelasan kapan bisa bekerja kembali,” ujarnya.
Alasan merumahkan Rizky hanyalah semata karena daerah asal dan tempat tinggalnya yang berada di Desa Krincing. Hal itu disampaikan oleh atasannya langsung. Rizky sempat berkelit bahwa dirinya tidak tinggal tepat di dalam desa karena lokasinya berada di jalan raya Magelang-Semarang. Namun, alasan itu tetap tidak bisa diterima.
”Pihak pabrik tidak mau menerima alasan apa pun. Identitas saya sebagai warga Desa Krincing sudah dianggap cukup sebagai alasan untuk merumahkan, menjauhkan saya dari lingkungan pabrik dan karyawan lain,” ujarnya.
Merugikan
Kepala Desa Krincing Heri Purwanto mengatakan, perlakuan diskriminatif tersebut sungguh merugikan karena membuat sebagian warganya kini tidak lagi menjalankan aktivitas bekerja dan mendapatkan penghasilan. Meski sudah menunjukkan surat keterangan hasil tes nonreaktif, tetap saja warga menerima perlakuan diskriminatif.
”Masalah ekonomi warga yang tidak bisa bekerja tak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah desa. Kami tidak mungkin menalangi semua kebutuhan warga karena keuangan desa terbatas,” ujarnya.
Tidak hanya stigma. Berita kasus Covid-19 yang kemudian dibumbui hingga menjadi berita hoaks juga merepotkan warga.
Sebagian warga Desa Krincing memang menerima sejumlah bantuan sosial. Namun, bantuan itu belum cukup efektif karena tidak menyentuh semua warga yang terdampak Covid-19 dan hanya diterima dalam jangka waktu tertentu.
”Yang paling dibutuhkan masyarakat sebenarnya bukan bantuan, melainkan kesempatan untuk bisa kembali bekerja dan mendapatkan penghasilan,” ujarnya.
Perlakuan diskriminatif yang diterima warga desa pernah dimintakan solusi dan pendampingan ke Pemerintah Kabupaten Magelang, tetapi hingga kini belum direspons.
Tidak hanya stigma. Berita kasus Covid-19 yang kemudian dibumbui hingga menjadi berita hoaks juga merepotkan warga. Salah satunya dirasakan Rino Kurniawan (29), warga Kampung Menowo, Kelurahan Kedungsari, Kota Magelang.
Berita tentang kematian salah seorang tetangganya karena Covid-19, Maret lalu, membuat suasana makin mencekam. Beredar hoaks, pasien tersebut dianggap sebagai kematian biasa, kantong jenazah dibuka dan jasad almarhum dimandikan.
Berdasarkan rekomendasi dari rumah sakit, Rino yang berkunjung ke rumah pasien positif Covid-19 menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. Hal itu membuat panik perusahaan tempat dia bekerja, hingga tiap hari ditelepon, menanyakan kondisi kesehatannya. Saat akan kembali bekerja, Rino diwajibkan membawa surat keterangan sehat dari rumah sakit.
Tangguh (37), warga Kampung Menowo lainnya, mengaku diminta keterangan oleh kantor tempatnya bekerja terkait tetangganya yang meninggal karena Covid-19. Namun, karena dia menegaskan bahwa dirinya tidak menghadiri acara pemakaman, dan didukung oleh kondisi kesehatannya yang terpantau baik, Tangguh tetap diizinkan bekerja tanpa harus terlebih dahulu mengisolasi diri selama 14 hari.
Tidak perlu bereaksi berlebihan. Cukup dengan mengingat dan menjalankan perilaku sesuai protokol kesehatan.
Sekretaris Daerah Kota Magelang Joko Budiyono mengimbau warga untuk selalu bersikap tenang dan tidak bereaksi berlebihan saat berada di sekitar pasien ataupun berada di lingkungan tempat terjadi kasus Covid-19. ”Tidak perlu bereaksi berlebihan. Cukup dengan mengingat dan menjalankan perilaku sesuai protokol kesehatan, kondisi kesehatan kita akan aman dari risiko tertular,” ujarnya.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Magelang Nanda Cahyadi Pribadi mengatakan, sejak kemunculan kasus Covid-19, pihaknya selalu menyosialisasikan pentingnya kesadaran warga untuk saling peduli terhadap tetangga dan lingkungan sekitarnya, serta tidak mengucilkan pasien Covid-19, berikut keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Jika ada yang menyebut fitnah lebih kejam dari pembunuhan, stigma dan hoaks pada masa pandemi Covid-19 saat ini juga bisa memberikan dampak buruk yang mengerikan bagi orang lain. Bahkan, mungkin juga berdampak lebih dahsyat ketimbang penyakit tersebut.