Menteri Edhy: Penggunaan Cantrang Tidak Akan Abaikan Lingkungan
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjamin penggunaan cantrang akan diregulasi ketat demi meningkatkan kinerja sektor perikanan tangkap sekaligus mempertahankan asas perikanan berkelanjutan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjamin penggunaan cantrang akan diregulasi ketat demi meningkatkan kinerja sektor perikanan tangkap sekaligus mempertahankan asas perikanan berkelanjutan. Pada saat yang sama, sekitar 4.000 izin penangkapan ikan telah dikeluarkan dan diharapkan terus bertambah.
Hal ini diungkapkan Edhy ketika bertandang ke Manado, Sulawesi Utara, Jumat (12/6/2020). Setelah singgah di Sulawesi Barat, Tengah, dan Gorontalo, Edhy mengakhiri kunjungan kerja lima hari di Sulawesi dalam keseruan menaiki motor jet ski dari Amurang, Minahasa Selatan, menuju Pelabuhan Perikanan Tumumpa, Manado. Ikut dalam rombongan, anggota forum komunikasi pimpinan daerah Sulut.
Mengulang janjinya dalam kunjungan ke Sulut, Februari lalu, Edhy berjanji akan menghidupkan kembali industri perikanan di Bitung dan seluruh kawasan pesisir Sulut. ”Industri bernilai ratusan triliun rupiah di Bitung sudah lama mangkrak. Hanya perlu satu izin, yaitu penangkapan ikan,” katanya.
Bitung memiliki 59 pengolahan ikan dengan kapasitas produksi 1.440 ton per hari yang pasokannya dipenuhi 2.000 kapal. Namun, penggunaan unit-unit pengolahan berkurang drastis dari 50,6 persen (728,6 ton) pada 2014 menjadi sekitar 20 persen (288 ton) pada awal 2020 karena moratorium penerbitan izin penangkapan ikan.
Edhy mengatakan, 4.000 izin perikanan sudah diterbitkan bagi kapal-kapal di bawah ataupun di atas 30 gros ton (GT) secara daring. Para nelayan pun didorong segera mengajukan izin penangkapan ikan atas nama kelompok atau secara kolektif melalui kepala dinas kelautan dan perikanan daerah. Pembuatan izin bagi kapal 10 GT ke bawah akan digratiskan agar bisa langsung melaut.
Pada saat yang sama, timbul kekhawatiran berkembangnya penangkapan ikan berlebihan. Apalagi, alat tangkap yang dianggap destruktif, seperti cantrang dan pukat hela, akan diperbolehkan setelah Permen KP No 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI selesai direvisi.
Menurut Edhy, penggunaan cantrang akan diregulasi demi mendongkrak kinerja sektor perikanan tanpa merusak ekosistem laut, salah satunya terumbu karang. ”Orang hanya tahu cantrang merusak karang, gimana mungkin orang pakai cantrang di tempat yang banyak karang? Ya, pasti robek-lah jaringnya,” katanya.
Dengan regulasi, pemerintah juga akan mampu mencegah konflik antara nelayan besar dan tradisional. ”Kita bikin zonasi saja. (Pakai cantrang) di laut lepas, kan, bisa. Zona ekonomi eksklusif kita juga masih kosong, lebih baik nelayan kita yang mengisi daripada nelayan asing mencuri ikan kita,” katanya.
Edhy juga menegaskan, pengawasan tidak akan longgar sekalipun perizinan dimudahkan. Nelayan yang melanggar aturan penggunaan alat tangkap akan dicabut izinnya. Namun, Edhy tidak menjelaskan mekanisme pengawasan. ”Pemerintah tidak mungkin kejar uang saja, tapi juga lingkungan berkelanjutan.”
Pemerintah tidak mungkin kejar uang saja, tapi juga lingkungan berkelanjutan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar mengatakan, revisi Permen KP No 71/2016 belum selesai. Harmonisasi lintas kementerian masih dijalin dengan Kementerian Hukum dan HAM sehingga belum ada detail yang dapat dibagikan.
”Belum ada ketetapan, tetapi prinsip keberlanjutan akan dipertahankan dengan menguatkan tata kelola. Bukan semata untuk menaikkan pemasukan negara,” kata Zulficar.
Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Johnny Budiman, mengatakan, usulan regulasi cantrang adalah respons jangka pendek bagi kesejahteraan nelayan. Menurut dia, dampak lingkungan dari penggunaan cantrang dapat ditekan jika ukurannya diatur, misalnya dengan melebarkan mata jaringnya.
Di samping itu, pemerintah juga bisa memberlakukan sistem buka tutup berlayar bagi nelayan yang menggunakan cantrang. Di pesisir Perfektur Kochi, Jepang, misalnya, kapal-kapal diminta tidak melaut selama tiga bulan sejak akhir Mei demi memberi waktu bagi pemijahan udang.
”Penggunaan cantrang paling banyak di pesisir Tegal karena kedalamannya 30-40 meter. Yang menjadi masalah, belum ada kajian tentang musim reproduksi ikan sehingga sistem ini belum dapat diterapkan. Kalau ada kajian, saya yakin nelayan di sana pasti setuju,” kata Johnny.
Pemerintah juga dapat menetapkan daerah penangkapan ikan demi mencegah konflik dengan nelayan kecil. ”Perlu dilihat juga berapa jumlah kapal yang boleh masuk ke zona itu dan berapa alat tangkapnya,” katanya.
Sambut baik
Gubernur Sulut Olly Dondokambey menyambut baik kunjungan Edhy. Sebab, KKP menggandeng dua badan usaha milik negara (BUMN) di bidang perikanan, yaitu PT Perinus dan Perum Perindo, untuk menyerap hasil perikanan tangkap maupun budidaya. Ikan yang dibeli BUMN akan ditampung dalam resi gudang sebelum dijual dengan harga yang bagus.
”Hari ini 20 ton ikan dari Sulut dibeli oleh BUMN. Nelayan tidak perlu khawatir ikannya tidak ada yang beli, semua pasti terbeli oleh pemerintah. Saya yakin pertumbuhan ekonomi Sulut dapat mencapai target 6 persen, sekarang masih anjlok di 4,2 persen karena Covid-19,” kata Olly.
Sulut dapat menghasilkan 800.000 ton ikan tangkap. Industri perikanan disebut akan bergeliat karena cold storage (ruang pendingin) akan kembali digunakan, terutama yang berlokasi di Bitung. ”Ada perusahaan besar yang punya cold storage berkapasitas 1.000 ton,” kata Tienneke Adam, kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut.
Direktur utama PT Perinus Yana Aditya mengatakan, perusahaannya sudah membeli 2.300 ton ikan tangkap dan budidaya dari seluruh Indonesia. Ikan yang ditampung akan dijual kembali ke pasar domestik dan diekspor. ”Ini tugas dari negara untuk menyejahterakan nelayan sehingga akan kami laksanakan terus,” katanya.