Menyiasati Pandemi, Festival Sastra Banggai Digelar Virtual
Festival Sastra Banggai Ke-4 di Sulawesi Tengah yang diselenggarakan anak muda digelar secara virtual menyiasati pandemi Covid-19. Tantangan kegiatan itu adalah keterbatasan akses internet di wilayah timur Indonesia.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·2 menit baca
LUWUK, KOMPAS — Festival Sastra Banggai Ke-4 di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, dilaksanakan secara virtual sebagai bentuk adaptasi terhadap pandemi Covid-19 pada 12-15 Juni 2020. Meski demikian, animo pencinta sastra setempat diharapkan tidak surut.
”Bagi kami, pandemi Covid-19 yang menunda banyak kegiatan mesti disiasati. Dengan tren virtual di masa pandemi ini, kami pun memutuskan menyelenggarakan FSB (Festival Sastra Banggai) secara virtual. Kami ingin tetap bersuara di tengah pembatasan dan keterbatasan,” kata Direktur Festival Sastra Banggai (FSB) Ama Achmad di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulteng, saat dihubungi dari Palu, Sulteng, Rabu (10/6/2020).
Festival Sastra Banggai pertama kali digagas pada 2017. Festival itu diprakarsai sejumlah anak muda yang tergabung dalam jaringan relawan literasi Babasal Mombasa. Festival itu bertujuan untuk membangkitkan minat masyarakat Banggai dan Sulawesi Tengah akan sastra, literasi, dan kebudayaan. Selain itu, festival juga bermisi melahirkan sastrawan-sastrawan lokal dan memperkenalkan Banggai dan Sulteng kepada masyarakat luas.
Ama mengatakan, saat ini dunia, termasuk Indonesia, didera wabah Covid-19. Untuk mencegah pelipatgandaan penularan, diberlakukan pembatasan sosial. Akibatnya, kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan dilarang digelar karena berpotensi menjadi titik penyebaran wabah. Situasi itu dimanfaatkan berbagai pihak dengan memanfaatkan teknologi digital.
Untuk tahun ini, peminat sastra bisa menikmati Festival Sastra Banggai melalui sejumlah platform media sosial, seperti Instagram, Facebook, dan Webex. Festival diisi banyak pembicara, antara lain sastrawan Aan Mansyur, penulis Lily Yulianti Farid (penggagas Makassar International Writers Festival), pemerhati bahasa Ivan Lanin, dan sejumlah sastrawan serta pegiat bahasa dari berbagai daerah.
Tema festival tahun ini Life in the Time of Corona yang merupakan ”adaptasi” karya novelis Kolombia, Gabriel Garcia Marques, Love in the Time of Cholera (1985). Festival diisi pemaparan materi dengan tema mulai dari literasi bencana nonalam hingga sastra di timur Indonesia, musikalisasi puisi oleh para penulisnya, dan bedah buku.
Tantangan menyelenggarakan festival secara virtual adalah jaringan internet yang masih belum memadai, khususnya di kawasan timur Indonesia.
Ama yang menerbitkan kumpulan puisi Keterampilan Membaca Laut
(2019) menyatakan, tantangan menyelenggarakan festival secara virtual adalah jaringan internet yang masih belum memadai, khususnya di kawasan timur Indonesia. Kondisi itu diharapkan tidak menyurutkan minat publik menikmati festival seperti menikmatinya tanpa medium (virtual).
Pegiat literasi Sulteng, Neni Isnaeni, menilai sastra tetap harus dihidupkan di tengah situasi sulit. Sebab, sastra merupakan refleksi atas kehidupan dan kemanusiaan. ”Di tengah situasi terbatas seperti saat ini dan membanjirnya informasi tentang bencana dan angka-angka, sastra menjadi oase di gurun gersang,” ujarnya.