Di Kampung Bule, Pandemi Covid-19 Bukan Halangan Menggaet “Mister”
Meskipun bibir dan hidung mereka tertutup rapat oleh masker, sepasang matanya tetap lincah berkedip memikat para bule yang nekat plesiran di tengah pandemi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Malam itu, jalanan Nagoya lengang. Para perempuan dengan pakaian ketat duduk berjajar di bawah remang warna-warni neon. Bibir dan hidung mereka tertutup rapat oleh masker. Namun, sepasang mata mereka tetap lincah berkedip memikat para bule yang masih nekat plesiran di tengah pandemi.
Pada 1 Juni 2020, Pemerintah Kota Batam mengizinkan Kampung Bule, pusat hiburan malam di Kawasan Nagoya, untuk kembali beroperasi. Syaratnya, para pengelola wajib melaksanakan semua protokol pencegahan Covid-19. Bila ditemukan pelanggaran, semua bar juga pub di kawasan itu akan ditutup lagi.
Di sebuah bar, seorang perempuan dengan rambut sepinggang yang dicat pirang berseru kepada para pelayan untuk mengenakan sarung tangan saat mengecek suhu tubuh tamu yang datang. “Kami susah payah berjuang supaya bisa buka, jangan sampai ceroboh nanti ditutup lagi,” katanya, Rabu (3/6/2020).
Icha Jun adalah pemilik Bar Stamvol. Perempuan bernama asli Richa Rachman itu merupakan Ketua Kampung Bule Family (KBF) yang getol melobi Pemkot Batam untuk mengizinkan tempat hiburan malam kembali buka. Upaya KBF membuahkan hasil, sebanyak 15 bar dan pub sekarang dapat beroperasi lagi.
Menurut dia, sebanyak 19 tempat dari total 30 bar dan pub di Kampung Bule sudah membuat surat pernyataan kepada Pemkot Batam untuk kembali buka dengan menerapkan protokol pencegahan Covid-19. Ini jadi angin segar bagi kehidupan malam di Kampung Bule yang mati suri sejak 20 Maret lalu.
“Pemerintah enggak tahu banyak (pekerja) itu yang janda dan butuh cari uang untuk anak-anak. Mereka hanya tahu kami kerjaannya senang-senang dengan uang nista. Kenyataannya enggak begitu,” ujar Icha.
Mereka hanya tahu kami kerjaannya senang-senang dengan uang nista.
Sedikitnya ada 300 pekerja hiburan malam di Kampung Bule. Lebih dari 80 persen adalah perempuan. Sejak pandemi melanda hidup mereka jadi lebih kelam. Banyak di antaranya mengaku, selama tempat hiburan malam ditutup, hidup hanya bergantung dari bantuan sembako pemberian warga lain.
Icha mengatakan, saat ditutup pada 20 Maret lalu ia hanya mampu memberikan bayaran 10 hari kerja pada 10 pelayannya. Di luar tips dari para tamu, pelayan di Kampung Bule hanya menerima bayaran rata-rata Rp 50.000 per hari. Redupnya kehidupan malam selama pandemi adalah petaka untuk mereka.
“Kerja kami ini entertainment kaya sinetron. Harus bisa tetap senyum dan dandan cantik, walaupun sebenarnya di rumah sedang banyak masalah,” kata Icha.
Gemerlap kehidupan malam di Kampung Bule masih jauh dari pulih. Sejak dulu pasar utama kawasan plesiran itu adalah wisatawan mancanegara, terutama bule kaukasoid. Pada masa pandemi ini, mereka hanya bergantung kepada segelintir pengunjung lama yang biasanya adalah tenaga kerja asing di Batam.
Meskipun masih sepi tamu, bagi Icha, kondisi ini masih lebih baik daripada tidak buka sama sekali. “Namanya sudah buka lapak apa pun harus dilakukan supaya enggak rugi. Pasti ada jalannya,” ucapnya.
Kembali beroperasinya tempat hiburan malam di Kampung Bule adalah bagian dari langkah Pemkot Batam memulai normal baru pada 15 Juni. Kebijakan itu diambil untuk menyambut keputusan Singapura yang telah melakukan pelonggaran bertahap sejak 1 Juni. Harapannya pariwisata di kota ini segera pulih.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pariwisata Kepri Buralimar menyarankan agar Pemkot Batam selektif membuka tempat wisata. Yang bisa diutamakan adalah destinasi unggulan yang telah memiliki satuan tugas mandiri pencegahan Covid-19. Hal ini penting guna mengantisipasi kejadian darurat saat pandemi.
Wisatawan mancanegara di Kepri pada 2019 jumlahnya 2,8 juta orang, lebih dari 50 persen berasal dari Batam. Menurut Buralimar, daya tarik utama pariwisata Batam adalah belanja, kuliner, dan hiburan. “Jika wisata di Nagoya tutup, itu memukul wisata Kepri secara kesuluruhan,” ucapnya, Senin (1/6/2020).
Demi mencegah lonjakan kasus positif, Buralimar menyarankan agar Pemkot Batam tidak terburu-buru membuka sembarang tempat wisata sebelum rancangan standar operasional benar-benar matang. ”Ekonomi memang penting, tetapi kesehatan lebih penting. Kalau tidak cermat lalu ada wisatawan yang terjangkit, mereka justru akan kapok,” ujarnya.
Di tempat hiburan malam seperti Kampung Bule, sulit membedakan mana lebih penting antara ekonomi atau kesehatan. Para pekerja terbiasa mengumpulkan rupiah dengan risiko tertular penyakit dari pelanggan. Pada masa pandemi sekalipun, selama kerlip neon masih menyala, mister tetap disilakan untuk singgah.