Butuh Langkah Terpadu Pemerintah Daerah hingga Pusat Atasi Banjir Samarinda
Alih fungsi lahan yang tak terkendali bertahun-tahun menjadi penyebab banjir berulang di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Butuh langkah terpadu pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
SAMARINDA, KOMPAS — Alih fungsi lahan yang tak terkendali bertahun-tahun menjadi penyebab banjir berulang di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Dibutuhkan langkah terpadu pemerintah daerah, provinsi, dan pusat untuk menata ulang lahan-lahan kritis dari hulu ke hilir.
Hal itu mencuat dalam diskusi daring bertajuk ”Samarinda Banjir Lagi; Derita di Tengah Pandemi” yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum Sumber Daya Alam Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Selasa (2/6/2020).
Samarinda terendam banjir sehari sebelum Lebaran sejak Jumat (22/5/2020) hingga Kamis (28/5/2020). Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Samarinda mencatat 14.775 keluarga atau 47.281 jiwa terdampak banjir yang menggenangi 11 kelurahan itu. Tinggi muka air banjir mencapai 150 sentimeter.
Hal itu menunjukkan penyebab banjir di Samarinda masih belum tertangani. Jumlah warga terdampak itu tak berkurang jauh dibandingkan dengam banjir 2019 di Samarinda. Banjir pada tahun sebelumnya disebut-sebut paling parah dalam sepuluh tahun terakhir dengan jumlah warga terdampak 56.123 jiwa.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur menilai penyebab utama banjir di Samarinda adalah berkurangnya daerah resapan air karena alih fungsi lahan untuk pertambangan. Jatam menghitung bahwa 71 persen dari luas Kota Samarinda sudah dikapling tambang batubara meskipun belum semuanya dieksploitasi. Terdapat 68 konsesi tambang batubara di Samarinda yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Kaltim dan pemerintah pusat.
”Secara kebijakan, pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap arah pertahanan kota dari bencana alam dan cuaca, seperti misalnya intensitas hujan yang tinggi,” kata dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang.
Selain kawasan hijau yang sudah ditambang secara resmi, Jatam juga melihat banyak tambang ilegal yang merusak kawasan hijau tanpa mereklamasinya. Hal itu turut memperluas kawasan hijau yang rusak di Samarinda.
Untuk itu, Rupang meminta pemerintah daerah hingga pusat menetapkan status kota sebagai kawasan bebas tambang untuk memulihkan lingkungan yang sudah rusak. Selain itu, ia meminta pemerintah serius dalam penegakan hukum terhadap perusahaan tambang yang tak memenuhi kewajiban reklamasi dan pengusaha tambang ilegal.
Secara kebijakan, pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap arah pertahanan kota dari bencana alam dan cuaca, seperti intensitas hujan yang tinggi.
Menurut dia, jika Samarinda ingin selamat dari banjir, perlu ada moratorium izin tambang. Selama moratorium itu perlu ditetapkan 60 persen wilayah Samarinda sebagai kawasan lindung untuk memenuhi daya dukung lingkungan. ”Cabut seluruh izin tambang yang bermasalah dan pulihkan ekosistem yang tersisa,” kata Rupang.
Sinergitas
Kebijakan yang tidak saling mendukung dari pemerintah kota, provinsi, dan pusat juga membuat banjir di Samarinda tidak tertangani dengan baik. Dibutuhkan komunikasi dan koordinasi yang baik agar penataan kawasan di Samarinda tertata.
Hal itu diakui Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Timur Fahmi Hilmawan. Ia mengatakan, pada 2009 DLH Kaltim menolak dokumen eksploitasi tambang di kawasan Sungai Siring, Samarinda Utara, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan. Namun, Pemerintah Kota Samarinda malah memberikan izin tambang di wilayah sekitarnya. Saat itu, pemerintah kota masih memiliki kewenangan memberikan izin.
Fahmi mengatakan, permasalahan lain yang membuat banjir di Samarinda tak terkendali adalah alih fungsi kawasan di sekitar Sungai Karang Mumus yang membelah Samarinda. Banyak perumahan dibangun di sekitar daerah limpasan Sungai Karang Mumus, salah satunya perumahan Bengkuring. Hal itu membuat ribuan warga di daerah itu terdampak banjir setiap tahun.
Ia mengatakan, penataan Sungai Karang Mumus sudah masuk dalam Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Kaltim untuk mengurangi dampak banjir di Samarinda. ”Memang belum banyak terealisasi dan baru rencana. Mudah-mudahan terlaksana dalam waktu 10 tahun ke depan. Untuk itu, dibutuhkan sinergisitas dari pemerintah pusat hingga daerah dan mitra kerja di luar pemerintah,” kata Fahmi.
Tenaga Ahli Kajian Lingkungan Hidup Strategis Revisi RTRW Samarinda Yohanes Budi mengatakan, Pemkot Samarinda sedang menyusun rencana tata ruang. Salah satu hal penting dalam tata ruang itu adalah memperbaiki daerah aliran Sungai Karang Mumus.
”Di kawasan hulu perlu konservasi tanah dan bangunan fisik untuk menahan air. Selain itu, semua perumahan perlu dibuat biopori atau penampung air hujan,” kata Yohanes.
Jangka pendek
Selagi pemerintah menyusun rencana-rencana penanganan banjir itu, Pemkot Samarinda juga dinilai perlu membuat pendekatan kepada masyarakat agar siap menghadapi banjir di masa mendatang. Perlu adanya sistem peringatan dini kepada masyarakat sebelum banjir datang agar kerugian masyarakat tidak terlalu besar.
Pengajar Prodi Teknik Sipil Institut Teknologi Kalimantan, Riyan B Sukmara, mengatakan, alternatif penanggulangan banjir jangka pendek yang perlu dilakukan adalah pendekatan nonstruktural dengan membuat sistem peringatan dini kepada warga. Dengan begitu, keluarga terdampak banjir bisa mengantisipasi kerugian yang dialami.
”Metode struktural, seperti pembenahan Sungai Karang Mumus, itu butuh waktu dan biaya besar. Sambil menunggu itu, sistem peringatan dini bisa dilakukan lebih dulu. Misalnya, membuat peringatan melalui SMS atau bunyi sirene 3 sampai 5 jam sebelum datangnya hujan. Masyarakat jadi punya waktu mengevakuasi diri dan harta benda sebelum banjir datang,” kata Riyan.