Berdaya dan Memberi Makna dari Desa
Mereka yang tinggal dan bekerja di desa tidak selalu tertinggal dibanding orang-orang yang bekerja di kota besar. Kenyataan ini antara lain tercermin dari kisah Andhika Mahardika mengelola lembaga Agradaya.
Tinggal dan bekerja di desa bukan berarti selalu tertinggal dibanding mereka yang hidup di kota. Dengan kerja keras dan kreativitas, orang-orang yang berada di desa juga bisa menuai sukses dan bahkan memberi manfaat kepada orang lain.
Dari sebuah rumah di pelosok Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Andhika Mahardika (31) mengelola sebuah lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan petani. Lembaga bernama Agradaya itu kini telah bermitra dengan sekitar 300 petani di dua provinsi berbeda.
Namun, tidak seperti kebanyakan perusahaan rintisan yang didirikan anak muda kekinian, kantor Agradaya tak berlokasi di kota besar. Pusat aktivitas lembaga tersebut berada di sebuah rumah di Desa Sendangrejo, Kecamatan Minggir, Sleman, yang berjarak sekitar 20 kilometer (km) dari pusat Kota Yogyakarta.
Rumah yang sekaligus menjadi tempat tinggal Andhika dan keluarganya itu berlokasi di lingkungan pedesaan yang asri dan tenang. Di sekitar rumah itu, masih jamak dijumpai hamparan sawah menghijau dan rumah-rumah tradisional khas pedesaan.
Baca juga : Masih Ada Peluang di Tengah Kesulitan
Andhika menjelaskan, Agradaya berfokus pada pemberdayaan petani rempah-rempah. Upaya pemberdayaan yang dilakukan mencakup edukasi mengenai pertanian organik, manajemen lahan, dan pengolahan pascapanen. Tujuan utama dari pemberdayaan itu adalah meningkatkan nilai tambah pada produk rempah-rempah sehingga harga jualnya meningkat. "Yang bisa memberi tambah paling banyak itu adalah ketika rempah-rempah diolah," kata Andhika, Kamis (21/5/2020).
Program pemberdayaan Agradaya pertama kali dilakukan di wilayah perbukitan Menoreh, Kabupaten Kulon Progo, DIY, mulai pertengahan tahun 2016. Menurut Andhika, petani di beberapa desa di perbukitan Menoreh telah lama menanam rempah-rempah. Namun, selama ini, petani menjual rempah-rempah dalam kondisi basah kepada tengkulak dengan harga rendah.
Padahal, berdasar kajian yang dilakukan Agradaya, penjualan rempah-rempah sebenarnya memiliki pasar yang sangat luas karena banyak pihak yang membutuhkan. ”Rempah-rempah itu, kan, dibutuhkan untuk banyak hal, misalnya untuk bahan baku obat, makanan, jamu, bumbu, dan sebagainya,” tutur Andhika.
Melihat kondisi itu, Agradaya lalu mengajak para petani rempah di Menoreh untuk melakukan pengolahan pascapanen dengan mengeringkan rempah-rempah. Untuk mempermudah proses pengeringan, Agradaya memperkenalkan alat bernama solar dryer house, yakni semacam ruang pengering yang dilengkapi peralatan tertentu.
Baca juga : Kreativitas Tetap Menyala meski Bekerja di Desa
Andhika menyebut, setelah dikeringkan secara optimal, harga rempah-rempah akan meningkat. Dia mencontohkan, harga kunyit basah hanya sekitar Rp 2.000 per kilogram (kg). Namun, sesudah dikeringkan, harga kunyit akan meningkat menjadi Rp 60.000 per kg. "Dengan catatan, untuk menghasilkan 1 kg kunyit kering itu dibutuhkan 5 sampai 8 kg kunyit basah," katanya.
Contoh lainnya, harga jahe basah hanya sekitar Rp 25.000 sampai Rp 30.000 per kg. Namun, sesudah diproses, harga jahe kering bisa mencapai Rp 365.000 per kg. Sama dengan kunyit, 1 kg jahe kering dihasilkan dari 5-8 kg jahe basah.
Sesudah berhasil memberdayakan petani di Kulon Progo, Agradaya kini memperluas jangkauan programnya ke Kabupaten Gunungkidul, DIY, serta Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Di dua kabupaten itu, Agradaya juga melakukan pemberdayaan terhadap para petani rempah-rempah.
Kini, menurut Andhika, Agradaya telah bermitra dengan sekitar 300 petani. Adapun total luas lahan pertanian rempah yang dikelola petani mitra Agradaya mencapai 50 hektar. Jenis rempah-rempah yang ditanam pun bermacam-macam, misalnya jahe, kunyit, temulawak, cengkeh, kapulaga, secang, dan sebagainya.
Saat ini, para petani mitra Agradaya bisa menghasilkan sekitar 1,5 ton rempah-rempah kering per bulan. Rempah-rempah dari para petani mitra tersebut kemudian dibeli oleh Agradaya. Sebagian rempah-rempah yang dibeli itu diolah menjadi produk minuman, baik dalam bentuk serbuk maupun cair.
Produk-produk hasil pengolahan rempah-rempah itu kemudian dijual oleh para pegiat Agradaya melalui beragam sarana, baik daring (online) maupun luring (offline). Pemasaran secara daring dilakukan melalui media sosial dan toko online, sementara pemasaran luring dilakukan melalui distributor di berbagai kota. "Merespon adanya pandemi Covid-19, kami juga membuat produk jamu yang diolah dari rempah-rempah," ujar Andhika.
Selain itu, sebagian rempah-rempah kering tersebut juga dijual oleh Agradaya ke sejumlah perusahaan minuman dan obat. Penjualan ini dimungkinkan karena Agradaya telah menjalin kemitraan dengan sejumlah perusahaan yang membutuhkan rempah-rempah sebagai bahan baku.
Bukan penghalang
Kisah Andhika mengelola Agradaya menjadi bukti bahwa tinggal dan beraktivitas di desa sama sekali bukan penghalang untuk mencapai kesuksesan. Andhika menuturkan, dengan adanya kemajuan teknologi saat ini, beraktivitas di desa sama sekali tidak menjadi halangan untuk mengembangkan usaha atau melakukan kegiatan pemberdayaan. "Lokasi di desa itu sama sekali tidak menjadi masalah. Bahkan, secara psikologis, bekerja di desa itu membuat tim kami merasa lebih tenteram dan nyaman dalam bekerja," ungkap Andhika.
Sebelum mendirikan Agradaya, Andhika sebenarnya sudah bekerja di perusahaan elektronik besar di wilayah Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Andhika bekerja di perusahaan itu sejak awal tahun 2012 setelah lulus dari Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
Walaupun menikmati gaji cukup besar saat bekerja di perusahaan elektronik itu, Andhika ternyata tak menemukan kebahagiaan. Dia bahkan merasa kegamangan saat bekerja di perusahaan tersebut.
”Meskipun secara finansial sangat secure (aman) karena lumayan gede gajinya, saya merasa enggak menemukan kebahagiaan. Kayak ada sesuatu yang kosong. Pernah di satu momen, saya membayangkan apa jadinya kalau, misalnya, saya meninggal waktu itu, seperti apa saya akan dikenang kalau hanya bekerja sebagai karyawan perusahaan aja," ungkap Andhika.
Kondisi itulah yang membuat Andhika akhirnya keluar setelah bekerja selama 6 bulan. Setelah itu, dia sempat mengikuti program Indonesia Mengajar dan ditempatkan sebagai guru di daerah terpencil di Aceh Utara.
Baca juga : Menolak Takluk kepada Pandemi Covid-19
Usai mengajar di Aceh Utara, Andhika bertemu dengan sejumlah alumni Indonesia Mengajar yang punya cita-cita yang sama, yakni melakukan pemberdayaan masyarakat. Salah satunya adalah Nurrahma Asri Saraswati (31) yang kelak menjadi istri Andhika.
Akhirnya, pada tahun 2014, Andhika bersama Asri serta dua teman lain memutuskan pindah ke Desa Sendangrejo untuk mengembangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Di sana, mereka menggunakan rumah milik orangtua Asri yang sudah lama tak ditinggali. Di rumah itu pula Agradaya akhirnya lahir dan berkembang.
Andhika menyatakan, desa-desa di Indonesia sebenarnya memiliki beragam potensi yang bisa mendatangkan kesejahteraan bagi warganya. Namun, aneka ragam potensi itu belum tergarap dengan baik sehingga belum menghasilkan manfaat signifikan bagi warga desa. Kondisi inilah yang menjadi salah satu alasan pendirian Agradaya.
"Indonesia itu kan memiliki puluhan ribu desa dengan berbagai macam potensi. Namun masih banyak potensi, khususnya di sektor pertanian, yang belum dikembangkan. Kondisi inilah yang mendorong kami untuk mendorong pemberdayaan bagi petani," ungkap Andhika.