Tri Rismaharini: Seandainya Bisa Tes Massal Lebih Cepat
Seminggu terakhir, Kota Surabaya, Jawa Timur, menjadi sorotan karena dua kali mencatat lonjakan penambahan kasus baru Covid-19 di atas 300 kasus baru dalam sehari. Kasus di Surabaya juga menjadi yang tertinggi di Jatim,
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA/IQBAL BASYARI
·6 menit baca
Seminggu terakhir, Kota Surabaya, Jawa Timur, menjadi sorotan karena dua kali mencatat lonjakan penambahan kasus baru Covid-19 di atas 300 kasus baru dalam sehari. Kasus di Surabaya juga menjadi yang tertinggi di Jatim, yang hingga Kamis (28/5/2020) mencatatkan 2.300 pasien atau 53 persen dari total kumulatif kasus di Jatim.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menceritakan upayanya memutus mata rantai penularan sekaligus menjelaskan penyebab tingginya kasus Covid-19 di Surabaya. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Risma di Posko Penanganan Covid-19 di Taman Surya, Kamis. Wawancara dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak dan tetap mengenakan masker.
Apa saja upaya Pemkot Surabaya untuk mencegah penularan Covid-19?
Sebelum terkonfirmasi kasus Covid-19 pertama di Surabaya, kami sudah mengumpulkan sejumlah pemangku kepentingan di Surabaya untuk mendiskusikan protokol kesehatan. Kemudian kami bangun bilik sterilisasi dan ditempatkan di berbagai fasilitas publik dan penyemprotan cairan disinfektan untuk mengurangi risiko virus yang menempel di badan. Sampai hari ini, penyemprotan juga dilakukan di lokasi perbatasan, permukiman, serta jalan raya. Ratusan wastafel pun kami siapkan di beberapa jalan, tempat umum, seperti taman, pasar lokasi-lokasi yang ramai orang melintas agar masyarakat mudah mencuci tangan.
Mengapa kasus Covid-19 di Surabaya tinggi?
Peningkatan kasus positif Covid-19 di Surabaya terus bertambah karena kami melakukan tes cepat dan tes usap tenggorokan massal, terutama untuk orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), orang tanpa gejala (OTG), dan orang dalam risiko (ODR). Setiap hari ada ratusan warga di perkampungan yang wajib ikut tes cepat agar memutus rantai penularan karena di kawasan itu sudah terjadi penularan.
Hingga Rabu (27/5/2020), kami sudah melakukan tes cepat kepada 22.763 orang dengan hasil 2.231 orang reaktif atau sekitar 9,8 persen. Warga yang hasil tes reaktif diisolasi dan menjalani tes usap tenggorokan. Ada beberapa hotel yang kami siapkan untuk isolasi warga reaktif hingga hasil tes usap tenggorokan keluar.
Namun, tidak semua bisa langsung menjalani tes usap tenggorokan. Dari 2.231 warga reaktif tes cepat, baru 1.160 orang yang sudah tes dan sisanya 1.171 orang masih dalam antrean menjalani tes usap tenggorokan karena kapasitas laboratorium di Surabaya terbatas. Dari 1.160 orang yang sudah ikut tes usap tenggorokan, baru 749 sampel yang hasilnya keluar, yakni 367 orang positif.
Sebenarnya saya sudah terlambat mengadakan tes massal. Seandainya bisa tes massal lebih cepat, pasti penularan tidak sebanyak ini. Tetapi, lebih baik terlambat daripada tidak melakukan apa-apa. Semakin banyak pasien positif yang tidak terdeteksi dan belum dipisahkan dengan warga lain, potensi penularan masih tetap berlanjut.
Sesulit itu mencari alat tes?
Pada awal kasus di Surabaya, kami kesulitan mendapatkan alat tes cepat dan tes usap tenggorokan. Untuk membeli pun barangnya masih sulit. Padahal, seharusnya tes massif dilakukan sejak awal agar bisa memutus rantai penularan sejak kasus masih sedikit.
Saya akhirnya meminta bantuan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan meminta Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo. Saya juga menelepon Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk meminta alat tes. Bantuan alat tes akhirnya pertama kali tiba sebanyak 460 tes cepat dari Kementerian Kesehatan pada akhir Maret.
Kondisi saat itu kami masih kesulitan melakukan tes usap tenggorokan massal karena hanya bisa mengirimkan sampel kurang dari 10 per hari. Kami pun berkoordinasi dengan salah satu rumah sakit di Surabaya yang bisa melakukan uji laboratorium PCR (polymerase chain reaction). Awalnya dijanjikan bisa menguji 40-60 sampel dari kami, tetapi ternyata tidak bisa, saya berkontak lagi dengan Pak Terawan.
Selalu meminta
Saya tidak henti meminta alat tes yang akhirnya Kementerian Kesehatan mengirimkan 41.000 reagen kit PCR melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Jatim. Namun, tidak ada yang disalurkan ke Surabaya, padahal bantuan itu salah satunya seharusnya untuk Surabaya. Saya kemudian telepon lagi Pak Terawan karena saat itu pada akhir April sangat butuh sekitar 10.000 reagen kit dan akhirnya dikirim langsung ke Surabaya 4.000 reagen kit.
Karena kapasitas laboratorium yang terbatas, akhirnya saya meminta Pak Doni mengirim laboratorium bergerak. Sudah disepakati dua mobil dengan kapasitas masing-masing 100 sampel per hari, tetapi ternyata keduanya tidak ada di Surabaya dan berada di kota lain. Yang sesuai permintaan hanya bantuan laboratorium bergerak dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Intelijen Negara dengan kapasitas 500 sampel per hari.
Mengapa terus melakukan tes? Bukankah bisa mengakibatkan grafik penambahan pasien terus naik?
Banyak pasien Covid-19 memiliki gejala ringan, bahkan tanpa gejala. Maka, untuk memutus penularan mau tidak mau caranya memperbanyak tes massal. Saya khawatir kasus akan bertambah tanpa terdeteksi apabila tes massal tidak dilakukan. Semakin banyak menemukan pasien terpapar, penanganan bisa segera terkendali.
Sampai saat ini, semua penambahan kasus positif sudah ada di data kami, artinya mereka adalah hasil penelusuran kontak pasien positif. Kami berupaya agar tidak ada kluster lain di luar data yang kami miliki.
Kalau jumlah pasien terus bertambah, bagaimana kesiapan rumah sakit?
Ada sejumlah rumah sakit yang telah menambah kapasitas. Beberapa tempat untuk pasien dengan gejala ringan juga sudah disiapkan. Jadi kalau pasien gejala sedang hingga berat ditangani ke rumah sakit karena fasilitasnya memadai. Setiap ada bantuan alat pelindung diri selalu kami bagi adil untuk semua rumah sakit. Bahkan, kami juga ikut membuat alat pelindung diri yang dikerjakan oleh pegawai dan melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Bagaimana mencegah kasus penularan baru di luar orang yang dipantau?
Kami telah mengisolasi warga, baik isolasi di hotel maupun isolasi mandiri di rumah bagi ODP dan PDP. Melalui program Kampung Wani Jogo Suroboyo, kami melibatkan pengurus RT memastikan ODP tidak keluar rumah. Data sudah kami bagi ke pengurus kampung sehingga bisa memantau dan saling menjaga warga satu sama lain. Kebutuhan makan satu keluarga pun kami penuhi dengan mengirim makanan tiga kali sehari serta kebutuhan mandi.
Apa bantuan yang diberikan kepada masyarakat miskin terdampak?
Di luar bantuan yang sudah diberikan berupa uang tunai Rp 600.000 dari pemerintah pusat, kami memberikan bantuan sembako kepada warga miskin terdampak yang tidak masuk dalam skema bantuan sosial nontunai. Sembako diproduksi melibatkan UMKM. Kini, kami sedang mendata warga yang kehilangan pekerjaan agar bisa produktif, nanti akan diberikan pelatihan sesuai potensi di kawasan itu.
Terakhir, apa pesan untuk warga Surabaya?
Pemerintah tidak bisa sendirian menangani Covid-19. Masyarakat memegang peran penting untuk memutus rantai penularan. Selalu jaga pola hidup bersih dan sehat serta ikuti protokol kesehatan dengan tepat sejak dari dalam rumah.