”Normal Baru” di Bulan Juli, Standar Operasional Pariwisata DIY Dimatangkan
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta masih membahas standar operasional destinasi wisata di daerah tersebut dalam masa pandemi Covid-19. Protokol kesehatan diutamakan demi mencegah penyebaran penularan penyakit.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta masih mematangkan rumusan standar operasional destinasi wisata di daerah tersebut dalam masa pandemi Covid-19. Rumusan itu penting menyusul munculnya ide membuka kembali destinasi wisata pada bulan Juli.
Kepala Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Singgih Raharjo menyampaikan, pihaknya tengah menyusun protokol menyusul rencana operasionalisasi kembali destinasi wisata di daerah tersebut pada masa pandemi ini. Namun, ia memastikan destinasi wisata belum akan beroperasi dalam waktu dekat. Terlebih lagi perkembangan kasus di daerah tersebut setiap harinya masih terus terjadi penambahan kasus positif.
”Yang diperlukan sekarang itu, kan, protokol (pencegahan Covid-19) dalam pariwisata. Kalau protokol standar itu, sudah ada. Kalau protokol yang dikembangkan di bidang pariwisata itu perlu didetailkan lagi,” kata Singgih, saat dihubungi, Jumat (22/5/2020).
Semangat rumusan protokol kesehatan pada pariwisata adalah supaya tidak muncul lagi kluster penularan baru dari aktivitas tersebut. Diakui Singgih, pandemi Covid-19 mengubah berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Sektor pariwisata termasuk salah satu yang terdampak kondisi itu karena selalu menimbulkan kerumunan. Praktis destinasi wisata harus menutup operasionalisasinya untuk sementara.
Singgih menyampaikan, keberadaan protokol kesehatan penting bagi operasionalisasi destinasi wisata di tengah pandemi. Sebab, pihaknya tidak ingin muncul lagi kluster penularan baru. Terlebih lagi, apabila kluster tersebut berasal dari sektor pariwisata.
Sekretaris Provinsi DIY Kadarmanta Baskara Aji mengungkapkan, rencananya, penerapan ”normal baru” termasuk di sektor pariwisata bakal dilangsungkan Juli 2020. Kondisi itu melihat pertimbangan bahwa skema bantuan sosial yang menyasar masyarakat hanya diberikan hingga Juni 2020.
Protokol kesehatan penting bagi operasionalisasi destinasi wisata di tengah pandemi.
Sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio mengatakan, sektor wisata termasuk salah satu yang terpukul dalam masa pandemi ini. Padahal, sektor tersebut menyediakan banyak lapangan kerja. Durasi wabah juga belum diketahui kapan berakhirnya. Akan tetapi, industri pariwisata diminta terus berlanjut dan memasuki era normal baru (Kompas, 16/5/2020).
”Konsepnya (kembali beroperasinya destinasi wisata) masih disusun. Kami masih menyusun standar operasional itu. Semoga dalam waktu tidak terlalu lama bisa siap. Tetapi, membuka kembali destinasi wisata juga tidak sembarangan. Protokol kesehatan tetap menjadi pertimbangan utama,” kata Singgih.
Singgih mencontohkan, salah satu yang dapat dilakukan terkait dengan reservasi kunjungan ke suatu destinasi wisata. Dengan model reservasi, diharapkan jumlah pengunjung bisa dibatasi sehingga tidak terjadi kerumunan. Kondisi itu menjadi salah satu upaya menerapkan pembatasan fisik atau physical distancing.
Selain itu, Singgih mengungkapkan, destinasi wisata dan hotel juga wajib memiliki tempat cuci tangan atau hand sanitizer. Penyemprotan cairan disinfektan juga harus dilakukan sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit. Ini termasuk hanya memperbolehkan suatu tempat, baik hotel maupun destinasi wisata, hanya diisi 50 persen dari kapasitas.
Terdapat sekitar 40 hotel dan restoran yang akan kembali beroperasi Juni ini. Hotel-hotel tersebut terdiri dari nonbintang hingga bintang empat. Walaupun demikian, protokol ketat kesehatan diberlakukan. (Deddy Pranowo Eryono-PHRI DIY)
Dihubungi secara erpisah, Ketua Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPD PHRI) DIY Deddy Pranowo Eryono mengungkapkan, terdapat sekitar 40 hotel dan restoran yang akan kembali beroperasi Juni ini. Hotel-hotel tersebut terdiri dari hunian nonbintang hingga bintang empat. Walau demikian, protokol ketat kesehatan tetap diberlakukan.
”Setiap hotel yang dibuka tidak 100 persen membuka kamarnya. Misal, ada 120 kamar, yang dibuka hanya 20-40 kamar. Kami ingin menerapkan betul protokol kesehatan,” kata Deddy.
Deddy menjelaskan, skema tersebut diberlakukan agar kamar yang telah digunakan tamu bisa disemprot cairan disinfektan sebelum digunakan tamu berikutnya. Asumsinya, dengan tidak beroperasi 100 persen, selalu ada kamar yang bisa digunakan jika kamar lain baru saja disemprot disinfektan.
”Tidak hanya itu, tamu-tamu yang akan menginap juga wajib membawa surat keterangan dokter. Surat itu untuk menunjukkan bahwa pasien tersebut sehat,” kata Deddy.
Deddy menegaskan, bagi hotel yang memang belum siap untuk beroperasi dengan protokol kesehatan, disarankan agar tidak beroperasi terlebih dahulu. Tidak beroperasi dianggap lebih baik dibandingkan dengan beroperasi disertai risiko tinggi. Ia tidak ingin hotel dan restoran yang beroperasi kembali justru menjadi kluster penularan baru di DIY.