30 Menit, Satu Foto Terkirim dari ”Bukit Sinyal” di Pelosok Kalbar
Gubuk berdinding kulit kayu dan beratap dedaunan berdiri di bukit miring. Di sanalah sejumlah siswa di pedalaman Kalimantan Barat mencari sinyal internet demi belajar daring.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
Gubuk berdinding kulit kayu dan beratap dedaunan berdiri di bukit miring. Di sanalah sejumlah siswa di pedalaman Kalimantan Barat mencari sinyal internet demi belajar daring.
Sejak pertengahan Maret, saat pandemi Covid-19 mulai merebak di Tanah Air, sejumlah siswa di Dusun Sidas Daya, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, belajar daring. Bagi mereka, itu setara jalan kaki 1 jam 5 menit menuju bukit.
Upaya itu dilakoni siswa SMA Daya Pelita Sidas. Dari dusun, mereka berjalan kaki melintasi hutan sekitar satu jam. Empat jembatan kayu tanpa pegangan harus mereka lintasi.
Itu belum cukup. Jalan tersebut bergelombang dan licin saat hujan. Buku dan telepon pintar harus dibungkus di dalam plastik dan tas.
Untuk mengirim satu foto perlu waktu 30 menit.
Satu jam melintasi hutan, sampailah ke lereng bukit. Dari sana perlu lima menit mencapai puncak bukit. Di puncak bukit itulah mereka membangun dua gubuk berlindung.
Gubuk itu berukuran 2 meter x 1 meter, dindingnya dari kulit kayu tengkawang, atapnya dari dedaunan. ”Kami perlu waktu sekitar empat hari mendirikan gubuk itu,” ujar Junaidi (18), siswa kelas XI IPS SMA Daya Pelita Sidas, Sabtu (16/5/2020). Napasnya masih tersengal seusai mendaki bukit.
Sebelum menuju ”bukit sinyal” itu, tugas mereka kerjakan di rumah dengan ditulis tangan. Foto hasil pekerjaan mereka kirim ke guru melalui aplikasi Whatsapp setelah ada sinyal di bukit. Kerap kali sinyalnya jelek.
”Untuk mengirim satu foto perlu waktu 30 menit. Sementara tugas yang dikirim sekitar empat. Ada delapan siswa SMA yang mengirim tugas. Selebihnya siswa SMP dan mahasiswa. Total di situ sekitar 20 orang,” ujar Junaidi.
Setiap ke bukit, para siswa membawa bekal makanan dan minuman. Mereka biasa di sana pagi hingga siang. Setelah itu, pulang sebentar ke kampung, lalu kembali ke bukit pada sore hari. Itu pun jika daya telepon pintar masih ada.
Siswa yang tak punya telepon seluler meminjam kepada teman untuk mengirim tugas. Mereka harus hemat betul baterai ponsel. Sebab, mengisi daya hanya bisa malam hari menggunakan genset. Daerah itu belum dialiri listrik negara.
”Untuk beli kuota internet, kami menitip ke teman di lokasi bersinyal internet. Setelah itu baru kami bayar. Bisa juga titip ke teman yang kebetulan ke luar kampung,” ujarnya.
Orangtua Junaidi petani karet dan peladang. Tidak mudah bagi orangtuanya saat ini karena harga karet di tingkat petani hanya Rp 3.000 per kilogram. Meskipun demikian, ia tetap semangat belajar di tengah situasi serba terbatas.
Mewaspadai ular
Ada saja kejadian di gubuk kecil itu. Mungkin saking ”alaminya”, pernah ada ular masuk ke salah satu gubuk itu. ”Salah satu gubuk agak rusak karena ada yang ingin membunuh ular di dalam gubuk,” ungkap Ranti (16), siswi kelas XI IPA SMA Daya Pelita Sidas.
Gubuk yang mereka bangun masih bisa ditembus hujan. Sering kali mereka tidak bisa melanjutkan mengirim tugas karena hujan. Kalau tetap bertahan di gubuk saat hujan, barang bawaan basah kuyup.
Dengan kondisi seperti itu, masih ada tantangan lain. Pernah setengah hari di atas bukit, sinyal internet tidak juga nyangkut. Tugas pun gagal dikirim. ”Terpaksa menunda mengirim tugas besoknya. Guru bisa memahami kesulitan kami,” kata Ranti.
Ia berharap sinyal internet dapat diakses hingga ke kampung mereka sehingga di lain waktu, jika terjadi situasi seperti sekarang, mereka tetap dapat belajar daring dari rumah. Berat kalau harus ke bukit terus. ”Per bulan sekitar 10 GB kuota internet yang diperlukan,” ujarnya.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, mereka tetap semangat. Ranti yang selalu masuk tiga besar di sekolahnya bercita-cita menjadi polisi wanita. Matematika adalah pelajaran yang Ranti senangi. Ia kerap mendapatkan nilai 80.
Frans Mandagi, salah satu guru di SMA Daya Pelita Sidas, kerap menyemangati para siswanya. Ia memaklumi jika murid-murid terlambat mengumpulkan tugas.
”Tidak apa-apa, yang penting tetap memiliki niat teguh belajar. Meski sulit, mereka tetap berusaha mengumpulkan tugas tepat waktu,” ujar Frans.
Alternatif lain, jika sulit mengumpulkan tugas menggunakan Whatsapp, tugas dikerjakan di buku. Setelah masuk bisa dikumpulkan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalbar Suprianus Herman mengatakan, mayoritas SMA/SMK di Kalbar sudah bisa belajar daring. Dinas pendidikan juga sudah membuat aplikasi belajar.
Persoalannya, tempat tinggal siswa banyak yang tanpa sinyal dan listrik. ”Dalam kondisi seperti itu, tergantung kreativitas kepala sekolah dan guru,” ujarnya.
Estafet tugas
Untuk wilayah-wilayah yang lebih sulit sinyal internet, guru mengantar tugas kepada perwakilan siswa. Lalu, perwakilan siswa itu mengantar tugas kepada siswa lain di kampung.
Kisah itu jamak terjadi di pedalaman Kalbar. Selain mengantar tugas ke rumah siswa, ada guru yang menitipkan tugas kepada kurir untuk dikirimkan kepada siswa yang berada di ladang mengikuti orangtuanya.
Di sejumlah sekolah, guru biasa mengantarkan sendiri soal ke rumah siswa. Bahkan, saat pengumuman kelulusan SMA beberapa waktu lalu, ada guru mengantarkan amplop kelulusan ke rumah siswa.
Tak sedikit guru mengendarai sepeda motor masuk ke kampung-kampung melintasi hutan, jalan berlumpur dan licin diguyur hujan. Sebab, siswa tidak bisa melihat pengumuman kelulusan secara daring akibat keterbatasan jaringan internet dan listrik.
Menurut Herman, di tengah situasi saat ini, kreativitas dan inovasi para kepala sekolah dan guru sangat menentukan. ”Inovasi tidak mesti harus daring atau digital. Situasi di setiap daerah berbeda-beda,” ujarnya.
Kita belum siap dengan pembelajaran secara daring.
Pengajar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Aswandi, menuturkan, itulah kendala yang dihadapi dunia pendidikan saat ini. Lepas dari kekurangannya, program belajar melalui televisi cukup membantu di daerah yang tanpa sinyal internet.
”Kita belum siap dengan pembelajaran secara daring. Efektivitasnya kurang. Daerah yang jaringan internetnya bagus pun terkendala. Pengeluaran pulsa meningkat, muncul kendala lain,” kata Aswandi.
Di tengah situasi ini, pandemi Covid-19 ternyata menguak banyak hal lain. Selain menebar kengerian terkait penularan virus SARS-CoV-2, ternyata masih ada pekerjaan rumah lain bagi pemerintah, di antaranya keterhubungan jaringan internet.
Apabila terwujud, tak perlu lagi para siswa generasi muda bangsa menghabiskan waktu dan risiko menuju ”bukit sinyal”.