Covid-19 yang kini melanda mengingatkan pada wabah di zaman Kerajaan Kahuripan. Sekitar 1.000 tahun lalu, Calon Arang sakit hati dan menyebarkan wabah ke seantero Kahuripan. Masyarakat Jawa mengingatnya hingga kini.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·6 menit baca
”Isuk loro sore mati, sore loro isuk mati”. Pagi sakit sore meninggal, sore sakit pagi meninggal,” begitu kira-kira gambaran saat Calon Arang menebar teluh berupa penyakit kepada rakyat Kahuripan, di abad XI. Cerita itu ditulis 300 tahun kemudian di era Majapahit dalam ”Serat Calon Arang”.
Pandemi Covid-19 yang kini mewabah seakan kembali mengingatkan sebagian orang pada sosok janda yang berasal dari Desa Girah itu. Calon Arang akhirnya tewas di tangan Empu Baradah, yang diminta oleh Airlangga untuk mengalahkannya.
Calon Arang juga dikenal dengan nama Janda Girah karena tinggal di Desa Girah atau Gurah, di Kediri, Jawa Timur. Ia memiliki anak perempuan cantik bernama Ratna Menggali. Akibat perilaku kejam sang ibu yang menguasai ilmu hitam, membuat Ratna sulit mendapat jodoh. Tidak ada pemuda yang berani mendekatinya.
Calon Arang yang mengetahui hal itu kemudian marah. Dia pun menyebarkan penyakit dan kutukan hingga membuat banyak warga meninggal. Ritual itu dilakukan si rangda (janda-bahasa Jawa kuno) bersama empat pengikutnya. Ritual dilakukan di kala lingsir wengi (antara pukul 02.00-03.00). Lokasinya di pekuburan dan perempatan jalan dekat tempat tinggalnya.
”Ritual itu disertai tarian religis dalam rangka tantra karena Calon Arang memuja Durga. Gerakannya sampai akrobatik. Dalam ritual itu mayat-mayat dihidupkan lagi,” ujar sejarawan Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono.
Menurut Dwi, teluh yang disebar oleh Calon Arang berupa penyakit. Korbannya bukan individu, melainkan jamak. Teluh disebar ke segala penjuru, utamanya pusat pemerintahan di mana Airlangga memimpin.
Mengenai bagaimana sepak terjang Calon Arang secara utuh, ada sejumlah artikel yang menceritakannya. Ada pula yang mengaitkannya dengan cerita Calon Arang sebagai asal kesenian rangda dan leak di Bali.
Legenda ini pun menarik sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang kemudian menulis ”Cerita Calon Arang” yang diterbitkan tahun 2009. Pramoedya bahkan menggambarkan janda tua ini sebagai pemilik teluh hitam yang menghisap darah manusia. Ia menghabisi semua lawan politiknya.
Naskah Calon Arang juga pernah diterjemahkan dari bahasa Jawa ke bahasa Belanda oleh Prof Dr Poerbatjaraka. Mengutip Wikipedia, di Belanda, ada salinan teks latin dalam Jurnal Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde 82 (1926) halaman 110-180.
Meski perlu kajian lebih lanjut apakah legenda itu benar-benar ada, di Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, terdapat situs masa lalu yang dikenal dengan sebutan Situs Calon Arang.
Penyebutan situs dengan nama Calon Arang bukan tanpa sebab. Nama Girah, tempat si janda tinggal (dalam Serat Calon Arang), dinilai identik dengan Gurah. Gurah merupakan salah satu dari 26 kecamatan di Kabupaten Kediri yang kehidupan sebagian besar masyarakatnya agraris.
Sayangnya, untuk sementara waktu, situs yang punya nama lain Nateng Girah itu saat ini belum bisa dikunjungi. Sejak pertengahan Maret sampai batas waktu yang belum ditentukan, akses masuk ke area situs yang berada di ujung desa—di tengah sawah—ditutup oleh pemerintah desa dalam rangka mencegah persebaran Covid-19.
Di tempat ini, delapan tahun lalu Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur bersama Balai Arkeologi Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Kediri melakukan ekskavasi. Situs Calon Arang terdiri atas beberapa artefak berbahan batu andesit, seperti umpak, ambang pintu, lumpang, dan arca.
”Hasil ekskavasi menemukan struktur diduga permukiman masa Majapahit, bukan Kahuripan. Sisa peninggalan masa lalu itu akhirnya dinamai Situs Sukorejo, menyesuaikan dengan nama desa tempat ia berada,” kata arkeolog BPCB Jawa Timur, Wicaksono Dwi Nugroho, Kamis (30/4/2020). Meski berganti nama, papan Calon Arang masih terpampang di tepi Jalan Raya Pare-Kediri.
Enam tahun setelah ekskavasi atau pada 2018, BPCB kembali menata situs tersebut. Penataan dilakukan karena saat itu muncul konflik di masyarakat terkait keberadaan bangunan baru (di area situs) yang tidak ada hubungannya dengan situs tersebut.
Sebelumnya, situs yang lokasinya berada 13 kilometer (jarak tempuh) di sisi timur laut Kota Kediri itu juga sempat mendapatkan perlakuan jahil dari orang tidak dikenal. Beberapa kali situs ini diwarnai aksi vandalisme hingga membuat pihak berwenang turun tangan.
Keterkaitan Calon Arang dengan Kediri, khususnya Desa Sukorejo, dan kebenaran legendanya ditelisik oleh sejarawan Dwi Cahyono.
Dwi menyebut ada dua sumber yang bisa digunakan untuk menganalisis. Pertama, dalam Serat Calon Arang itu sendiri. Selain ada kesamaan nama Girah dengan Gurah, ada juga jejak Durgapuja (pemuja Durga) di kawasan itu. Tidak jauh dari Situs Calon Arang terdapat Candi Tegowangi. Di candi itu terdapat relief Sudamala dengan Durga sebagai tokoh.
Hasil ekskavasi menemukan struktur diduga permukiman masa Majapahit, bukan Kahuripan.
”Kalau begitu, di masa lalu, di situ terdapat penganut Durgapuja. Boleh jadi di daerah di mana Situs Calon Arang dulunya merupakan komunitas yang memuja Durga. Mungkin salah satu pemimpinnya adalah janda yang dikisahkan punya anak cantik itu,” kata Dwi.
Di sisi lain, kata Dwi, di kawasan itu juga ada Situs Budhisme yang lokasinya tidak jauh dari Arca Totok Kerot (Dwarapala). Hal ini erat kaitannya dengan Empu Baradah yang digambarkan sebagai penganut Buddha Mahayana.
Catatan Kompas, ekskavasi terakhir oleh Pusat Arkeologi Nasional tahun 2019 juga menyimpulkan bahwa Situs Adan-adan (tidak jauh di sisi utara Situs Calon Arang) adalah kompleks Candi Buddha.
”Analisis lainnya ada legenda setempat tentang seorang janda jahat yang punya anak cantik. Legenda itu masih ada di masyarakat meski tidak secara eksplisit menyebut nama Calon Arang,” katanya.
Selain Serat Calon Arang, Dwi menyebut ada data tekstual berupa Prasasti Pucangan berangka tahun 1041/1042 yang dikeluarkan Airlangga. Prasasti itu memuat balada Airlangga, salah satunya menyinggung penguasa perempuan (lawan) yang punya kekuatan seperti raksasa. Perempuan itu berasal dari seberang selatan (kemungkinan Sungai Brantas).
Mengacu pada prasasti itu, perempuan sakti yang dimaksud bisa mengacu pada Calon Arang. Sementara tempatnya, yang berada di selatan Brantas, bisa berarti Kediri tetapi juga daerah lain, seperti Tulungagung.
”Di Tulungagung sendiri terdapat sebuah daerah yang memiliki banyak ’orang pintar’. Jadi selain Kediri, juga ada klaim Tulungagung yang menjadi asal Calon Arang,” katanya.
Terlepas dari perdebatan yang melingkupinya, legenda itu menunjukkan kepada kita bahwa wabah penyakit sudah ada sejak dulu. Entah itu yang muncul secara wajar ataupun rekayasa seseorang. Di masyarakat Jawa sendiri, ritual terkait upaya menolak bala (penyakit) telah lama dilakukan.
Di Kediri yang wilayahnya masuk kultur Mataraman sudah mengenal ritual, salah satunya barikan. Pada akhir tahun 1980-an, di salah satu desa, di Kediri utara, masih kerap ditemui ritual barikan.
Saat itu, warga berbondong membawa nasi atau makanan lain dengan wadah nampan ke tempat yang dianggap punya nilai lebih, seperti pinggir desa atau perempatan jalan. Tujuannya, berdoa bersama menghalau wabah yang tengah menimpa desa.
Pageblug, begitu warga desa biasa menyebut. Jika dalam satu pekan ada dua-tiga warga, bahkan lebih, meninggal dunia secara berturut-turut, ada kecurigaan ke arah situ. Tanpa melihat hasil diagnosa dokter (kalau ada) yang menjadi penyebab kematian warga, mereka langsung menggelar barikan.
Doa dipimpin oleh salah satu tokoh masyarakat, biasanya seorang modin atau kepala urusan keagamaan di jajaran pamong desa. Seusai ritual, makan bersama dilakukan di lokasi. Tidak sedikit pula yang langsung membawa pulang makanan yang mereka bawa.
Terlepas kemudian ada hasilnya atau tidak, barikan telah menjadi tradisi masyarakat yang berlangsung puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Masyarakat subsuku Tengger yang bermukim di sekitaran Taman Nasional Bromo Tengger Semeru hingga kini masih menyelenggarakan Barikan di saat desa lain sudah mulai meninggalkannya.
Sejumlah desa di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, dan daerah lainnya masih sering menggelar ritual ini secara berkala. Tentu saja, salah satu tujuannya memohon kepada Tuhan agar selalu melindungi mereka dari marabahaya.