Warga Kabupaten Bandung Khawatir Banjir Susulan di Tengah Pandemi Covid-19
Potensi banjir di tiga kecamatan di Kabupaten Bandung masih tinggi hingga akhir Mei 2020. Tidak hanya berjaga-jaga apabila Citarum meluap kembali, warga terdampak juga diminta mewaspadai penularan pandemi Covid-19.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Potensi banjir di tiga kecamatan di Kabupaten Bandung masih tinggi hingga akhir Mei 2020. Tidak hanya berjaga-jaga apabila Citarum meluap kembali, warga terdampak juga diminta mewaspadai penularan pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bandung, banjir pada awal Mei ini adalah yang kelima selama 2020. Sebanyak 21.000 rumah terendam banjir dan berdampak pada lebih dari 80.000 jiwa warga Kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, dan Kecamatan Bojongsoang. Penyebabnya, luapan Sungai Citarum yang mengalami pendangkalan dan tercemar sampah.
Hingga Minggu (3/5/2020), lumpur sisa banjir menutupi jalanan dan permukiman warga terdampak, di antaranya sebagian Desa Dayeuhkolot di Kecamatan Dayeuhkolot dan Kelurahan Andir di Kecamatan Baleendah. Kedua wilayah ini berada di bantaran Sungai Citarum.
Sebagian warga membersihkan rumah yang masih berlumpur. Warga lainnya membersihkan jalan agar bisa dilalui kendaraan. Ketebalan lumpur hingga lebih dari 20 sentimeter menyulitkan aktivitas warga.
Martin (50), warga RW 005 Desa Dayeuhkolot, menuturkan, ketinggian air sempat mencapai 2 meter. Akibatnya, dia bersama empat anggota keluarganya tinggal di lantai dua darurat rumahnya.
”Saya baru bisa keluar rumah Sabtu siang. Saat itu, banjir setinggi 1 meter. Sebelum itu banjirnya sangat dalam, saya bisa tenggelam kalau mau keluar,” ujarnya sambil menunjuk bekas air di tembok luar salah satu rumah warga setinggi 2 meter.
Meski kini telah surut, Martin khawatir bakal terjadi banjir susulan. Dia beserta keluarga ingin sekali mengungsi ke tempat orangtuanya di Cianjur. Namun, rencana itu dibatalkan karena ada larangan mudik saat pandemi Covid-19.
”Biasanya kalau banjir kami mengungsi ke sana (Cianjur). Tapi karena ada Covid-19 ini, kami tidak bisa ke mana-mana. Hanya bisa pasrah dan menunggu bantuan dari pemerintah. Bantuan kini belum datang,” ujarnya.
Tidak hanya kesulitan mengungsi, warga yang bertahan juga khawatir terpapar penyakit. Rosita (34), warga RW 005 Desa Dayeuhkolot, khawatir anak-anaknya sakit, terutama saat wabah Covid-19 masih belum teratasi.
”Anak paling kecil saya berumur 2,5 tahun. Kalau setiap hari tidur di tempat lembab, bakal rentan sakit. Tapi, saya rasa ini lebih baik daripada di pengungsian. Saya takut anak saya terpapar Covid-19. Tapi kalau masih hujan seperti ini, saya juga khawatir banjir susulan,” ujarnya.
Karena ada Covid-19 ini, kami tidak bisa ke mana-mana. Hanya bisa pasrah dan menunggu bantuan dari pemerintah. Bantuan kini belum datang.
Kepala Stasiun Geofisika Kelas I Bandung Tony Agus Wijaya memaparkan, kondisi cuaca serupa berpotensi terjadi hingga akhir Mei. Kecenderungan cuaca ekstrem berupa hujan lebat masih dapat terjadi selama peralihan musim ini.
Tidak hanya hujan deras, Tony menuturkan, angin kencang dalam waktu singkat juga berpotensi terjadi pada masa pancaroba. Karena itu, dia mengimbau warga untuk memangkas cabang pohon yang terlalu rimbun sehingga tidak tumbang.
”Menurut prakiraan, musim hujan di Bandung Raya dan sebagian besar wilayah Jabar akan berakhir pada akhir Mei. Jadi, saat ini masih mengalami musim peralihan atau pancaroba. Pada masa ini, cuaca ekstrem masih berpotensi terjadi. Jadi, warga diminta untuk waspada,” ujarnya.