Jejak Sengkarut Data Korona di Yogyakarta
Penanganan Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta diwarnai karut-marut dalam pendataan kasus kematian. Padahal, data kematian menjadi indikator penting untuk melihat kondisi penyebaran Covid-19 secara utuh.

Petugas menggunakan alat pelindung diri saat memakamkan jenazah Guru Besar Universitas Gadjah Mada Iwan Dwiprahasto, Selasa (24/3/2020), di pemakaman keluarga besar UGM di daerah Sawitsari, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Iwan merupakan pasien positif Covid-19 sehingga jenazahnya harus dimakamkan dengan tata cara khusus.
Sengkarut pendataan kasus Covid-19 yang belakangan disoal di tingkat nasional, jejaknya dapat dirunut dari daerah, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketidakselarasan pendataan kasus kematian pasien menyulut tanya tentang transparansi informasi serta efektivitas kebijakan pemerintah.
Persoalan pendataan itu antara lain tampak dalam kasus kematian seorang laki-laki berinisial BS. Warga Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, DIY, itu awalnya mengalami batuk-batuk pada Minggu (22/3/2020). Sehari kemudian, pria berusia 47 tahun itu memeriksakan dirinya ke dokter. Namun, kondisinya tak kunjung membaik.
Lima hari setelah mulai batuk-batuk, BS merasakan sesak napas. Dia pun memeriksakan diri ke puskesmas di Kecamatan Ngaglik. Namun, karena masih belum sembuh, BS memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit di Kota Yogyakarta pada Sabtu (28/3/2020).
Usai menjalani pemeriksaan, BS dinyatakan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP) terkait penyakit Covid-19. Berdasarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan pada 27 Maret 2020, ada beberapa kriteria orang dinyatakan sebagai PDP.
Yang pertama, mereka yang mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) disertai demam 38 derajat celcius atau lebih, serta mengalami salah satu gejala penyakit pernapasan, misalnya batuk, sesak napas, sakit tenggorokan, pilek, atau pneumonia (radang paru-paru). Mereka juga harus memiliki riwayat perjalanan di negara atau wilayah yang melaporkan transmisi lokal Covid-19.
Baca juga: Instruksi Sultan, Pemudik dari Zona Merah Dilarang Masuk DIY

Kedua, orang yang mengalami demam dengan suhu minimal 38 derajat celcius atau mengalami ISPA, serta memiliki memiliki riwayat kontak dengan pasien positif Covid-19 pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala.
Ketiga, orang dengan ISPA berat atau pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.
Menurut RS, istri dari BS, pernyataan status PDP itu hanya disampaikan secara lisan oleh petugas rumah sakit setelah melihat hasil rontgen dan pemeriksaan darah BS. Meski telah dinyatakan sebagai PDP, BS tidak menjalani isolasi di rumah sakit karena saat itu tidak ada ruang isolasi yang tersedia. Oleh karena itu, BS kemudian diminta pulang dan menjalani isolasi mandiri di rumah.
”Bapak dinyatakan PDP dan harus isolasi, tetapi tidak ada kamar isolasi. Akhirnya diminta isolasi mandiri di rumah,” kata RS melalui pesan singkat yang dikirimkan pada media, Rabu (22/4/2020).
Pernyataan status PDP itu hanya disampaikan secara lisan oleh petugas rumah sakit setelah melihat hasil rontgen dan pemeriksaan darah BS.
Pada Selasa (31/3/2020), BS mengalami sesak napas berat dan sempat tak sadarkan diri. Dia kemudian dibawa ke rumah sakit di Sleman. Namun, BS akhirnya meninggal.
”Tanggal 31 Maret itu, Bapak (BS) mengalami sesak napas berat dan sempat tidak sadarkan diri dan akhirnya Tuhan memanggil,” ujar RS. Dia menambahkan, dalam surat keterangan yang diberikan ke pihak keluarga, tercantum informasi bahwa BS meninggal sewaktu dibawa ke rumah sakit.
Baca juga: Sorak-sorai Warga bagi Pejuang di Garda Terdepan

Warga membawa bermacam poster untuk menyambut tenaga medis yang akan mulai menempati Gedung Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Yogyakarta di Kelurahan Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta, Kamis (16/4/2020). Penyambutan tersebut merupakan wujud dukungan masyarakat terhadap para tenaga medis yang berjibaku menangani pasien terdampak pandemi Covid-19.
Menurut RS, sebelum meninggal, suaminya belum sempat diambil sampel swab (usap) tenggorokan dan hidung. Pengambilan swab itu merupakan prosedur yang harus dilakukan pada pasien berstatus PDP. ”Belum sempat diambil swab karena alat tesnya katanya habis,” ungkap RS.
Oleh karena itu, belum ada spesimen atau sampel swab dari BS yang bisa diperiksa di laboratorium. Dengan kondisi itu, hingga BS meninggal, tidak bisa dipastikan apakah dia benar-benar menderita penyakit Covid-19 atau tidak.
Menurut RS, suaminya itu memiliki penyakit bawaan asma dan hipertensi. Namun, setelah BS meninggal, kondisi keluarganya dipantau oleh petugas puskesmas setempat. Mereka juga diminta menjalani isolasi mandiri selama 14 hari di rumah.
Menurut RS, sebelum meninggal, suaminya itu belum sempat diambil swab (usap) tenggorokan dan hidung. Pengambilan swab itu merupakan prosedur yang harus dilakukan pada pasien berstatus PDP.
Selain itu, anggota keluarga BS juga diminta menjalani rapid test atau tes cepat sebagai pemeriksaan awal, termasuk RS. Tes cepat pertama yang dijalani RS ternyata menunjukkan hasil reaktif. Beberapa hari kemudian, perempuan itu menjalani rapid test kedua dan hasilnya masih reaktif.
Hasil reaktif menjadi indikasi bahwa orang tersebut kemungkinan terinfeksi virus korona jenis baru yang menjadi penyebab Covid-19. Oleh karena itu, RS kemudian diminta menjalani isolasi di sebuah rumah sakit di Sleman. RS kemudian juga menjalani pengambilan sampel swab untuk memastikan apakah dia menderita Covid-19 atau tidak.

Dinyatakan negatif
Meski belum menjalani swab, BS tetap dimasukkan ke dalam daftar PDP di wilayah DIY. Hal ini karena pemeriksaan rumah sakit menyatakan BS masuk dalam kategori PDP. Bahkan, pemakaman BS juga menggunakan protokol pemakaman yang sama dengan pasien penyakit Covid-19.
Namun, berdasarkan data Pemerintah Daerah DIY yang dipublikasikan di situs corona.jogjaprov.go.id, BS justru masuk dalam daftar PDP dengan hasil pemeriksaan negatif Covid-19. Dalam situs corona.jogjaprov.go.id, Pemda DIY memang memublikasikan daftar PDP dan pasien positif Covid-19 yang ada di setiap kecamatan di provinsi tersebut.
Dalam daftar PDP yang dipublikasikan di situs itu, terdapat PDP nomor 289 dengan jenis kelamin laki-laki, usia 47 tahun, dan berasal dari Kecamatan Ngaglik, Sleman. Ciri-ciri PDP 289 itu sama dengan ciri-ciri BS.
Saat dikonfirmasi, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Sleman Novita Krisnaeni, membenarkan bahwa PDP 289 adalah BS. Novita juga mengakui, BS belum diambil swab sebelum meninggal. Namun, saat ditanya kenapa BS yang belum diambil swab justru dimasukkan kategori pasien negatif Covid-19, Novita tak memberi jawaban jelas.
Baca juga: Titik Kritis Membendung Laju Pandemi di Yogyakarta

Pengguna sepeda melintas di depan Rumah Sakit Lapangan Khusus Covid-19 Kabupaten Bantul di Desa Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul, DIY, Senin (13/4/2020). RS tersebut berkapasitas sekitar 100 pasien dan ditujukan untuk merawat pasien PDP ringan. RS tersebut memanfatkan bangunan yang sebelumnya digunakan untuk Puskesmas Bambanglipuro.
Novita hanya menyatakan, pada awalnya, PDP yang belum diambil swab tetap dinyatakan sebagai PDP. Namun, belakangan, PDP yang belum diambil swab tidak dimasukkan dalam kategori PDP.
”Kebijakan dulu memang kalau PDP belum di-swab tetap dianggap PDP. Tapi kebijakan sekarang, kalau PDP, tapi belum di-swab berarti tidak termasuk PDP,” ujar Novita dalam pesan singkat melalui aplikasi Whatsapp.
Saat ditanya kapan kebijakan itu mulai diberlakukan, Novita lagi-lagi tak menjawab secara tegas. Dia hanya mengatakan bahwa kebijakan penanganan Covid-19 bersifat sangat dinamis. ”Kebijakan penanganan Covid-19 sangat dinamis,” tuturnya.
Pada awalnya, PDP yang belum diambil swab tetap dinyatakan sebagai PDP. Namun, belakangan, PDP yang belum diambil swab tidak dimasukkan dalam kategori PDP.
Dimasukkannya BS ke dalam daftar pasien negatif Covid-19 itu tentu menimbulkan pertanyaan. Sebab, jika seorang pasien meninggal sebelum diambil swab, seharusnya dia tak bisa dinyatakan positif atau negatif Covid-19.
Oleh karena itu, seharusnya BS tidak bisa dimasukkan dalam daftar pasien negatif Covid-19. Lagi pula, apa dasar memasukkan BS ke dalam daftar pasien negatif Covid-19 padahal belum ada pemeriksaan laboratorium?
Baca juga: Sumbatan Birokrasi Menghadang Informasi Pandemi

Tak tercatat
Selain kasus BS, pendataan kematian di DIY selama masa pandemi Covod-19 juga diwarnai persoalan lain. Salah satunya dugaan sejumlah kasus kematian PDP yang tidak tercatat dalam data Pemda DIY.
Kesimpulan ini diperoleh setelah membandingkan data kematian yang diperoleh dari sejumlah pihak terkait data pasien positif Covid-19 dan PDP yang dipublikasikan Pemda DIY melalui situs corona.jogjaprov.go.id.
Data pasien positif dan PDP yang dipublikasikan Pemda DIY di situs corona.jogjaprov.go.id itu memang tidak menampilkan identitas lengkap, tetapi hanya menampilkan jenis kelamin, usia, dan asal kecamatan. Namun, tiga keterangan itu sudah cukup sebagai bahan awal melakukan pengecekan data kematian.
Adapun data pembanding diperoleh dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Sleman, Tim Reaksi Cepat (TRC) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY, serta Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Gunung Kidul, DIY.
Baca juga: Data Korona Sengkarut Membuat Persoalan Makin Kusut

Sebuah mobil melintasi tanda penyekat jalan alternatif, di Jalan Magelang-Yogyakarta, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, DIY, Jumat (24/4/2020). Kendaraan diwajibkan melalui jalan utama agar dapat dilakukan pemeriksaan terkait penapisan guna mencegah penyebaran Covid-19 di DIY.
Berdasarkan data dari sejumlah lembaga itu, tercatat ada 60 kasus kematian di DIY pada 24 Maret hingga 26 April 2020. Sebagian orang yang meninggal itu merupakan pasien positif Covid-19, tetapi ada juga yang berstatus PDP dan orang dalam pemantauan (ODP). Ada yang kematiannya disebut tidak terkait Covid-19, tetapi ada pula yang tidak disertai keterangan jelas.
Keterangan mengenai status itu diperoleh dari laporan instansi yang menjadi sumber data. Setelah dilakukan pengecekan, dari 60 korban meninggal itu, sebanyak 24 korban tercatat di data Pemda DIY, delapan orang diduga tidak tercatat dalam data Pemda DIY, dan 28 orang lain belum bisa dipastikan apakah sudah masuk data Pemda DIY atau belum.
Sebanyak delapan orang meninggal yang diduga tidak tercatat itu berstatus PDP. Oleh karena itu, seharusnya data mereka sudah masuk ke dalam daftar PDP yang dipublikasikan Pemda DIY di situs corona.jogjaprov.go.id.
Namun, berdasarkan pengecekan di situs corona.jogjaprov.go.id selama beberapa hari terakhir, data delapan PDP yang meninggal itu belum masuk dalam daftar yang dipublikasikan di situs tersebut. Dari delapan PDP meninggal yang diduga tak tercatat itu, sebanyak tiga orang berasal dari Kota Yogyakarta, dua orang dari Sleman, satu orang dari Bantul, satu orang dari Gunungkidul, dan satu orang dari Kulon Progo.
Berdasarkan pengecekan di situs corona.jogjaprov.go.id selama beberapa hari terakhir, data delapan PDP yang meninggal itu belum masuk dalam daftar yang dipublikasikan di situs tersebut.
Salah seorang PDP meninggal yang diduga belum tercatat di data Pemda DIY adalah TH (43), perempuan warga Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. TH meninggal pada Jumat (17/4/2020) setelah menjalani perawatan di sebuah rumah sakit swasta di Sleman. Dalam laporan pemakaman TH, perempuan itu disebut berstatus sebagai PDP.
Kepala Desa Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi membenarkan adanya warga Panggungharjo berinisial TH yang meninggal. Wahyudi menuturkan, setelah TH meninggal, pihak rumah sakit meminta jenazah almarhumah segera dimakamkan tanpa perlu disemayamkan di rumah.
”Pihak rumah sakit menghendaki dilakukan pemakaman secara langsung,” kata Wahyudi. Proses pemakaman TH dilakukan sesuai prosedur penanganan jenazah dengan penyakit Covid-19. Dalam proses pemakaman, seluruh petugas juga memakai alat pelindung diri (APD) lengkap.
Baca juga: Menyusun Data, Memutus Virus Korona

Kepala Desa Panggungharjo, Wahyudi Anggoro Hadi, memberi keterangan pada media di Balai Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (12/4/2020). Desa Panggungharjo merupakan salah satu desa yang telah mengambil sejumlah langkah untuk menanggulangi penyebaran penyakit Covid-19.
Wahyudi menambahkan, berdasarkan data yang dimilikinya, TH tidak masuk dalam daftar warga Panggungharjo yang berstatus PDP. Pemerintah Desa Panggungharjo juga tidak menerima pemberitahuan dari Dinas Kabupaten Bantul dan puskesmas bahwa TH berstatus sebagai PDP.
”Biasanya kami mendapatkan informasi dari Dinas Kesehatan Bantul terkait warga yang berstatus ODP maupun PDP di Panggungharjo. Dari data yang kami peroleh, yang bersangkutan tidak termasuk PDP,” ungkap Wahyudi.
Kepala dukuh tempat TH tinggal, Edi Sarwono (54), mengatakan, TH memiliki riwayat penyakit asam lambung, gangguan paru-paru, penyakit jantung, dan gangguan ginjal. Ia menambahkan, TH dan suaminya tidak memiliki riwayat bepergian ke luar kota.
Pelaporan
Komandan Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY Pristiawan Buntoro mengatakan, pihaknya terlibat aktif dalam pemakaman jenazah yang diduga terkait Covid-19. Keterlibatan itu terjadi karena TRC BPBD DIY merupakan bagian dari Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY.
Apalagi, menurut Pristiawan, pada masa awal pandemi Covid-19 di DIY, belum ada lembaga yang secara khusus bertugas melakukan pemakaman jenazah yang diduga terkait Covid-19. ”Peran itu (memakamkan jenazah terkait Covid-19) kami ambil setelah melihat peningkatan jumlah jenazah yang harus dimakamkan dengan prosedur Covid-19,” katanya.

Komandan Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Pristiawan Buntoro memberi keterangan kepada media, Kamis (23/4/2020), di Markas TRC BPBD DIY, Yogyakarta.
Pristiawan mengatakan, berdasarkan standar yang ditetapkan Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY, ada beberapa kriteria jenazah yang harus dimakamkan dengan prosedur Covid-19. Selain jenazah pasien positif Covid-19, jenazah PDP juga harus dimakamkan dengan prosedur Covid-19.
Di sisi lain, pemakaman dengan prosedur Covid-19 juga dilakukan apabila rumah sakit menyatakan bahwa pasien yang meninggal itu kemungkinan mengidap penyakit menular. ”Kalau deskripsinya dari rumah sakit mengatakan bahwa jenazah itu kemungkinan berhubungan dengan penyakit menular, menjadi standar kami untuk memakamkan dengan prosedur Covid-19,” ungkap Pristiawan.
Ia menyatakan, data seluruh jenazah yang dimakamkan dengan prosedur Covid-19 itu secara rutin dilaporkan kepada Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY. Oleh karena itu, seharusnya ada kesamaan antara data yang dimiliki TRC BPBD DIY dan data di situs resmi Pemda DIY yang beralamat di corona.jogjaprov.go.id. Namun, fakta di lapangan tidak demikian.
Seharusnya ada kesamaan antara data yang dimiliki TRC BPBD DIY dan data di situs resmi Pemda DIY yang beralamat di corona.jogjaprov.go.id.
Terkait mekanisme pelaporan ini, Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun Setyaningastutie mengatakan, jika ada PDP yang meninggal, rumah sakit harus melaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota. Setelah itu, dinas kabupaten/kota harus meneruskan laporan tersebut ke Dinas Kesehatan DIY.
Menurut Pembajun, jika ada laporan dari dinas kabupaten/kota, data PDP yang meninggal pasti sudah masuk ke dalam pendataan Pemda DIY. ”Kalau kabupaten/kota tidak melapor ke DIY, kami enggak punya datanya. Namun, kalau mereka melapor, kami pasti punya datanya. Saya pertanyakan juga, kalau tidak ada datanya, berarti kabupaten/kota tidak mendata?” ungkapnya.
Baca juga: Solidaritas pada Masa Korona dari Yogyakarta

Kepala Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Pembajun Setyaningastutie memberi keterangan pada wartawan, Senin (23/3/2020), di kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta.
Meski demikian, Pembajun mengakui, ada sejumlah PDP yang meninggal tanpa sempat diambil swab. Kondisi ini antara lain terjadi jika PDP datang ke rumah sakit dalam kondisi kritis. ”Memang belum (semua diambil swab). Namun, kami semaksimal mungkin mengambil swab,” katanya.
Pembajun menambahkan, untuk PDP yang meninggal sebelum menjalani swab, mereka sebenarnya lebih tepat digolongkan sebagai orang yang dicurigai sebagai PDP. ”Kalau dia belum sempat dilakukan swab, kami hanya bisa mengatakan bahwa dia dicurigai PDP,” ujarnya.
Namun, dalam Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 terbitan Kemenkes pada 27 Maret 2020, tidak ditemukan adanya kategori dicurigai PDP. Dalam pedoman hasil revisi keempat itu, hanya ada kategori PDP, ODP, dan orang tanpa gejala (OTG).
Dalam Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 terbitan Kemenkes pada 27 Maret 2020, tidak ditemukan adanya kategori dicurigai PDP.
Indikator penting
Manajer Program Geospatial Epidemiology Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Jakarta, Iqbal Elyazar, mengatakan, data jumlah kematian merupakan indikator penting untuk melihat kondisi penyebaran Covid-19 di Indonesia. Ia bahkan menyebut, data jumlah kematian merupakan indikator yang lebih penting dibandingkan data jumlah kasus positif Covid-19 yang dilaporkan pemerintah.
Hal ini karena jumlah kasus positif yang dilaporkan pemerintah sangat bergantung pada jumlah pemeriksaan spesimen yang sudah dilakukan. Padahal, kapasitas pemeriksaan yang dimiliki Indonesia dinilai masih sangat terbatas.
”Kematian itu adalah indikator penting, mungkin lebih penting dibandingkan indikator kasus karena indikator kasus itu sangat bergantung pada jumlah pemeriksaan,” ujar Iqbal.
Ia menuturkan, dengan keterbatasan kapasitas pemeriksaan itu, jumlah pasien positif yang dilaporkan pemerintah sebenarnya tidak bisa menggambarkan situasi pandemi Covid-19 secara utuh. Oleh karena itu, data jumlah kematian menjadi penting untuk dicermati agar penyebaran Covid-19 di suatu wilayah bisa dipahami dengan komprehensif.

Petugas menggunakan alat pelindung diri saat pemakamkan jenazah Guru Besar Universitas Gadjah Mada Iwan Dwiprahasto, Selasa (24/3/2020), di pemakaman keluarga besar UGM di daerah Sawitsari, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Iwan merupakan pasien positif Covid-19 sehingga jenazahnya harus dimakamkan dengan tata cara khusus.
Iqbal menambahkan, data kematian yang harus diperhitungkan bukan hanya kematian pasien positif Covid-19, tetapi juga kematian para PDP dan ODP. Hal ini karena banyak PDP dan ODP yang meninggal itu belum bisa dipastikan penyebab kematiannya, apakah karena Covid-19 atau bukan.
”Harus dilihat dari PDP yang meninggal itu, berapa persen yang sudah diketahui hasilnya, berapa persen yang belum diketahui hasilnya, dan berapa persen yang tidak sempat diambil tesnya,” ungkap Iqbal.
PDP yang meninggal tapi belum diambil swab seharusnya dimasukkan ke dalam kategori khusus, bukan dicampur dengan kategori pasien negatif Covid-19.
Untuk PDP yang meninggal tapi belum diambil swab, Iqbal menilai, mereka tidak bisa dimasukkan ke dalam daftar pasien negatif Covod-19. Dia berpendapat, PDP yang meninggal tapi belum diambil swab seharusnya dimasukkan ke dalam kategori khusus, bukan dicampur dengan kategori pasien negatif Covid-19.
”Untuk yang meninggal tapi belum sempat dites, harus ada kategori sendiri, jangan dicampur dengan kategori negatif. Karena mungkin ada orang yang kontak dengan almarhum dan tugas dinas kesehatan adalah melacak orang yang kontak itu,” kata Iqbal.

Petugas yang menggunakan alat pelindung diri mendorong peti berisi jenazah Guru Besar Universitas Gadjah Mada Iwan Dwiprahasto, untuk diberangkatkan dari Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (24/3/2020). Iwan merupakan pasien positif Covid-19 sehingga jenazahnya harus diurus dengan tata cara khusus.
Iqbal mengatakan, jika PDP yang meninggal tapi belum diambil swab itu dimasukkan kategori negatif, maka dinas kesehatan tidak akan melakukan penelusuran terhadap orang yang melakukan kontak dengan sang pasien. Padahal, jika PDP yang meninggal itu ternyata positif Covid-19, bisa jadi dia telah menulari orang-orang sekitarnya.
Terkait kasus kematian di DIY yang diduga tidak tercatat di data pemda, Iqbal menuturkan, hal itu bisa jadi menggambarkan bahwa jumlah kasus Covid-19 yang riil, jauh lebih banyak daripada jumlah kasus yang terdata. Oleh karena itu, persoalan tersebut seharusnya mendapat perhatian serius.
Jika PDP yang meninggal tapi belum diambil swab itu dimasukkan kategori negatif, maka dinas kesehatan tidak akan melakukan penelusuran terhadap riwayat kontak sang pasien.
Di sisi lain, Iqbal menyebut, perlu juga dicermati besaran excess mortality, yakni selisih antara jumlah seluruh kematian di masa pandemi dengan jumlah seluruh kematian pada situasi normal. ”Kenapa terpaksa harus melihat excess mortality? Karena ada keterbatasan dari otoritas kesehatan untuk memeriksa,” tutur dia.
Untuk itu, Iqbal mengingatkan, pemerintah harus terbuka menyampaikan data terkait Covid-19, termasuk data jumlah kematian. Keterbukaan ini penting agar semua pihak, termasuk masyarakat, bisa memahami secara utuh kondisi penyebaran Covid-19.
Baca juga: Menanti Transparansi Data Covid-19

”Kita sebagai masyarakat juga berhak untuk tahu, sebenarnya besaran masalahnya seperti apa. Apabila ini tidak disampaikan secara terbuka, kita bisa underestimate (meremehkan) terhadap masalah, jadi masyarakat juga tidak tergugah untuk berhati-hati,” ujar Iqbal.
Selain itu, pemerintah juga harus benar-benar melakukan pendataan secara akurat terkait kasus Covid-19. Akurasi data ini sangat dibutuhkan untuk mengukur seberapa efektif penanganan Covid-19 yang sudah dilakukan.
”Salah satu indikator penilaian efektivitas intervensi itu kan jumlah kasus menurun dan jumlah kematian menurun. Namun, kalau jumlah kematian tidak benar angkanya, bagaimana bisa kita bilang intervensi kita berhasil?” ujar Iqbal.
Transparansi pendataan kasus Covid-19 menjadi kunci ketepatan pengambilan kebijakan pemerintah, sekaligus peningkatan pemahaman masyarakat secara utuh. Jangan sampai, fenomena gunung es yang terekam dari jejak-jejak kasus di lapangan membuat semua pihak lalai akan bahaya yang masih mengancam.