Siswa Tak Punya Gawai, Guru Madrasah di Grobogan Keliling Datangi Rumah Siswa
Di tengah pandemi, para guru tetap mendatangi siswa seminggu sekali untuk mengevaluasi apa yang telah dipelajari siswa selama seminggu. Setiap guru rata-rata membimbing siswa berkisar 30 menit hingga 1 jam.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
Kendala dalam pembelajaran jarak jauh atau PJJ masih ditemui di sejumlah daerah di Jawa Tengah, seperti Kabupaten Grobogan dan Blora. Itu antara lain terkait keterbatasan perangkat, akses internet, hingga ketidakmampuan ekonomi. Di tengah ancaman pandemi Covid-19, para guru memberanikan diri untuk berkeliling mendatangi rumah siswa.
Hal itu antara lain dialami oleh hampir separuh dari 250 siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Plus Al Hidayah, Karangrayung, Grobogan. Sejumlah siswa tinggal jauh dari pusat keramaian, bahkan sebagian di pinggiran hutan.
Adapun Kecamatan Karangrayung terletak di sebelah selatan Grobogan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Boyolali. Sejumlah desa di kecamatan tersebut berada di sekitar hutan dengan kondisi jalan yang ekstrem untuk dilewati kendaraan.
Kepala MTs dan MA Plus Al Hidayah, Karangrayung, Ahmad Zaki (42), dihubungi dari Semarang, Rabu (29/4/2020), mengatakan, lokasi rumah siswa yang jauh dari pusat keramaian membuat internet sulit diakses. Bahkan, ada yang sama sekali tak memiliki gawai.
Lokasi rumah siswa yang jauh dari pusat keramaian membuat internet sulit diakses. Bahkan, ada yang sama sekali tak memiliki gawai.
Melalui rapat, Zaki dan para guru akhirnya membuat program untuk berkeliling ke rumah siswa yang kesulitan dalam PJJ. ”Ini kami fokuskan pada mata pelajaran yang memang membutuhkan penjelasan lebih, seperti Matematika dan IPA,” ujarnya.
Para siswa didatangi guru sekitar seminggu sekali sebagai evaluasi atas apa yang telah dipelajari selama seminggu. Setiap guru rata-rata membimbing siswa berkisar 30 menit hingga 1 jam. Dalam sehari, guru bisa membimbing 3-4 siswa.
Selain keterbatasan sinyal dan perangkat, sejumlah siswa juga terkendala ekonomi untuk membeli kuota internet. Apalagi, orangtua para siswa tersebut, khususnya kepala keluarga, merupakan perantau ke beberapa daerah di luar Jateng.
Zaki menyadari, program itu belum berjalan optimal karena sejumlah keterbatasan, seperti para guru yang juga perlu mengurus keluarganya. Namun, setidaknya, upaya itu diharapkan dapat mengurangi kesulitan sejumlah siswa yang kesulitan dalam PJJ. ”Kami akan terus melakukan kegiatan ini. Setelah Lebaran mudah-mudahan energi bisa lebih banyak sehingga pelaksanaannya lebih optimal,” ujar Zaki.
Guru SMKN 1 Blora Noer Chanief menuturkan, selama PJJ, para guru sebenarnya tak kesulitan dalam menyampaikan materi secara daring. Namun, justru siswa yang sulit memahami secara optimal karena tidak adanya interaksi atau tanya jawab langsung.
Ia pun pernah meminta para siswa untuk mengerjakan sejumlah pertanyaan yang jawabannya dikirim melalui surat elektronik (e-mail). Namun, hanya sebagian kecil yang mengumpulkan. Lalu, pindah ke Whataspp, tetapi masih tetap belum optimal.
Oleh karena itu, ia pun mengarahkan siswa untuk memanfaatkan siswanya untuk memanfaatkan benda yang ada di sekitarnya. ”Agar memahami, perlu dipraktikkan. Misalnya, siswa jurusan otomotif kami minta tak hanya dari materi, tetapi dengan mengamati sepeda motor yang ada di rumahnya,” ujar Noer.