Serapan Ekspor Anjlok, Tuna Kaleng Sulut Didorong Penuhi Pasar Lokal
Volume produksi ikan tuna kaleng dari Sulawesi Utara anjlok seiring penurunan permintaan ekspor akibat pandemi Covid-19. Peningkatan konsumsi dalam negeri didorong demi menghindari pemutusan hubungan kerja karyawan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Volume produksi ikan tuna kaleng dari Sulawesi Utara anjlok seiring penurunan permintaan internasional akibat pandemi Covid-19. Pemerintah provinsi berupaya mendorong peningkatan konsumsi dalam negeri demi menghindari bertambahnya pengangguran.
Kepala Dinas Perikanan Sulawesi Utara (Sulut) Tienneke Adam mengatakan, 7 dari 14 pabrik ikan kaleng terbesar di Indonesia berlokasi di Bitung. Semua industri berorentasi ekspor dengan rata-rata produksi setiap pabrik saat ini 10-30 ton ikan kaleng per hari, jauh di bawah kapasitas normal 80-100 ton per hari.
”Gara-gara Covid-19 ini, banyak pelanggan dari negara-negara tujuan ekspor membatalkan pembelian. Bahkan, 25 kontainer ikan kaleng yang sudah dikirim ke luar negeri dari Bitung tidak bisa masuk. Akibatnya, ada overstock (kelebihan pasokan) di Bitung,” kata Tienneke ketika dihubungi dari Manado, Minggu (26/4/2020).
Selama ini, kata Tienneke, produk yang diekspor adalah ikan kaleng dengan kapasitas 1,8-2 kilogram ke kawasan Uni Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Utara. Kualitas ikan yang dikirim pun bagus karena diproduksi dengan standar yang diterapkan negara tujuan. Namun, kini tak semuanya terserap pasar.
Jika produksi terhenti, pengangguran di Sulut sebagai dampak dari pandemi Covid-19 akan bertambah.
Kendati demikian, kata Tienneke, Pemprov Sulut telah meminta pengusaha tidak menghentikan produksi. Setiap pabrik mempekerjakan rata-rata 500 orang. Jika produksi terhenti, beban pengangguran di Sulut sebagai dampak dari pandemi Covid-19 akan bertambah. Saat ini saja, lebih dari 250.000 orang telah tercatat sebagai warga miskin dan warga miskin baru.
”Kami memohon kepada perusahaan agar tidak stop produksi biarpun volume per hari berkurang. Soalnya, produksi tuna kaleng ini sistemnya padat karya. Tapi, kemampuan perusahaan ada batasnya. Bisa saja pengangguran makin banyak kalau produk ikan kaleng terus-terusan tidak terserap,” katanya.
Sebagai alternatif, Tienneke meminta Pemprov Sulut, pemerintah daerah lain, dan pemerintah pusat memasukkan ikan kaleng dalam negeri dalam paket-paket bantuan sosial atau di dapur-dapur umum. Kebijakan itu tidak hanya akan mencegah bertambahnya jumlah pengangguran, tetapi juga menjaga kualitas gizi masyarakat.
”Saat daya beli masyarakat lemah, pemerintah bisa datang menyelamatkan. Pemprov Sulut juga akan mengusahakan agar perekonomian daerah terus berputar di tengah badai Covid-19 ini,” kata Tienneke.
Salah satu pabrik eksportir tuna kaleng yang terdampak adalah PT Samudra Mandiri Sentosa (SMS) Bitung. Vice President PT SMS Abrizal Ang mengatakan, normalnya, pabriknya dapat memproduksi 80 ton dari kapasitas maksimal 150 ton per hari. Sejak Covid-19 merebak, produksi berkurang menjadi 20-30 ton per hari.
Dari jumlah itu, 95 persen produksi dibeli para pembeli di Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk memenuhi kebutuhan hotel-hotel dan restoran. ”Namun, semakin banyak restoran dan hotel yang bisnisnya mati, tidak bisa bayar distributor di negaranya. Jadi, banyak pesanan dibatalkan sehingga stok menumpuk di gudang di Jakarta,” kata Abrizal.
Keadaan ini berdampak kepada pekerja PT SMS. Dari total 800-1.000 karyawan perusahaan, hanya 400-600 pekerja yang masih aktif bekerja. Sebagian besar pekerja harian lepas telah dirumahkan untuk sementara. Ini juga dampak implementasi pembatasan jarak sosial dan sistem giliran kerja.
Kendati permintaan kaleng besar dari restoran dan hotel di negara lain turun, Abrizal mengatakan, permintaan tuna kaleng dalam kemasan 200 gram justru meningkat dua kali lipat, baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini dimungkinkan karena penerapan imbauan bekerja dari rumah (WFH).
PT SMS kini juga menerima pesanan dari Kementerian Sosial dan dinas sosial dari beberapa daerah. Setiap kaleng berukuran 200 gram ikan tuna dibanderol Rp 5.000 hingga Rp 6.000. ”Kami tidak ambil profit, hanya untuk mempertahankan operasi perusahaan,” kata Abrizal.
Melihat peluang ini, Abrizal mengatakan, perusahaannya akan menambah volume produksi ikan kaleng ukuran kecil. ”Strategi ini kami ambil tanpa mengurangi kualitas produk,” katanya.
Sebaliknya, perusahaan pengalengan ikan yang tak berorientasi ekspor, seperti PT Deho Canning Company, tidak terpengaruh dampak Covid-19. Achmad Ichsan, kepala bagian pengalengan perusahaan tersebut, mengatakan, perusahaannya konstan memproduksi sekitar 3 ton per ikan kaleng ukuran 200 gram per hari.
Meski demikian, jumlah pegawai tetap dikurangi dari sekitar 100 menjadi 60 orang. PT Deho pun menerapkan berbagai anjuran pemerintah agar menjaga jarak dan mempertahankan kebersihan diri di tempat kerja.
Harga ikan tuna turun dari Rp 60.000 menjadi sekitar Rp 36.000 per kg. Hal ini, salah satunya karena banyak bahan baku yang tak terserap.
Sementara itu, perusahaan perikanan tangkap turut terdampak penurunan ekspor perusahaan pengalengan ikan. Tedy, pemilik PT Arta Samudera Pasifik yang memasok ikan ke beberapa perusahaan pengalengan ikan tuna, mengatakan, harga ikan tuna turun dari Rp 60.000 menjadi sekitar Rp 36.000 per kg. Hal ini salah satunya karena banyak bahan baku yang tak terserap.
Di samping itu, Tedy mengaku, beberapa perusahaan pengalengan ikan juga terpaksa berutang untuk membeli ikan tuna darinya. ”Mereka tidak mampu membeli tunai karena tidak ada pemasukan. Mereka meminta jangka dua minggu sampai satu bulan. Lha, kalau saya tidak dapat tunai, bagaimana saya mau bayar karyawan saya?” katanya.