Dokter dan perawat di luar Papua tertahan kebijakan penutupan akses. Di luar NTT, warga dan mahasiswa pengguna kapal mengalami perlakuan berbeda dengan pengguna pesawat.
JAYAPURA, KOMPAS — Provinsi Papua semakin kekurangan tenaga medis menyusul kebijakan penutupan akses masuk dan keluar daerah melalui pesawat ataupun kapal laut sejak 26 Maret 2020. Sejumlah dokter dan perawat hingga saat ini masih berada di luar Papua.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Papua dr Donald Aronggear, Minggu (19/4/2020), mengatakan, IDI masih mendata jumlah dokter yang belum kembali ke Papua pasca-dihentikan kapal dan pesawat untuk penumpang. ”Saya menerima sejumlah laporan soal para dokter yang belum dapat masuk ke Jayapura. Salah satunya dokter spesialis onkologi di Rumah Sakit Dok II Jayapura,” katanya.
Yang pasti, menurut Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kabupaten Tolikara Yusak Toto Saksono, saat dihubungi dari Jayapura, sekitar 20 tenaga kesehatan belum bisa kembali ke Tolikara. Mereka terdiri dari lima dokter dan selebihnya tenaga perawat. Mereka bertugas di RSUD Karubaga di ibu kota Tolikara dan sejumlah puskesmas.
”Mereka masih berada di Pulau Jawa dan sejumlah daerah lain. Mereka tidak bisa kembali karena tak ada penerbangan,” katanya. Jalan akses utama dari Wamena ke Tolikara juga telah ditutup. Hanya mobil pengangkut sembako dan barang pokok lainnya yang diizinkan memasuki Tolikara.
Menurut Direktur RSUD Wamena dr Felly Sahureka, dua dokter tetap dan tiga dokter berstatus pegawai tidak tetap juga belum tiba. Pada beberapa pekan ini, di ruang isolasi penanganan pasien positif Covid-19 RSUD Wamena hanya ada 12 dokter dan 9 perawat. Ada tiga pasien positif di sana.
RSUD Wamena merupakan pusat layanan kesehatan yang menerima pasien dari sejumlah pegunungan tengah Papua, misalnya Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, dan Yalimo. ”Kami tetap berupaya maksimal untuk menangani pasien dengan jumlah tenaga dokter dan perawat yang belum memadai. Mereka bekerja secara bergantian di ruang isolasi,” kata Felly.
Fasilitas khusus
Menurut Donald, Pemerintah Provinsi Papua sebaiknya memfasilitasi para tenaga kesehatan yang hendak kembali ke Papua. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan. Jumlah penduduk di Papua berdasarkan data Dinas Sosial, Kependudukan, dan Catatan Sipil Papua akhir 2019 ada 4.349.343 jiwa. Jumlah anggota IDI Papua hingga April 2020 sebanyak 1.163 orang.
Dari hasil pembagian jumlah penduduk dengan anggota IDI di Papua, maka rasionya satu dokter setara 3.817 orang. ”Biarkan mereka pulang ke Papua dan diisolasi 14 hari. Jika tidak positif Covid-19, mereka bisa kembali bekerja seperti biasa untuk penanganan pasien Covid-19,” kata Donald. Hingga Minggu sore, jumlah kasus positif Covid-19 di Papua ada 107 orang.
Rinciannya, terdiri dari 81 pasien dirawat, 19 pasien telah sembuh, dan 7 pasien meninggal. Persebaran kasus positif Covid-19 mencakup sembilan daerah di Papua, yakni Kota Jayapura 30 kasus, Kabupaten Jayapura (23), Mimika (31), Merauke (9), Sarmi (4), Keerom (4), Nabire (3), Jayawijaya (2), dan Mamberamo Tengah (1).
Ketua Harian Satuan Tugas Pengendalian, Pencegahan, dan Penanganan Virus Korona Provinsi Papua Welliam Manderi mengatakan, larangan kapal dan pesawat mengangkut penumpang hanya berlaku bagi warga sipil hingga Rabu (22/4). Pesawat dan kapal pengangkut kargo dan tenaga kesehatan dapat memasuki wilayah Papua. ”Tenaga kesehatan dapat tetap kembali ke Papua. Namun, mereka mengalami kesulitan sarana transportasi udara dan laut. Kami akan membahas solusi dalam waktu dekat,” katanya.
Situasi NTT
Terkait dampak penutupan akses kapal laut di wilayah Nusa Tenggara Timur, mahasiswa asal NTT di Makassar, Sulawesi Selatan, dan Sape, Nusa Tenggara Barat, kecewa berat. Mereka meminta diizinkan masuk NTT meskipun harus dikarantina 14 hari.
”Permintaan kami cuma diizinkan pulang ke kampung asal. Kalau kami bisa dikarantina pemprov atau kabupaten/ kota setempat, mengapa harus menolak kami datang,” kata Markus Kari (22), mahasiswa semester akhir perguruan tinggi di Makassar.
Mahasiswa asal Kabupaten Alor, ini bersama ratusan mahasiswa dan warga dilarang masuk NTT dengan kapal laut sejak Senin (6/4). Di Makassar, lebih dari 1.000 orang NTT tidak pergi ke mana-mana. Mereka sangat tergantung dari kiriman uang orangtua. Orangtua Markus hanya seorang nelayan kecil. Tangkapan ikan juga sedang tak laku.
Sementara itu, Mohammad Ahyar, mahasiswa asal Labuan Bajo yang belajar di Universitas Mataram, NTB, saat ini bersama 125 mahasiswa asal Manggarai Barat, Manggarai, dan Manggarai Timur tertahan di Sape, Bima, NTB. Mereka tinggal di rumah penginapan dengan biaya sendiri.
”Kami 7-10 orang tinggal di satu kamar penginapan dengan biaya Rp 50.000 per orang per malam. Makan dan minum tanggung sendiri,” kata Ahyar. Anggota DPRD NTT, Viktor Mado Watun, mengatakan, Pemprov NTT harus punya solusi. Warga yang ingin pulang dengan kapal laut dilarang tetapi pengguna pesawat diizinkan. ”Mereka yang pakai pesawat pun berpeluang terpapar Covid-19. Mengapa harus dibedakan,” katanya. (FLO/KOR)